Selasa, 29 Oktober 2019

Sangkar dan alam bebas #CoffeeBreak19

"Kalau ditanya hidup ini untuk apa, kamu bakal jawab apa?"
"Untuk Allah? Untuk mati? untuk kekal di alam setelah ini?"
"Ya semua orang juga tahu soal itu, lebih spesifik, dari hati kamu yang paling dalam"
"Aku hidup ya untuk hidup. Aku sering nanya ke diriku sendiri. Kenapa aku lahir dikeluargaku, kenapa aku lahir dikotaku, kenapa aku sekolah disana, kenapa aku merantau kesini, kenapa aku harus ketemu si ini si itu, kenapa aku harus sedih, kenapa aku harus kecewa, kenapa aku harus ngerasa harus begini dan begitu? pernah sadar gak kalau semua kenapa itu pasti ada karena nya?"
"Kamu rumit ya"
"Bukannya itu yang bikin kamu tetap disini?"
"Kamu pernah berpikir kenapa aku nanya kaya gini ke kamu?"
"Karena kamu tau kalau pertanyaanmu ini akan buat aku sadar tentang alasanku tetap ada disini"
"Aku yakin semua hal ada alasannya, sesepele apapun itu."
"Kadang aku mikir, apa aku sudah jadi anak yang cukup baik buat orangtuaku? jadi ade yang baik untuk kaka ku? untuk kaka iparku? jadi kaka yang baik untuk adekku? jadi tante yang baik untuk ponakanku? jadi sahabat yang baik, jadi mahasiswi yang baik, jadi partner yang baik untuk kamu, bahkan apa aku sudah jadi hamba yang baik untuk Tuhanku?"
"mungkin belum"
"Aku ngerasa belum utuh sebagai manusia, banyak banget hal-hal diluar kendaliku yang aku tahu itu gak sesuai sama mauku. aku punya banyak sekali keinginan, abcdef tapi aku tahu itu bertentangan dengan apa yang orangtua dan keluarga aku mau. menurut kamu, ketika aku milih untuk ikutin orangtuaku, apa itu gak melanggar hak untuk diriku sendiri?"
"apa contohnya?"
"Entahlah, rasanya mimpiku bukan seperti ini. Rasanya sayapku masih harus kukepakkan sendiri. Tapi aku dipaksa pulang, kembali ketempat dimana aku dierami. Kembali ke sangkar hangat dengan makanan berlimpah ruah. sedangkan alam membentang luas adalah impianku. singgah dari satu pohon ke pohon lain adalah hobiku, bertemu berbagai rupa sesamaku dan menjejaki kehidupan  di alam bebas. Bukan berarti aku benci kembali, hanya saja rasanya bukan itu titik pencapaianku."
"bicara soal mimpi ternyata"
"Setiap aku mulai yakin dengan mimpiku, seolah dunia tidak pernah mendukung itu. Apakah hidup ini harus selalu memikirkan banyak hal?"
"menurutku harus"
"Alasannya?"
"Kita, kamu, aku, gak hidup sendiri didunia ini. sekalipun kamu yakin dengan sayapmu, kamu tak peduli ranting pohonmu rapuh dan lapuk, kamu percaya pada sayapmu, aku tau itu. Tapi apa kamu lupa siapa yang mengajarkanmu terbang? lantas kenapa setelah mampu terbang tinggi seolah kau enggan kembali?"
"Aku merasa belum saatnya, dunia ini luas, banyak hal yang harus kusinggahi"
"Ingat, mengikuti dunia tidak akan pernah ada ujungnya"
"Tapi aku setakut itu, aku takut kembali ke sangkar emasku dan lupa caranya mengepakkan sayapku setinggi-tingginya. sudah cukup sangkar emas itu merawatku bertahun-tahun, rasanya sayap ini sudah menjadi hakku"
"Kau timbang lagi, ini persoalan ego, mimpi, ataukah cinta yang ada dihatimu?"
"aku tidak naif, mungkin ketiganya"
"Coba kau pikirkan lagi, jangan egois, ingat itu. jangan terbawa keindahan alam yang kau pikir selamanya padahal sementara juga. apa kamu belum pernah merasakan hujan lebat? angin kencang? bahkan runtuhnya pohon yang kau percaya bisa jadi rumahmu selamanya?"
"ah iya, aku tidak pernah merasakan semua itu. sangkar emasku menawarkan banyak kenyamanan dan kasih sayang yang terkadang palsu. bukan maksudnya berpura-pura, palsu yang kumaksud adalah membuatku terlena dengan kenyamanan dan lupa pada apa artinya perjuangan"
"Kau rumit, selalu"
"

