Kamis, 13 Juli 2017

Mendekatkan jodoh? #Cerpen2

Pengekangan sejak kecil membuatku sering kebingungan untuk menentukan pilihan. Aku sangat mengenalnya tapi tidak dengan baik, Daffa. Sepertinya Tuhan menciptakan kami dalam waktu bersamaan hanya saja takdir hidupnya yang berbeda, aku dari keluarga santun, agamis, dan harmonis. Daffa si pecinta kebebasan lahir dari keluarga terpecah sejak kecil yang membuat jiwanya terbang bebas mengangkasa. Justru karena hal ini, aku dan Daffa bagai menemukan telaga ditengah padang tandus, menemukan apa yang telah hilang dari jiwanya yang mati, yang terkubur karena mimpi yang kesekian kali dilangitkan.
            Aku mengenalnya, tapi tidak dengan baik. Daffa seorang yang bebas melakukan apa saja semaunya, dia bisa menyanyi ditengah lapangan bahkan saat kami semua sedang ujian, dia bisa berlari sangat kencang dikoridor sekolah padahal baru saja ada pengumuman untuk mengosongkan koridor sekolah. Itulah Daffa, yang tingkahnya sering kuperhatikan dari balik kaca yang membatasi  kelas dua belas ipa 3 dan dua belas ipa 2. Daffa sudah satu sekolah denganku dari sd, smp, dan sma. Aku tidak tahu, takdirkah atau memang Daffa yang seakan bisa dengan mudah mengubah takdir dan selalu mengikutiku sekolah dimana saja. Sekali lagi, Daffa mencintai kebebasan.
            Walaupun mencintai kebebasan, Daffa adalah anggota aktif di rohis sekolah, ya dia agamis. Menjadi atlet basket disekolah dengan modal wajah yang mungkin bisa dibilang hitam manis membuat banyak wanita-wanita disekitarnya cukup meringis walaupun aku masih ragu untuk mengakui hal itu. Tubuh tinggi nan proporsional itu juga mengantarkan Daffa pada prestasi yang membanggakan, menjadi pembentang bendera pusaka pada perayaan kemerdekaan Indonesia ke-68.
            Itulah Daffa, sahabat baikku sekaligus menjadi idola, kakak, guru atau apa saja yang kuinginkan. Disamping sekian banyak prestasi yang dimilikinya, Ibuku tak pernah menunjukkan ketertarikannya setiap kali aku berusaha untuk membuat Ibu mengakui Daffa sebagai teman baik putrinya. Ya, Daffa adalah seorang anak dari keluarga broken home dan memiliki riwayat keluarga dimata Ibu yang juga gurunya saat SD amatlah tidak baik untuk lebih dari teman untukku, sekali lagi karena kami dilahirkan bersamaan tapi dengan takdir yang berbeda.


            Hari-hari selalu menjadi lebih menyenangkan bagiku jika ada Daffa, dia selalu bisa menjadi pewarna disetiap langitku yang abu-abu, yang monoton, yang mendung tanpa cahaya. Aku yang terkenal sebagai Rifa si anak pintar nan kutu buku selalu menjadi Rifa yang lain jika bersama Daffa. Mencintai kebebasan dengan menulis, melukis, dan menangkap momen terbaik dengan kamera poket kesayanganku menjadi hal-hal yang hanya bisa kulakukan jika bersama Daffa. Ibu sangat tidak suka jika aku terfokus pada hal lain diluar belajar, mengingat mimpiku atau mungkin hanya mimpi ibu agar aku bisa masuk di Fakultas Kedokteran Universitas ternama tahun depan.
“kamu mau jadi apa sih fa?” Pertanyaanku pada Daffa yang sering tak ada jawabannya.
“jadi kupu-kupu Rif” jawab Daffa asal.
“Bisa gak sih serius sekali aja fa, percuma udah lama sahabatan tapi kamu gak pernah serius”
“Jangan baper sekarang ya rif, udah ah pulang yuk”
            Itulah Daffa, tak mengenal kata serius. Dia tidak pernah menceritakan hidupnya, mimpinya, atau hal-hal lain yang membutuhkan keseriusan. Dan satu hal yang selalu kupertanyakan dan kupilih untuk dipendam saja juga tak pernah terlontar dari ucapannya, tentang perasaan kami satu sama lain, entah ada atau tidak didalam hatinya.
            Tiga tahun di SMA bukan waktu yang singkat untuk melewati banyak cerita, Daffa dengan dunianya, aku dengan duniaku, dan ketika kami bersama maka dunia yang amat berbeda tadi akan menyatu. Setelah melewati ujian nasional yang cukup menguras energi dan pikiran, seminggu setelahnya aku harus pergi ke salah satu kota di Jawa Timur untuk mengikuti bimbingan belajar intensif demi mengikuti kemauan Ibu untuk kuliah di jurusan kedokteran, walaupun aku sendiri tidak pernah yakin dengan hal ini.
            Tentu seminggu ini menjadi waktu yang berharga untukku dan Daffa, melepaskan kebiasaan kami selama dua belas tahun disekolah yang sama. Bersepeda menjadi hal yang menyenangkan karena bisa saling bercerita apa saja, akhirnya terungkap sudah mimpi Daffa yang tidak pernah aku tahu sebelumnya. Daffa ingin menjadi abdi negara, sontak hal ini membuatku kaget bukan main.


