Minggu, 08 September 2019

Vanilla latte #BlogSeries2


Tanganku terasa kaku, mataku tertuju pada jam dinding disudut café ini. Sudah pukul 8 malam, apa malam ini hanya akan menjadi pertemuanku sendiri?. Segelas vanilla latte yang daritadi kuaduk, akhirnya kehilangan uapnya, kini hanya tersisa rasa dingin dan semakin enggan untuk diminum. Mataku terfokus pada pintu masuk café ini, berharap tubuh tegap dan berwibawa itu tidak lupa dimana kami biasa duduk.
Empat tahun bukan waktu yang singkat untuk berevolusi. Ingatan-ingatan masa lalu kukira tinggal manisnya saja, ternyata aku salah. Pahit itu masih pekat terasa, bahkan kekentalannya tak pernah berubah.
“Dulu kamu selalu menyisihkan nasimu yang masih hangat ke piringku, takut mubazir katamu”
“Dulu kamu selalu minta diambilkan 4 biji kerupuk ditoples bu ratih”
“Dulu kamu selalu bawa tumbler kuningmu kemanapun, katamu biar sehat minum air putih”
“Dulu kamu selalu pesan es jeruk, apapun yang terjadi, di hokben sekalipun :’)”
          Kita yang hari ini masih saja bergelut dengan kata ‘dulu’ sampai lupa sedang berdiri dimana saat ini. Perawakannya tidak banyak berubah, hanya sisiran rambut yang semakin rapi dan baju yang sekarang terlihat lebih formal dari biasanya.
 “kamu gak pernah punya mimpi pakai baju kaya gini tiap hari seingatku lan” sahutku sambal tertawa grumpy kearah Alan.
“Hahaha bener rev, tapi dunia udah ga ngasih celah lagi buat orang yg terlalu idealis kaya aku empat tahun lalu”
“Bukannya kamu selalu punya prinsip?”
“Idealis dan punya prinsip bedanya tipis Rev, bukannya semua itu yang buat aku kehilangan kamu?”
        Keheningan datang lagi. Alan yang terlalu berani untuk menyinggung masa-masa pahit itu, membuat aku kehabisan kosa kata untuk mencairkan suasana. Alan. Dia masih Alan-ku satu, dua, tiga, bahkan empat tahun lalu. Keras, berprinsip, tegas dan sulit terkalahkan, sikapnya tidak banyak berubah.
          Malang masih dingin, selalu dingin. Musim maba kukira akan berubah menjadi lebih hangat, ternyata sama saja. Malang tetap ramah, bahkan bagiku yang sudah menjadi asing untuk tempat ini. Empat tahun tidak menginjak tempat ini ternyata tak begitu banyak membawa perubahan. Masakan Bu Ratih tetap enak, bahkan enak sekali, hanya dia yang semakin renta kulihat. Lalapan burung dara dipinggir jalan itu juga masih beraroma mengaduk perut. Bapak penjual bakso dengan aroma nikmat tak terkalahkan juga masih setia dengan gerobak birunya. Ternyata definisi tak banyak berubah hanya kulihat dari tempat makan langganan semasa kuliah.
“Kerjaan aman?” celetuk Alan saat aku asik mengunyah bakso pak sabar.
“aman kok aman, pasien makin rame, akunya makin gak ngurus diri sendiri hahaha”
“bukannya kamu selalu begitu? Lebih mementingkan orang lain, dirinya sendiri dilupain”
“Ya gak juga lan, kamu gimana? bisnis rentalan bareng Alif gimana?”
“gak pasti rev, lama-lama cape juga. Mending kerja kantoran dulu sampe modalnya agak banyak ntar aku buka sendiri aja”
“Aamiin, Alan yang aku kenal selalu punya mimpi. Dan gak pernah pengen punya bos, iya kan?”
“Kamu selalu ingat rev”
       Masih banyak yang belum sempat aku sampaikan padamu. Sepenggal lirik lagu Kunto Aji mungkin jadi lirik paling pas untukku, untuk Alan. Aku tidak tau, datangnya aku ke Malang ini sebagai obat ataukah sebagai racun paling ampuh untuk membuatku semakin tenggelam dalam pilu yang dulu.
“Vania apa kabar? Masih dia sama Reno?”
“Vania, bukannya kamu follow dia juga ya”
“kamu lupa aku sempat vakum sosmed setahun kan? Terus bikin akun baru juga waktu itu”
“Ah iya, Alan waktu itu ngilang dari muka bumi. Aku sampe gak tau harus nyari kemana. Vania nikah setahun lalu sama Reno, setelah berjuta drama mereka”
“Sumpah? Alhamdulillah ya. Ga nyangka juga, dulu sering aku katain bucin itu Reno. Jadi juga dia”
“bucin positif ya baek lah, emang kamu apa-apa salah terus hahaha”
“Kapan-kapan ayo ngopi berempat lagi sama mereka, kangen juga sama pasangan itu”
“Kapan kapan banget aja ya lan, waktuku singkat banget disini”
    Jalanan Malang yang semakin lengang, membuat Alan memperlambat laju mobil yang dikendarainya.
“Ingat bapak penjual mainan?” Alan memecah lamunanku.
“penjual mainan? Ah iya, yang dulu jualan dibundaran pesawat terus pindah ke dekatnya Sabilillah itukan?”
“yaps bener. Masih disimpen mainan pesawatnya?”
“Masih kok, dirumah. Kenapa?”
“bulan agustus kemaren bapak itu meninggal, aku datang kerumah duka nya beliau.”

Bersambung~


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Coffee Break diujung usia Quarter Life Crisis (25)

 Alhamdulillah... menghitung hari akan memasuki usia 26. Rasanya tahun ini sangat berbeda dari tahun sebelumnya, matahari sepertinya sudah j...