Sabtu, 26 Oktober 2019

Putu Lanang #Blogseries4

"Putu ini masih enak"
"Bukannya selalu enak? rasa yang dulu gak akan pernah berubah" Jawab Alan asal sambil sesekali mencubit putu sedikit demi sedikit.
Putu Lanang di dekar Coor Jesu memang masih sama, bahkan jumlah putu nya pun gak pernah berubah. Rasanya seperti baru saja aku dan Alan ngantri sampai berjam-jam demi dua bungkus putu waktu itu.
"Kadang aku mikir ya lan, kok kayanya waktu bisa jadi secepat ini. Time flies so fast, we have our own way now"
"Ya kalau gak gitu bukan hidup namanya Rev, kita ini cuma pemeran buat cerita yang sudah Allah tuliskan"
"Pernah gak sih kamu berharap waktu bisa berhenti sebentar aja lan?"
"Pernah"
"Kapan?"
Hening, Alan tidak mengeluarkan sepatah katapun hanya lirikannya yang tajam tepat mengarah kemataku yang daritadi menunggu jawaban keluar dari mulutnya.
"Kamu punya mimpi, aku punya mimpi, semua orang punya mimpi ya lan. Tapi pernah gak sih kamu ngerasa mimpimu dikuasai orang lain yang bukan kamu? gimana ya, kok belibet jadinya. intinya gitu lan."
"iya aku paham maksudmu"
"Pernah gak?"
"Kalau dulu aku punya mimpi bangun semua ini dari awal sampai akhir bareng kamu, susah jatuh senang bareng kamu, dan sekarang kamu milih pergi jauh untuk lupain semuanya. Boleh aku bilang kamu yang pegang mimpiku? boleh aku bilang kamu juga yang hancurin mimpi yang kamu ciptain bareng aku? boleh gak rev?"
Hening. Teringat kenangan bertahun-tahun lalu bersama Alan. Waktu kami masih sama-sama mahasiswa kere yang berharap uang bulanan. Waktu aku sibuk nyelesein skripsi dan Alan sibuk nyari uang tambahan buat nyelesein kuliahnya. Aku yang kemanapun bawa laptop dengan tekad cumlaude waktu itu, Alan yang rela kerja apa aja buat biaya kuliahnya mulai dari driver, ngerental mobil, bagiin brosur dan hal-hal diluar kendali kita berdua.
Sama Alan aku paham, ternyata gak semua hal itu mudah. Aku beruntung lahir dikeluarga yang berkecukupan, bisa biayai kuliahku full tanpa pernah telat. Gimana Alan? yang harus kerja bahkan sebelum dia lulus.
Sama Alan aku paham, hidup bukan hanya tentang senang-senang. Gak jarang aku nemenin dia ketemu custumer yang bentuknya beraneka rupa dan dihadapin dengan cara yang juga beda-beda. Alan, dia masih Alanku dua tiga bahkan empat tahun yang lalu.
"Habisin nih"
"Nggak lan, aku kenyang. ayo pulang, anter aku ke penginapan"

Bersambung~

Minggu, 20 Oktober 2019

Malang malam ini #Blogseries3

Boleh aku bilang kita seperti uapan kopi yang tidak lagi mengepul? 
Kau hidangkan aku tapi tak kunjung kau minum.
Kutau kau resah, tuan.
Hidupmu tak lain adalah tentang perjuangan. Bukankah aku selalu berjanji akan jadi peneman?
Aku atau sepertinya kau yg lupa tuan?
Untuk apa dan seperti apa mimpi yang sudah kita ciptakan.
Kita dingin, seperti malang malam ini.
Kau kalut dengan bebanmu, aku bermain dengan tanda tanyaku.
Aku tau ini bukan lagi hal sesederhana rasa cemburu, rasa tertarik pada orang lain selain kita, bukan, bukan itu.
Ini perihal haluan kita yg nampaknya semakin berlawanan.
Kau bersihkeras dengan kemudi dan petamu, sedangkan aku tetap pada layarku yg menanti angin untuk dibawa kemana, ketempat yang telah lama jadi mimpiku.
Bagaimana kapal kita? Apa aku yg harus pergi dan berlabuh pada kapal yg lain? Atau kau mencari penumpang yang searah dengan tujuanmu? 

Malang malam ini. 