            Daffa yang mencintai kebebasan bagaimana mungkin ingin berprofesi menjadi orang lain yang tentu sangat bertolak belakang dengan dirinya. Abdi negara tentunya akan diikat dengan aturan yang ketat dan sangat kental dengan kedisiplinan. Alasan yang tidak sederhana, untuk kuliah Daffa dan keluarganya tidak mempunyai biaya yang cukup banyak lagipula dua adiknya masih sekolah, ditambah lagi ayah yang bekerja diluar kota dan jarang pulang semakin membuatnya ragu untuk menambah beban nenek yang sudah merawatnya sejak kecil. Itulah mengapa menjadi abdi negara tanpa biaya pendidikan sedikitpun menjadi pilihannya.
            Aku turut mendoakannya agar diberi jalan yang terbaik walaupun masih tidak tega untuk membiarkannya menjadi sesuatu yang sebenarnya tidak begitu ia inginkan. Tanggal 25 April menjadi hari yang bersejarah buatku, hari pertama merantau, sayangnya Daffa tidak bisa ikut mengantar ke bandara karena ada urusan mendadak mengenai pendaftaran pendidikan lanjutannya. Walaupun tidak ikut mengantar, Daffa menitipkan hadiah kecil ke Elly yang kebetulan mengantarkan aku ke bandara hari itu. Tapi tetap saja hal ini tidak mengurangi rasa yang belum usai dihatiku, sampai berpisah pun kami belum sempat untuk membicarakan hal yang ingin aku bicarakan.
            Seminggu setelah aku pergi untuk bimbel di tanah jawa, Daffa juga terbang ke tempatnya melakukan sejumlah seleksi untuk pendidikan Bintara POLRI. Di tanah rantau aku mengenal sejumlah teman baik dari berbagai Kota di Indonesia, dari sulawesi, ambon, madura, dan daerah lainnya. Asam manis menjadi anak kos baru membuatku semakin belajar mandiri dan tidak bergantung pada siapa-siapa termasuk Daffa. Untuk melepas rindu sesekali kami vidiocall dan menceritakan kegiatan di tanah rantau masing-masing, menjadi dua orang yang sama-sama tidak mengerti dengan apa yang mereka pilih menjadikan aku dan Daffa seringnya saling mengasihani.
            Alhamdulillah, Daffa lolos seluruh seleksi yang diikutinya dan sebentar lagi akan masuk pendidikan Dashbara di Sekolah Polisi Negara. Berbeda denganku, tidak lolos di jurusan kedokteran membuatku harus beralih ke jurusan yang hampir mirip dengan kedokteran yaitu kesehatan. Tidak begitu menjadi masalah besar buatku karena memang dari awal aku sendiri tidak yakin untuk menjadi mahasiswa kedokteran.
           

