Pengekangan
sejak kecil membuatku sering kebingungan untuk menentukan pilihan. Aku sangat
mengenalnya tapi tidak dengan baik, Daffa. Sepertinya Tuhan menciptakan kami dalam
waktu bersamaan hanya saja takdir hidupnya yang berbeda, aku dari keluarga santun,
agamis, dan harmonis. Daffa si pecinta kebebasan lahir dari keluarga terpecah
sejak kecil yang membuat jiwanya terbang bebas mengangkasa. Justru karena hal
ini, aku dan Daffa bagai menemukan telaga ditengah padang tandus, menemukan apa
yang telah hilang dari jiwanya yang mati, yang terkubur karena mimpi yang
kesekian kali dilangitkan.
Aku mengenalnya, tapi tidak dengan
baik. Daffa seorang yang bebas melakukan apa saja semaunya, dia bisa menyanyi
ditengah lapangan bahkan saat kami semua sedang ujian, dia bisa berlari sangat
kencang dikoridor sekolah padahal baru saja ada pengumuman untuk mengosongkan
koridor sekolah. Itulah Daffa, yang tingkahnya sering kuperhatikan dari balik
kaca yang membatasi kelas dua belas ipa
3 dan dua belas ipa 2. Daffa sudah satu sekolah denganku dari sd, smp, dan sma.
Aku tidak tahu, takdirkah atau memang Daffa yang seakan bisa dengan mudah
mengubah takdir dan selalu mengikutiku sekolah dimana saja. Sekali lagi, Daffa
mencintai kebebasan.
Walaupun mencintai kebebasan, Daffa
adalah anggota aktif di rohis sekolah, ya dia agamis. Menjadi atlet basket
disekolah dengan modal wajah yang mungkin bisa dibilang hitam manis membuat
banyak wanita-wanita disekitarnya cukup meringis walaupun aku masih ragu untuk
mengakui hal itu. Tubuh tinggi nan proporsional itu juga mengantarkan Daffa
pada prestasi yang membanggakan, menjadi pembentang bendera pusaka pada
perayaan kemerdekaan Indonesia ke-68.
Itulah Daffa, sahabat baikku
sekaligus menjadi idola, kakak, guru atau apa saja yang kuinginkan. Disamping
sekian banyak prestasi yang dimilikinya, Ibuku tak pernah menunjukkan
ketertarikannya setiap kali aku berusaha untuk membuat Ibu mengakui Daffa
sebagai teman baik putrinya. Ya, Daffa adalah seorang anak dari keluarga broken home dan memiliki riwayat
keluarga dimata Ibu yang juga gurunya saat SD amatlah tidak baik untuk lebih
dari teman untukku, sekali lagi karena kami dilahirkan bersamaan tapi dengan
takdir yang berbeda.
Hari-hari selalu menjadi lebih
menyenangkan bagiku jika ada Daffa, dia selalu bisa menjadi pewarna disetiap
langitku yang abu-abu, yang monoton, yang mendung tanpa cahaya. Aku yang
terkenal sebagai Rifa si anak pintar nan kutu buku selalu menjadi Rifa yang
lain jika bersama Daffa. Mencintai kebebasan dengan menulis, melukis, dan
menangkap momen terbaik dengan kamera poket kesayanganku menjadi hal-hal yang
hanya bisa kulakukan jika bersama Daffa. Ibu sangat tidak suka jika aku
terfokus pada hal lain diluar belajar, mengingat mimpiku atau mungkin hanya
mimpi ibu agar aku bisa masuk di Fakultas Kedokteran Universitas ternama tahun
depan.
“kamu
mau jadi apa sih fa?” Pertanyaanku pada Daffa yang sering tak ada jawabannya.
“jadi
kupu-kupu Rif” jawab Daffa asal.
“Bisa
gak sih serius sekali aja fa, percuma udah lama sahabatan tapi kamu gak pernah
serius”
“Jangan
baper sekarang ya rif, udah ah pulang yuk”
Itulah Daffa, tak mengenal kata
serius. Dia tidak pernah menceritakan hidupnya, mimpinya, atau hal-hal lain
yang membutuhkan keseriusan. Dan satu hal yang selalu kupertanyakan dan kupilih
untuk dipendam saja juga tak pernah terlontar dari ucapannya, tentang perasaan
kami satu sama lain, entah ada atau tidak didalam hatinya.