My first magang #CoffeeBreak18

Satu dua tiga, ternyata sudah tiga minggu. Magang di yayasan pembinaan anak cacat buat aku berpikir ternyata begitu banyak kesyukuran yang harusnya kita khususnya aku, setiap hari ucapkan. Jadi salah satu mahasiswi yang dikasih kesempatan magang disini, pasti Allah punya maksud memilihku. setiap hari bahkan setiap saat, kita bisa jumpai bermacam-macam anak berkebutuhan khusus disini. Mulai dari yang terapi, asrama. sampai sekolah. Yayasan Pembinaan Anak Cacat atau umum disingkat YPAC adalah yayasan yang menampung anak-anak berkebutuhan khusus yang akan difasilitasi tempat tinggal, pendidikan, hingga terapi sesuai kebutuhan. Banyak hal yang buat aku kagum, mereka yang sama-sama berkebutuhan saja masih bisa saling menolong dengan keterbatasan masing-masing. Belum lagi melihat orang tuanya yang setia menemani terapi 2-3 kali seminggu. Umur mereka beragam mulai dari bayi hingga dewasa, bahkan ada yang sudah berumur 30 tahun, Masya Allah. Walaupun sudah sedewasa itu orangtuanya terlihat sangat tulus untuk menagantarnya setiap hari ke klinik untuk diterapi, sudah berlangsung kurang lebih sejak dia berumur 5 tahun. Bagaimana mungkin kita yang diberi kesempurnaan secara fisik masih sanggup untuk mengeluh? malu rasanya sama yang menciptakan kita.
Ada juga si kembar, orangtuanya masih muda, sepertinya si kembar anak pertama. Qodarullah mereka berdua diberi kelebihan oleh Allah sebagai ladang pahala untuk orangtuanya. Yang aku heran tidak tampak sedikitpun gurat kekecewaan atau kata keluhan yang keluar dari mulut orangtuanya pada si kembar, kedua neneknya juga ikut datang menemani mereka terapi.

Minggu, 08 September 2019

Vanilla latte #BlogSeries2


Tanganku terasa kaku, mataku tertuju pada jam dinding disudut café ini. Sudah pukul 8 malam, apa malam ini hanya akan menjadi pertemuanku sendiri?. Segelas vanilla latte yang daritadi kuaduk, akhirnya kehilangan uapnya, kini hanya tersisa rasa dingin dan semakin enggan untuk diminum. Mataku terfokus pada pintu masuk café ini, berharap tubuh tegap dan berwibawa itu tidak lupa dimana kami biasa duduk.
Empat tahun bukan waktu yang singkat untuk berevolusi. Ingatan-ingatan masa lalu kukira tinggal manisnya saja, ternyata aku salah. Pahit itu masih pekat terasa, bahkan kekentalannya tak pernah berubah.
“Dulu kamu selalu menyisihkan nasimu yang masih hangat ke piringku, takut mubazir katamu”
“Dulu kamu selalu minta diambilkan 4 biji kerupuk ditoples bu ratih”
“Dulu kamu selalu bawa tumbler kuningmu kemanapun, katamu biar sehat minum air putih”
“Dulu kamu selalu pesan es jeruk, apapun yang terjadi, di hokben sekalipun :’)”
          Kita yang hari ini masih saja bergelut dengan kata ‘dulu’ sampai lupa sedang berdiri dimana saat ini. Perawakannya tidak banyak berubah, hanya sisiran rambut yang semakin rapi dan baju yang sekarang terlihat lebih formal dari biasanya.
 “kamu gak pernah punya mimpi pakai baju kaya gini tiap hari seingatku lan” sahutku sambal tertawa grumpy kearah Alan.
“Hahaha bener rev, tapi dunia udah ga ngasih celah lagi buat orang yg terlalu idealis kaya aku empat tahun lalu”
“Bukannya kamu selalu punya prinsip?”
“Idealis dan punya prinsip bedanya tipis Rev, bukannya semua itu yang buat aku kehilangan kamu?”
        Keheningan datang lagi. Alan yang terlalu berani untuk menyinggung masa-masa pahit itu, membuat aku kehabisan kosa kata untuk mencairkan suasana. Alan. Dia masih Alan-ku satu, dua, tiga, bahkan empat tahun lalu. Keras, berprinsip, tegas dan sulit terkalahkan, sikapnya tidak banyak berubah.
          Malang masih dingin, selalu dingin. Musim maba kukira akan berubah menjadi lebih hangat, ternyata sama saja. Malang tetap ramah, bahkan bagiku yang sudah menjadi asing untuk tempat ini. Empat tahun tidak menginjak tempat ini ternyata tak begitu banyak membawa perubahan. Masakan Bu Ratih tetap enak, bahkan enak sekali, hanya dia yang semakin renta kulihat. Lalapan burung dara dipinggir jalan itu juga masih beraroma mengaduk perut. Bapak penjual bakso dengan aroma nikmat tak terkalahkan juga masih setia dengan gerobak birunya. Ternyata definisi tak banyak berubah hanya kulihat dari tempat makan langganan semasa kuliah.
“Kerjaan aman?” celetuk Alan saat aku asik mengunyah bakso pak sabar.
“aman kok aman, pasien makin rame, akunya makin gak ngurus diri sendiri hahaha”
“bukannya kamu selalu begitu? Lebih mementingkan orang lain, dirinya sendiri dilupain”
“Ya gak juga lan, kamu gimana? bisnis rentalan bareng Alif gimana?”
“gak pasti rev, lama-lama cape juga. Mending kerja kantoran dulu sampe modalnya agak banyak ntar aku buka sendiri aja”
“Aamiin, Alan yang aku kenal selalu punya mimpi. Dan gak pernah pengen punya bos, iya kan?”
“Kamu selalu ingat rev”
       Masih banyak yang belum sempat aku sampaikan padamu. Sepenggal lirik lagu Kunto Aji mungkin jadi lirik paling pas untukku, untuk Alan. Aku tidak tau, datangnya aku ke Malang ini sebagai obat ataukah sebagai racun paling ampuh untuk membuatku semakin tenggelam dalam pilu yang dulu.
“Vania apa kabar? Masih dia sama Reno?”
“Vania, bukannya kamu follow dia juga ya”
“kamu lupa aku sempat vakum sosmed setahun kan? Terus bikin akun baru juga waktu itu”
“Ah iya, Alan waktu itu ngilang dari muka bumi. Aku sampe gak tau harus nyari kemana. Vania nikah setahun lalu sama Reno, setelah berjuta drama mereka”
“Sumpah? Alhamdulillah ya. Ga nyangka juga, dulu sering aku katain bucin itu Reno. Jadi juga dia”
“bucin positif ya baek lah, emang kamu apa-apa salah terus hahaha”
“Kapan-kapan ayo ngopi berempat lagi sama mereka, kangen juga sama pasangan itu”
“Kapan kapan banget aja ya lan, waktuku singkat banget disini”
    Jalanan Malang yang semakin lengang, membuat Alan memperlambat laju mobil yang dikendarainya.
“Ingat bapak penjual mainan?” Alan memecah lamunanku.
“penjual mainan? Ah iya, yang dulu jualan dibundaran pesawat terus pindah ke dekatnya Sabilillah itukan?”
“yaps bener. Masih disimpen mainan pesawatnya?”
“Masih kok, dirumah. Kenapa?”
“bulan agustus kemaren bapak itu meninggal, aku datang kerumah duka nya beliau.”