            Dua bulan tanpa komunikasi dengan Daffa karena pendidikan yang mengharuskan, membuatku cukup kaget karena ini benar-benar pertama kalinya tanpa komunikasi setelah dua belas tahun mengenalnya. No problem, karena sebentar lagi pasti Daffa akan menghubungi karena memang sudah hampir dua bulan masa pendidikan awalnya.
            Perbedaan yang nyata antara kegiatanku dan Daffa ditambah lagi jarak dan waktu yang berbeda membuat komunikasi susah sekali diantara kami, walaupun sebenarnya ini harusnya tidak menjadi masalah karena kami hanya berteman kan?
            Aku memasuki semester dua dan Daffa sebentar lagi graduate atau bisa disebut wisuda versi pendidikannya. Tentu setelah ini Daffa akan ditempatkan diseluruh pedalaman Kalimantan, entah dilokasi yang seperti apa. Sangat disayangkan jadwal graduate Daffa bertabrakan dengan jadwal ujian akhirku, otomatis aku tidak bisa hadir dihari penting baginya. Lagipula aku yakin Ibu juga tidak akan mengizinkan sekalipun aku sedang liburan atau apapun itu.
            Setelah graduate aku dan Daffa sempat memiliki jadwal libur yang sama dan kami bisa bertemu setelah satu tahun tanpa pertemuan. Akhirnya waktu yang kutunggu-tunggu itu datang juga, kami bisa membicarakan tentang perasaan, yang kukira memang sudah sangat kami butuhkan karena setelah ini kami tidak tahu lagi kapan bisa bertemu. Aku dan Daffa mengungkapkan semuanya, apa yang dia rasakan, apa yang aku rasakan, apa yang kami rasakan. Dan hari itu resmilah sudah, aku dan Daffa bukan hanya sekedar teman atau sahabat, hal yang lebih dari itu, lebih manis daripada itu walaupun manisnya hanya berlaku saat-saat awal.
            Daffa yang kuakui semakin gagah dengan seragamnya itu tentu sangat berbeda dengan Daffa yang pertama kali kulihat dua belas tahun lalu, perbedaan tampilan perlahan ikut merubah dirinya, entah hanya aku yang terlalu perasa atau memang dia yang tidak pernah sadar bahwa sudah banyak berubah. Memang perubahan adalah hal yang pasti mengingat umur, keadaan, kebiasaan juga sudah berubah. Sulit untukku menerima Daffa yang semakin berubah, yang tetap kusadari walaupun aku tidak selalu ada disampingnya. Daffa yang dulu selalu menceritakan apa saja ditelefon dan saat bertemu, sekarang terkesan lebih banyak diam, tidak sebebas dulu, tidak seasik dulu.


            Entah karena status kami yang memang sekarang sudah berbeda membuat kami sama-sama berubah dan lebih banyak menyalahkan satu sama lain. Atau karena memang pacaran adalah hal yang diharamkan Allah swt? Ya sepertinya memang ini adalah jawabannya. Aku mengetahui hal ini tapi tetap saja memenangkan nafsuku untuk tetap menerima cinta Daffa, agar ia sepenuhnya menjadi milikku, sepenuhnya menjadi hakku. Padahal aku tahu tidak ada ikatan yang lebih pasti selain menikah.
            Aku mulai kehilangan rasa dan diserang rasa bersalah, kenapa berani menerima cinta Daffa. Sekalipun hubungan kami adalah hubungan yang murni hanya status dan kami tidak pernah melakukan maksiat, tapi tetap saja dengan pacaran maka kami sudah zina mata, zina hati dan mungkin zina-zina yang lain jika kami tidak mampu menahan godaan syaitan.
            Aku mulai merubah sikapku dan menunjukkan pada Daffa bahwa aku sudah enggan dengan hubungan ini, Daffa pun semakin menunjukkan hal yang sama tapi kurasa kami sama-sama tidak ada yang ingin mengatakannya lebih dulu. Sama-sama tidak ada yang ingin menyakiti walaupun semakin lama bertahan dalam hubungan seperti ini juga sama sakitnya. Akhirnya kuutarakan pada Daffa tentang apa yang kurasakan, semuanya, sejujurnya, walaupun hanya lewat telefon karena memang keterbatasan jarak. Kudengar nada kecewa diseberang sana dan aku yakin Daffa menyadari kalau airmataku tidak pernah bisa terbendung daritadi. Ya inilah akhir dari segalanya, aku sempat mengutarakan janji pada Daffa untuk tidak akan mengenal lagi apa itu pacaran dan aku berjanji untuk lebih baik serta memperbaiki diri hanya untuk jodohku kelak.
            Semudah itulah hubunganku dan Daffa berakhir, persahabatan selama dua belas tahun dan pacaran hampir dua tahun tak lantas bisa mendekatkan jodoh. Daffa yang kukira adalah jodohku karena sudah terlalu lama bersama nyatanya bukan juga. Setelah hubungan yang berakhir itu, aku dan Daffa jarang sekali komunikasi ataupun sekedar bertukar kabar. Entah karena dia atau aku sama-sama takut untuk tenggelam dalam kenangan lagi atau memang kami sama-sama enggan untuk mengenal lagi. Aneh tapi itulah kenyataannya. Persahabatan yang lama itu berakhir begitu saja karena kami mencoba memenangkan perasaan yang mengatasnamakan cinta, perasaan yang kami kira akan menang nyatanya kalah juga karena melakukan laranganNya.