Tiga tahun di SMA bukan waktu yang singkat
untuk melewati banyak cerita, Daffa dengan dunianya, aku dengan duniaku, dan
ketika kami bersama maka dunia yang amat berbeda tadi akan menyatu. Setelah
melewati ujian nasional yang cukup menguras energi dan pikiran, seminggu
setelahnya aku harus pergi ke salah satu kota di Jawa Timur untuk mengikuti
bimbingan belajar intensif demi mengikuti kemauan Ibu untuk kuliah di jurusan
kedokteran, walaupun aku sendiri tidak pernah yakin dengan hal ini.
Tentu seminggu ini menjadi waktu
yang berharga untukku dan Daffa, melepaskan kebiasaan kami selama dua belas
tahun disekolah yang sama. Bersepeda menjadi hal yang menyenangkan karena bisa
saling bercerita apa saja, akhirnya terungkap sudah mimpi Daffa yang tidak
pernah aku tahu sebelumnya. Daffa ingin menjadi abdi negara, sontak hal ini
membuatku kaget bukan main.
Daffa yang mencintai kebebasan bagaimana
mungkin ingin berprofesi menjadi orang lain yang tentu sangat bertolak belakang
dengan dirinya. Abdi negara tentunya akan diikat dengan aturan yang ketat dan
sangat kental dengan kedisiplinan. Alasan yang tidak sederhana, untuk kuliah
Daffa dan keluarganya tidak mempunyai biaya yang cukup banyak lagipula dua
adiknya masih sekolah, ditambah lagi ayah yang bekerja diluar kota dan jarang
pulang semakin membuatnya ragu untuk menambah beban nenek yang sudah merawatnya
sejak kecil. Itulah mengapa menjadi abdi negara tanpa biaya pendidikan
sedikitpun menjadi pilihannya.
Aku turut mendoakannya agar diberi
jalan yang terbaik walaupun masih tidak tega untuk membiarkannya menjadi
sesuatu yang sebenarnya tidak begitu ia inginkan. Tanggal 25 April menjadi hari
yang bersejarah buatku, hari pertama merantau, sayangnya Daffa tidak bisa ikut
mengantar ke bandara karena ada urusan mendadak mengenai pendaftaran pendidikan
lanjutannya. Walaupun tidak ikut mengantar, Daffa menitipkan hadiah kecil ke
Elly yang kebetulan mengantarkan aku ke bandara hari itu. Tapi tetap saja hal
ini tidak mengurangi rasa yang belum usai dihatiku, sampai berpisah pun kami
belum sempat untuk membicarakan hal yang ingin aku bicarakan.
Seminggu setelah aku pergi untuk
bimbel di tanah jawa, Daffa juga terbang ke tempatnya melakukan sejumlah
seleksi untuk pendidikan Bintara POLRI. Di tanah rantau aku mengenal sejumlah
teman baik dari berbagai Kota di Indonesia, dari sulawesi, ambon, madura, dan
daerah lainnya. Asam manis menjadi anak kos baru membuatku semakin belajar
mandiri dan tidak bergantung pada siapa-siapa termasuk Daffa. Untuk melepas
rindu sesekali kami vidiocall dan menceritakan kegiatan di tanah rantau
masing-masing, menjadi dua orang yang sama-sama tidak mengerti dengan apa yang
mereka pilih menjadikan aku dan Daffa seringnya saling mengasihani.
Alhamdulillah, Daffa lolos seluruh
seleksi yang diikutinya dan sebentar lagi akan masuk pendidikan Dashbara di
Sekolah Polisi Negara. Berbeda denganku, tidak lolos di jurusan kedokteran
membuatku harus beralih ke jurusan yang hampir mirip dengan kedokteran yaitu
kesehatan. Tidak begitu menjadi masalah besar buatku karena memang dari awal
aku sendiri tidak yakin untuk menjadi mahasiswa kedokteran.
Dua bulan tanpa komunikasi dengan
Daffa karena pendidikan yang mengharuskan, membuatku cukup kaget karena ini
benar-benar pertama kalinya tanpa komunikasi setelah dua belas tahun
mengenalnya. No problem, karena
sebentar lagi pasti Daffa akan menghubungi karena memang sudah hampir dua bulan
masa pendidikan awalnya.
Perbedaan yang nyata antara
kegiatanku dan Daffa ditambah lagi jarak dan waktu yang berbeda membuat
komunikasi susah sekali diantara kami, walaupun sebenarnya ini harusnya tidak
menjadi masalah karena kami hanya berteman kan?
Aku memasuki semester dua dan Daffa
sebentar lagi graduate atau bisa disebut wisuda versi pendidikannya. Tentu
setelah ini Daffa akan ditempatkan diseluruh pedalaman Kalimantan, entah
dilokasi yang seperti apa. Sangat disayangkan jadwal graduate Daffa bertabrakan
dengan jadwal ujian akhirku, otomatis aku tidak bisa hadir dihari penting
baginya. Lagipula aku yakin Ibu juga tidak akan mengizinkan sekalipun aku
sedang liburan atau apapun itu.