Bersambung~


Kamis, 05 September 2019

Lembayung Bali #BlogSeries1

Akhirnya sampai dikos, setelah dua hari perjalanan jauh ke Semarang. Naik kereta berjam-jam ternyata sukses bikin seluruh badan pegal.

"Rev, udah nyampe kosan?" Pesan Whatsapp masuk dari Alan
"Iya ini barusan lurusin pinggang"
"Sudah mau tidur?"
"gak sih, ini mau beres-beres sama mandi dulu. kamu dimana? gak jadi balik kerumah?"
"Gak deh, aku sudah di warkop biasa"
"Loh kenapa gak jadi?"
"Ya kasian kamu, kepikiran permintaan kamu."
Alan, selalu berubah-ubah dalam waktu yang singkat. Baru aja seharian kita ngabisin waktu bareng karena dia niat pulang kampung beberapa hari. dalam waktu singkat dia bisa merubah semua rencananya. hanya karna alasan aku yang memang inginnya dia nemenin sampe pengumuman kelulusan tes masuk univ besok. 

"Ayo kesini temenin aku sampe jam kerja ntar malem"
"Cape loh aku, belum mandi sholat segala. ngapain emangnya disitu"
"gakpapa temenin aja"
"Eh sek sek, Alan! Aku lulus! Aku lulus lan. Yey kita bisa bareng lagi. Alhamdulillah"
"Serius? Alhamdulillah. katanya besok pengumumannya"
"Gak tau nih kenapa jadi hari ini ya, bodo amat yang penting aku lulus. sumpah gak nyangka lan, kamu tau kan aku gak pernah belajar."
"hahaha, yaudah kesini gih aku ada sesuatu nih"
"Oke wait, sholat mandi dulu ya"

Bersyukur banget bisa diterima setelah berjuang sebulan lebih disini. Alan taunya aku gak pernah belajar, padahal kalau dia lagi tidur atau kerja aku selalu nyuri waktu untuk belajar dan ke perpus.

"Selamat ya Reva, akhirnya lolos juga" Alan sumringah ngeliat aku datang dan langsung high five seperti kebiasaan kita.
"Iya gak nyangka, makasih ya lan"
"Bisa ya anak kaya kamu lolos, kerjaannya tiap hari nonton doang ckckck"
"ya namanya rejeki ya"
"emang pintar pasanganku ini, gak salah aku, bisa deh menaikkan derajatku wkwkwk
"halah kamu mah, terus untuk apa nih aku disini?"
"Ke Bali yuk, hadiah karna kamu lolos disini"
"Hah? sekarang banget?"
'Iyalah"

Alan yang super random bisa ngajak pergi sejauh itu dengan waktu sesingkat itu. dan akhirnya kita bener-bener ke Bali. Naik apa? yaps! naik motor tuanya Alan yang super gemesin namanya "Winny". Jarak malang ke bali itu gak deket. Kita harus motoran ke pasuruan - probolinggo - situbondo - banyuwangi. Dari Banyuwangi harus naik kapal very sejam ke gilimanuk Bali. 