            Satu tahun sudah berlalu semenjak putus dengan Daffa, aku bersyukur karena aku semakin memahami diriku sendiri, tidak bergantung pada siapa-siapa lagi selain padaNya, mempunyai banyak teman seiman yang juga sedang berjuang dalam hijrah. Terakhir kali yang kutahu sekarang Daffa sedang menjalin hubungan dengan wanita yang juga kerja didaerahya bekerja. Sedih memang saat pertama kali tahu kalau secepat itu Daffa menggantiku yang sudah lama bersamanya, tapi kembali lagi pada apa yang Allah swt janjikan dalam surah an-nur ayat 26, bahwa wanita yang baik untuk laki-laki yang baik begitupun sebaliknya. Karena hal ini aku yakin Daffa memang bukan yag terbaik buatku, kenangan persahabatan itu pun memang sepatutnya hanya menjadi kenangan untuk diambil pelajarannya.
            Menjalani kehidupan masing-masing seperti ini memang jauh lebih baik, aku hanya bisa mendoakan agar Daffa juga sadar kalau pacaran itu haram dan bisa kembali ke jalanNya. Sesakit apapun, melepaskan menjadi yang terbaik saat bertahan hanya akan menambah dosa karena melakukan laranganNya. Perlahan aku akan mencoba melepaskan semuanya, walau susah, walau berat.












BIODATA PENULIS
Nama               : Rizka Wulandari Putri
Akun Sosmed : rizkawulandari (instagram)
                        rizkawulandariputri (id Line)
Email               : rizkawulandari10@yahoo.co.id
Alamat                        : JL. Baiduri Pandan 1 no 2 Griya Sakinah, Tlogomas, Malang, Jawa Timur
No HP             : 085247557501

Tips Move On ala Rizka:
1. Dekatkan diri padaNya ya girls, karena dengan mendekatkan diri pada sang pencipta akan membuat kamu semakin yakin bahwa kamu punya Dia yang maha hebat dan pengatur skenario terbaik.
2. Quality Time bareng keluarga. Nah kamu pernah gak kepikiran kalau orang tua kamu, kakak kamu, adik kamu,semuanya pasti rindu sama kamu yang dulu. Sebelum disibukin sama si dia, kamu udah jarang tuh main atau cerita-cerita lagi sama keluarga, so sekarang waktunya kamu menghabiskan waktu bareng mereka tanpa kepikiran kenangan kenangan dulu.
3. Quality Time bareng sahabat. Saat dulu kamu masih sibuk kepikiran dia, apa kamu ingat kalau kamu masih punya sahabat yang selalu ada buat kamu saat senang ataupun sedih? Yuk ngumpul lagi bareng mereka, mereka kangen tuh.
4. Menjalankan hobi. Galau bikin kamu lupa kalau kamu suka masak, berenang, baca novel, travelling dan hal asik lainnya. Ayo kembali lakuin hobimu, kamu bakal sadar kalau dunia ini lebih indah tanpa si dia.
5. Bergabung dengan majelis ilmu / organisasi/ kegiatan volunteer. Dengan itu kamu akan mengenal lebih banyak orang dan melakukan interaksi dengan berbagai orang, tentunya akan membuka lingkaran pertemananmu dan siapa tahu salah satunya adalah calon imam kamu hehe atau paling tidak kamu akan mendapatkan pengalaman seru daripada sekedar galau memikirkan hal yang sia-sia.
6. Banyak berbagi. Memberi hadiah untuk keluarga, memberi sedekah untuk fakir miskin atau anak yatim pasti membuat kamu lebih bahagia. Karena dengan berbagi kamu akan merasa berguna bagi orang banyak dan tidak lagi memikirkan kesedihan yang berlarut-larut.
7. Jauhi segala akses menuju masa lalu dengan dia, misalnya melihat foto kalian (sebaiknya dihapus daripada menuhin memori), mengingat segala yang dia suka atau tidak suka, melewati tempat yang sering kalian lewati dulu, jangan stalk sosmednya (ikhlaskanlah kalau dia lebih dulu berbahagia), jangan menanyakan kabar (kalau niatnya murni hanya untuk silaturahmi ya tidak apa asal jangan lebih dari itu).
8. Fokus memperbaiki diri, karena laki-laki yang baik untuk wanita yang baik, begitu pula sebaliknya. Tetap semangat ukhti, are you ready to be single fisabilillah?

ps: cerpen ini salah satu kontributor dalam Sayembara menulis "Untuk hati yang pernah singgah" yang diadakan oleh penerbit wahyu qolbu


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Coffee Break diujung usia Quarter Life Crisis (25)

 Alhamdulillah... menghitung hari akan memasuki usia 26. Rasanya tahun ini sangat berbeda dari tahun sebelumnya, matahari sepertinya sudah j...