Setelah graduate aku dan Daffa
sempat memiliki jadwal libur yang sama dan kami bisa bertemu setelah satu tahun
tanpa pertemuan. Akhirnya waktu yang kutunggu-tunggu itu datang juga, kami bisa
membicarakan tentang perasaan, yang kukira memang sudah sangat kami butuhkan
karena setelah ini kami tidak tahu lagi kapan bisa bertemu. Aku dan Daffa
mengungkapkan semuanya, apa yang dia rasakan, apa yang aku rasakan, apa yang
kami rasakan. Dan hari itu resmilah sudah, aku dan Daffa bukan hanya sekedar
teman atau sahabat, hal yang lebih dari itu, lebih manis daripada itu walaupun manisnya
hanya berlaku saat-saat awal.
Daffa yang kuakui semakin gagah
dengan seragamnya itu tentu sangat berbeda dengan Daffa yang pertama kali
kulihat dua belas tahun lalu, perbedaan tampilan perlahan ikut merubah dirinya,
entah hanya aku yang terlalu perasa atau memang dia yang tidak pernah sadar
bahwa sudah banyak berubah. Memang perubahan adalah hal yang pasti mengingat
umur, keadaan, kebiasaan juga sudah berubah. Sulit untukku menerima Daffa yang
semakin berubah, yang tetap kusadari walaupun aku tidak selalu ada
disampingnya. Daffa yang dulu selalu menceritakan apa saja ditelefon dan saat
bertemu, sekarang terkesan lebih banyak diam, tidak sebebas dulu, tidak seasik dulu.
Entah karena status kami yang memang
sekarang sudah berbeda membuat kami sama-sama berubah dan lebih banyak
menyalahkan satu sama lain. Atau karena memang pacaran adalah hal yang
diharamkan Allah swt? Ya sepertinya memang ini adalah jawabannya. Aku
mengetahui hal ini tapi tetap saja memenangkan nafsuku untuk tetap menerima
cinta Daffa, agar ia sepenuhnya menjadi milikku, sepenuhnya menjadi hakku.
Padahal aku tahu tidak ada ikatan yang lebih pasti selain menikah.
Aku mulai kehilangan rasa dan diserang
rasa bersalah, kenapa berani menerima cinta Daffa. Sekalipun hubungan kami
adalah hubungan yang murni hanya status dan kami tidak pernah melakukan
maksiat, tapi tetap saja dengan pacaran maka kami sudah zina mata, zina hati
dan mungkin zina-zina yang lain jika kami tidak mampu menahan godaan syaitan.
Aku mulai merubah sikapku dan
menunjukkan pada Daffa bahwa aku sudah enggan dengan hubungan ini, Daffa pun
semakin menunjukkan hal yang sama tapi kurasa kami sama-sama tidak ada yang
ingin mengatakannya lebih dulu. Sama-sama tidak ada yang ingin menyakiti walaupun
semakin lama bertahan dalam hubungan seperti ini juga sama sakitnya. Akhirnya
kuutarakan pada Daffa tentang apa yang kurasakan, semuanya, sejujurnya, walaupun
hanya lewat telefon karena memang keterbatasan jarak. Kudengar nada kecewa
diseberang sana dan aku yakin Daffa menyadari kalau airmataku tidak pernah bisa
terbendung daritadi. Ya inilah akhir dari segalanya, aku sempat mengutarakan
janji pada Daffa untuk tidak akan mengenal lagi apa itu pacaran dan aku
berjanji untuk lebih baik serta memperbaiki diri hanya untuk jodohku kelak.
Semudah itulah hubunganku dan Daffa
berakhir, persahabatan selama dua belas tahun dan pacaran hampir dua tahun tak
lantas bisa mendekatkan jodoh. Daffa yang kukira adalah jodohku karena sudah
terlalu lama bersama nyatanya bukan juga. Setelah hubungan yang berakhir itu,
aku dan Daffa jarang sekali komunikasi ataupun sekedar bertukar kabar. Entah
karena dia atau aku sama-sama takut untuk tenggelam dalam kenangan lagi atau
memang kami sama-sama enggan untuk mengenal lagi. Aneh tapi itulah
kenyataannya. Persahabatan yang lama itu berakhir begitu saja karena kami
mencoba memenangkan perasaan yang mengatasnamakan cinta, perasaan yang kami
kira akan menang nyatanya kalah juga karena melakukan laranganNya.