Kata orang, kalau kita mau lihat sifat asli seseorang coba ajak dia perjalanan jauh. Dan terbukti. Aku rasa Alan sesayang itu sama aku, sangat melindungi dan sabar banget sama aku. aku yang gak pernah motoran sejauh itu sebelumya otomatis banyak ngeluhnya dan minta istirahat, sedangkan kita mesti kejar waktu biar gak sampe tengah malem banget di Bali. Ditambah lagi aku yang gak kuat bawa ranselku sendiri, jadinya Alan yang naro didepan dadanya biar aku gak cape. Aku yang berkali-kali ngantuk dijalan dan hampir jatoh. Alan maklumi banget karena tau aku baru pulang dari Semarang dan emang kurang tidur semingguan ini karna persiapan tes. dia selalu semangatin aku dan bertingkah konyol sambil nyetir cuma biar aku gak ngantuk. Alan. Aku yang sebagai penumpang harusnya ngehibur dia biar gak ngantuk sambil nyetir. Tapi ini malah kebalikan, dasar aku. 

Sampai lah kita di Banyuwangi dan naik kapal very. Gak ada basa basi aku langsung ambil kursi panjang dan tidur disitu. nitipin semua barang-barang aku ke Alan. 

"Lan aku tidur dulu, ngantuk banget"
"Iya, ini cuma 40 menit ya perjalanannya"

Reva yang cuek bebek ini bener-bener nyenyak, pas aku kebangun aku liat alan diatas kepala aku sambil ngusap kepala aku. sambil nonton youtube dengan wajah yang aku yakin dia jauh lebih cape dan ngantuk dibanding aku.

"Alan gak tidur? ayo gantian"
"gak usah, aku gak ngantuk. kamu tidur aja lagi, kasian kamu cape"

Setelah nyampai di Bali, kita tetap random. Cuma duduk di pasar legian, didepan CircleK beli minum dan beli cilok. Jalan-jalan sedikit keliling pasar, Alan beli baju kaos, aku beli celana. Dan sudah. Iya bener-bener ke Bali cuma gitu aja. Buat video kenang-kenangan disepanjang pantai kuta malam hari, cafe-cafe ala barat di bali, dan kita kembali ke gilimanuk. hahahahahahaha

Banyak pelajaran yang kita dapatin dari perjalanan sejauh ini. Bagaimana supaya kita paham setiap orang punya limit terhadap dirinya, kita gak bisa maksain orang lain sekuat kita. Bagaimana meredam ego masing-masing yang maunya dituruti bukan menuruti. Dan, satu hal yang paling penting. Melakukan perjalanan antar kota aja gak mudah, bagaimana mengarungi bahtera rumah tangga. Maka dari itu, kesiapan itu diperlukan.

Alan. Bersama dia aku bener-bener ngerasa banyak warna dalam hidup ini. dia yang sering buat aku lebih memahami diriku sendiri. buat aku berani angkat daguku dan gak sembunyi terus. Walaupun kami berdua gak pernah tau akan kemana arah kebersamaan kami selama ini. yang kutau, aku dan Alan bahagia. Dan terus berproses menjadi lebih baik untuk satu sama lain. 

Alan, thankyou for being here. Thankyou to loving me more than i love my self.  

Minggu, 25 Agustus 2019

Hai,22

Harusnya ini di-upload tanggal 13 Agustus

Selamat datang kebahagiaan baru, selamat bersahabat denganku.
Ini bukan lagi perihal tua mudanya suatu usia, tapi bagaimana kebermanfaatan dan tanggung jawab yg semakin banyak.
Ku sapa dulu semua yg pernah hadir dan berdedikasi untuk hidupku.
Hay mah pah kaka kaka ku ponakanku yg lucu, sahabat sahabatku, dan semua yg ingin kubahagiakan.
Doakan aku ya, harus lebih kuat menjalani hidup.
Umur 22 rasanya dewasa sekali untukku yg masih sangat kekanakan dalam beberapa hal. 
Banyak impian dan cita cita yg selalu kulangitkan. 

Pendidikan, karir, keluarga, percintaan. Sepertinya sudah jadi sepaket kedewasaan. 

Akan banyak pencapaian di 20an ini, kuharap datangnya tak lambat tak juga terlalu cepat tapi sesuai porsinya. Sesuai keinginan dan kesiapanku. 

Semangat! Masa depanku masih panjang, banyak hal yg harus kucicipi, manisnya dunia pahitnya perjuangan, semuanya akan indah sesuai porsinya. 


Selamat menua, aku. Jangan mudah menyerah, jangan hanya peduli dirimu, terus semangat dan bergerak! Fight. 

Sabtu, 10 Agustus 2019

Pekat.... #Cerpen7


22.37, malam semakin larut. Senyap, sesekali hanya suara angin yang membuat malam ini lebih dingin dari biasanya.Tidak ada yang berlalu lalang, sebagian sudah pulas sebagiannya lagi lebih memilih pulang ke pangkuan ibunya. Sinar rembulan tampak redup tertutupi pohon ceri yang seolah merangkul kami. Aroma tubuhnya tak dapat kubaui, kami berjarak malam ini. Tidak ada pembicaraan, sesekali hanya helaan nafas lebih panjang.

Tubuh tegapnya melemah, matanya redup, bibirnya tidak mengeluarkan sepatah kata pun. Pertanyaan tidak akan menjawab apa yang ingin kutau. Dilepaskannya kacamata persegi dari matanya, sesaat dipandangi, kemudian digenggamnya sekuat yang ia mampu. Tidak perlu ada pertanyaan, dapat kurasakan emosi dan sakit hati yang mendalam lebih dari apa yang sanggup ia ucapkan.
Kacamata tinggal serpihan, hatinya pun semakin meradang. 

Memaksanya bercerita bukanlah jawaban. Kuletakkan tangan kiriku dipundaknya menepuknya beberapa kali, dan anehnya air mataku yang nyaris jatuh. Sakit dihatinya seperti tersalur kediriku, entah bagaimana caranya. Kurasakan sakit itu juga.
Setelah dirasa emosi cukup menguap, dipandanginya aku sesaat. “Orangtuaku…..”

Tidak perlu kulanjutkan, satu kalimat tadi cukup membuatku merasa hancur mungkin tidak separah dia setidaknya hancur melihat dia harus menanggung cobaan, bahkan berkali-kali.
Teringat saat awal bertemu, bagaimana semangatnya dia menceritakan semua kebahagiaan dan kesyukurannya terhadap keluarga yang sangat mencintainya. Ternyata keadaan bisa saja berhenti berpihak.

Tenang, sayang. Kau tidak pernah sendiri, ada penciptaMu, ada aku, ada sahabat-sahabatmu, ada kita. Kalimat ini terdengar sandiwara, tapi kalian akan paham ketika rasa sakit orang lain menjadi sakit yang luar biasa untuk kita sendiri.

Malam itu berakhir pekat. Aku tidak berhasil menjadi tempatnya pulang, menjadi tempatnya menceritakan segala yang sedih ataupun duka. Aku merasa gagal sebagai rumah.

Pertanyaannya, aku yang gagal sebagai rumah atau memang bukan dia tuan rumahku?
Entahlah.


Selasa, 06 Agustus 2019

Aku sudah sarjana… #CoffeeBreak17




Hai, sudah sekian musim terlewat, lama tidak menulis dan menuangkan rasa. Tujuh bulan berlari kencang ternyata lelah juga. Malang dingin, lebih dingin dari biasanya, meringkuk disudut kamar dibawah selimut sudah jadi rutinitas sembari memikirkan masa depan. Aku sudah sarjana? Iya benar, lalu apa?
Alhamdulillah setelah satu semester bergelut dengan skripsi dan penelitian akhirnya semua selesai dengan pujian bahkan memuaskan. Lulus dengan nilai dan waktu yang sesuai target sejak maba mungkin menjadi kesyukuran luarbiasa untukku dan orang tua. Sudah empat bulan setelah wisuda, dan aku masih mencari tempat dimana selanjutnya. Dua bulan istirahat dikampung halaman ternyata lebih dari cukup sebagai bekal untuk kembali merantau lagi.
Hari ini, usaha dimulai. Berkorban dan mengesampingkan semua keinginan. Merancang rangkaian rencana yang dibuat jauh-jauh hari agar semakin dekat dengan mimpi-mimpi. Semakin kesini rasanya semakin sendiri, entah karna ramai yang mengantarkan pada sepi  atau memang aku yang damai sendiri?
Aku jauh, dari semuanya. Dari kebiasaanku yang dulu, dari sisa sisa sahabat yang dulu selalu ada. Ah iya, aku lupa ternyata benar waktu sudah menggilas habis semuanya. Merebut waktu dan orang yang kupunya disini. Kini rasanya benar, berjuang sendiri ternyata tidak seburuk itu. Bukankah hakikatnya hidup adalah sendiri?
Meninggalkan rumah untuk kembali berjuang disini bukanlah hal yang mudah, mengingat orangtua selalu butuh ditemani, rasanya umur membuat mereka semakin bersahabat dengan sepi. Tapi percayakah untuk tetap bertahan dirumah dengan keadaan ‘sudah sarjana’ tapi tanpa jati diri rasanya hampa sekali. Egois? Bisa jadi. Dan memilih pergi lebih dini mungkin bisa jadi pilihan yang paling baik untuk saat ini.
Semakin aku disini, semakin sepi, semakin aku merasa bahwa hidup ini tak lebih dari sekedar perjalanan untuk mati. Apa yang kucari? Pendidikan lagi? Kebahagiaan duniawi? Kekayaan hakiki? Atau apa lagi? Aku mulai kehilangan kendali.
Diujung Kasur kau temukan kakiku bersentuhan dengan kertas-kertas, buku-buku yang merengek untuk dibaca lagi. Aku tau ini adalah kewajibanku, bukankah hak ku untuk merasa lelah dengan semua hal yang kuciptakan sendiri?
Setiap pagi aku akan terbangun dari mimpi yang kau dengungkan dan disambut dengan ketakutan yang kau ungkapkan. Aku akan menanggalkan segalanya dan melemparkannya ditumpukan. Aku adalah kumpulan ketakutan yang kuciptakan sendiri, entah pada apa. Aku tak pernah membayangkan seseorang mampu mebaca ketakutanku sendiri.
Ini hanyalah kumpulan ketakutanku yang mencari tenang atau ambisi kau dan mereka yang menanti kebahagiaan. Ada saatnya, aku menjadi apa yang kuingini sendiri.

Selasa, 29 Januari 2019

RSJ punya cerita #CoffeeBreak16



Magang. Dari jaman sekolah dulu kata magang selalu jadi hal yang bikin aku penasaran. Setelah melewati fase ini terjawab sudah apa yang menjadi pertanyaanku dulu. Dapat lokasi magang di rumah sakit jiwa adalah tantangan baru buatku, karena menghadapi pasien normal aja butuh ilmu lebih apalagi pasien jiwa.
Beruntung. Itu yang pertama kali ada dibenakku waktu lihat nama tercantum di RSJ. Banyak hal yang aku syukuri, apalagi di rsj ini kita disediakan asrama plus makan tiga kali sehari. Belum lagi disini juga banyak mahasiswa kesehatan dari segala penjuru yang magang, mulai dari dokter muda, nurse muda, perawat, okupasi terapi, psikologi, terapi wicara, dan kesehatan lainnya.
Dari preklinik ini aku baru ngerasa apa sebenarnya jurusanku ini, apa fungsinya, gimana kerjanya, apa yang harus dilakukan. Benar kata orang, passion itu dicari bukan ditunggu.
Menjadi calon tenaga medis mengharuskan kita untuk punya respect tinggi ke orang lain, dan asal kalian tahu segitu malasnya aku dengan yang namanya basa-basi. Dituntut keadaan dan profesi memang bisa buat kita belajar banyak, akhirnya belajar lah aku untuk meningkatkan skill respect dan basa-basi.
Awalnya sulit tapi semakin hari semakin bisa dinikmati. Ketemu pasien dari berbagai kalangan, umur, pekerjaan buat kita gak cuma belajar ilmu pengetahuan tapi ilmu kehidupan.
Gimana rasanya waktu tahu kalau pasien kita ini sudah terapi bertahun-tahun, seminggu dua kali harus ke rumah sakit, sendirian, naik angkot pula. Kemana anak cucunya?
Gimana rasanya waktu tahu pasien kita ini sudah berumur kepala 5, waktu ditanya datang sama siapa, beliau cuma jawab “saya hidup sendiri mbak, saya belum menikah”.
Gimana rasanya waktu tahu pasien kita ini masih muda, bahkan dibawah umur kita. Tapi sudah harus duduk dikursi roda karena stroke sejak SMA. “Gak ada cita-cita untuk saya mba”
Gimana rasanya waktu tahu pasien kita sudah setua ini, serenta ini, mengalami gangguan jiwa, serangan stroke, tidak ada keluarga yang menjenguk. “mba sering-sering kesini ya, saya sendiri”
Gimana rasanya waktu tahu sepasang suami istri datang membawa anaknya yang cukup besar untuk digendong karena keterbatasan fisik, dan bilang “cukup dia saja anak kami mba, takut kalau ada adenya nanti dia gak keurus”
Bicara soal pasien jiwa disini. Kami mengenalnya dengan nama Citra, pasien jiwa yang masih berumur sekitar 15 tahun, gadis yang menghabiskan masa remajanya di bangsal rumah sakit jiwa. Teman-teman bilang alasan Citra dirawat disini karena jiwanya terganggu setelah patah hati, sekali lagi karena patah hati. Siapa yang menyangka gadis semuda itu? Memang segala sesuatu di dunia ini ada batasnya, ada porsinya, apapun yang berlebihan tidak akan baik akhirnya. Citra hanya salah satu dari 800 lebih kisah pasien jiwa yang menyayat hati kita, terlebih menyayat hati keluarganya sendiri. sekian banyak pasien jiwa disini berasal dari kalangan dan status sosial yang berbeda-beda, yang pasti tidak ada satupun dari mereka yang menginginkan keadaan ini. Pasien jiwa disini banyak memberi kami pelajaran, dekat sekali rasanya dengan rasa syukur setiap mendengar bagaimana kisah hingga mereka bisa dirawat di RSJ, banyak sekali hal-hal yang harusnya kita syukuri karena masih diberikan nikmatnya sehat lahir dan batin, masih mampu hidup normal bersama orang-orang yang kita sayangi.
Menjadi seperti mereka tentu ada alasannya, itulah sebab kenapa kita tidak boleh menganggap sesuatu itu sepele, karena apa yang sepele bagi kita belum tentu sepele bagi orang lain. Bisa saja hal-hal sederhana itu mampu merusak hati mereka, membuat mereka terus kepikiran hingga mengganggu mental dan jiwanya, siapa yang tahu?
Jauhi komentar yang berbau fisik, ekonomi, keluarga dan hal-hal yang kiranya mampu menjatuhkan harga diri orang lain. Tolong! teruslah berbicara positif dan melakukan kebaikan, walaupun kenyataannya sulit tapi setidaknya hal itu tidak menambah beban orang lain. Ingat, apa yang kita anggap kecil belum tentu kecil bagi orang lain.
Sayangi orang-orang terdekat kita, siapa yang tahu sampai kapan batas waktu kebersamaan kita dengan mereka? 
Terlalu banyak cerita yang gak akan habis kalau dijabarkan. Setiap pasien membawa duka dan sukanya masing-masing, setiap pasien memiliki cerita yang tidak semua orang tau, tapi satu hal yang aku percaya mereka memiliki kemauan yang tinggi untuk sembuh. Yang tidak memilih untuk diam dan meratap, pasrah dengan keadaan.
Aku sering berpikir, jika aku diposisi mereka mungkin aku tidak akan sekuat itu.
Awalnya memang berat sekali menjalani jurusan ini, tapi setelah melewati satu bulan luar biasa itu aku merasa bahwa memang benar Allah tidak pernah salah akan skenarioNya. Yang kita benci pun pasti memiliki makna diakhirnya nanti. Tidak ada takdir yang salah alamat.


Jumat, 18 Januari 2019

Coretan kasar....


Malang adalah salah satu alasan yang membuat saya utuh sebagai manusia, tempat kenangan dan segala ingatan bermuara. Tempat dimana perjuangan sebenarnya terasa, doa-doa terapal dan didengar sang Maha Esa. Kota dimana hampir dengan sempurna menimbun seluruh kesepian kemudian digantikan dengan tawa riuh rendah yang memecah segala rasa.
Tentang tersenyum dan mengumpat disela-sela macetnya gajayana – tlogomas – tirto saat jam pulang kerja, tentang sebuah lingkaran persahabatan yang isinya silih berganti entah karna tak serasi atau memang tak pernah sehati, tentang cinta yang entah akan berakhir seperti apa.
Cobalah kendarai motormu  dan lewati jalan bandung yang menawarkan indahnya, kau mungkin tidak pernah paham bagaimana puitisnya malang sampai kau mengitari jalan soekarno hatta dari ujung hingga ke ujung saat tengah malam tiba, kemudian singgah di ceker pedas ditepi jalan, menikmatinya dan menyadari bahwa cinta tak lebih sederhana dari dua orang yang ngobrol ngalor ngidul tanpa topik yang pasti sambil sesekali mengumpat karna pedasnya ceker tidak bisa dimaklumi.
Saya menemukan cinta pada setiap sudut kota ini, pada setiap pedagang pinggir jalan dengan gerobaknya yang sederhana tapi mampu memberi suasana paling romantis dibanding apapun, pada para pedagang bunga yang menjajakan dagangannya hingga pagi buta, pada setiap peluh yang jatuh menunggu kemacetan tak kunjung usai disekitar gajayana, pada setiap warung kopi yang mengantarkan banyak manusia pada jati dirinya, pada senyum mas kasir indomaret yang sampai mengusirmu karna malam sudah terlalu malam, pada setiap legamnya aspal malang – batu yang terlalu sering membuatmu harus mendorong motor bahkan saat dini hari.
Setiap sudut kota ini memberikan sekian banyak kisah. Jikapun waktu itu akan datang, cerita-cerita ini akan tetap pada tempatnya. Suatu waktu aku akan kembali, entah untuk mengulang kisah yang baru atau sekedar mengenang betapa malang tlah memberikan banyak cerita.


Coffee Break diujung usia Quarter Life Crisis (25)

 Alhamdulillah... menghitung hari akan memasuki usia 26. Rasanya tahun ini sangat berbeda dari tahun sebelumnya, matahari sepertinya sudah j...