Satu tahun sudah berlalu semenjak
putus dengan Daffa, aku bersyukur karena aku semakin memahami diriku sendiri,
tidak bergantung pada siapa-siapa lagi selain padaNya, mempunyai banyak teman
seiman yang juga sedang berjuang dalam hijrah. Terakhir kali yang kutahu
sekarang Daffa sedang menjalin hubungan dengan wanita yang juga kerja
didaerahya bekerja. Sedih memang saat pertama kali tahu kalau secepat itu Daffa
menggantiku yang sudah lama bersamanya, tapi kembali lagi pada apa yang Allah
swt janjikan dalam surah an-nur ayat 26, bahwa wanita yang baik untuk laki-laki
yang baik begitupun sebaliknya. Karena hal ini aku yakin Daffa memang bukan yag
terbaik buatku, kenangan persahabatan itu pun memang sepatutnya hanya menjadi
kenangan untuk diambil pelajarannya.
Menjalani kehidupan masing-masing seperti
ini memang jauh lebih baik, aku hanya bisa mendoakan agar Daffa juga sadar
kalau pacaran itu haram dan bisa kembali ke jalanNya. Sesakit apapun,
melepaskan menjadi yang terbaik saat bertahan hanya akan menambah dosa karena
melakukan laranganNya. Perlahan aku akan mencoba melepaskan semuanya, walau
susah, walau berat.
BIODATA
PENULIS
Nama : Rizka Wulandari Putri
Akun
Sosmed : rizkawulandari (instagram)
rizkawulandariputri (id
Line)
Alamat : JL. Baiduri Pandan 1
no 2 Griya Sakinah, Tlogomas, Malang, Jawa Timur
No
HP : 085247557501
Tips
Move On ala Rizka:
1.
Dekatkan diri padaNya ya girls, karena dengan mendekatkan diri pada sang
pencipta akan membuat kamu semakin yakin bahwa kamu punya Dia yang maha hebat
dan pengatur skenario terbaik.
2.
Quality Time bareng keluarga. Nah kamu pernah gak kepikiran kalau orang tua
kamu, kakak kamu, adik kamu,semuanya pasti rindu sama kamu yang dulu. Sebelum
disibukin sama si dia, kamu udah jarang tuh main atau cerita-cerita lagi sama
keluarga, so sekarang waktunya kamu menghabiskan waktu bareng mereka tanpa
kepikiran kenangan kenangan dulu.
3.
Quality Time bareng sahabat. Saat dulu kamu masih sibuk kepikiran dia, apa kamu
ingat kalau kamu masih punya sahabat yang selalu ada buat kamu saat senang
ataupun sedih? Yuk ngumpul lagi bareng mereka, mereka kangen tuh.
4.
Menjalankan hobi. Galau bikin kamu lupa kalau kamu suka masak, berenang, baca
novel, travelling dan hal asik lainnya. Ayo kembali lakuin hobimu, kamu bakal
sadar kalau dunia ini lebih indah tanpa si dia.
5.
Bergabung dengan majelis ilmu / organisasi/ kegiatan volunteer. Dengan itu kamu
akan mengenal lebih banyak orang dan melakukan interaksi dengan berbagai orang,
tentunya akan membuka lingkaran pertemananmu dan siapa tahu salah satunya
adalah calon imam kamu hehe atau paling tidak kamu akan mendapatkan pengalaman
seru daripada sekedar galau memikirkan hal yang sia-sia.
6.
Banyak berbagi. Memberi hadiah untuk keluarga, memberi sedekah untuk fakir
miskin atau anak yatim pasti membuat kamu lebih bahagia. Karena dengan berbagi
kamu akan merasa berguna bagi orang banyak dan tidak lagi memikirkan kesedihan
yang berlarut-larut.
7.
Jauhi segala akses menuju masa lalu dengan dia, misalnya melihat foto kalian
(sebaiknya dihapus daripada menuhin memori), mengingat segala yang dia suka
atau tidak suka, melewati tempat yang sering kalian lewati dulu, jangan stalk
sosmednya (ikhlaskanlah kalau dia lebih dulu berbahagia), jangan menanyakan
kabar (kalau niatnya murni hanya untuk silaturahmi ya tidak apa asal jangan
lebih dari itu).
8.
Fokus memperbaiki diri, karena laki-laki yang baik untuk wanita yang baik,
begitu pula sebaliknya. Tetap semangat ukhti, are you ready to be single
fisabilillah?
ps: cerpen ini salah satu kontributor dalam Sayembara menulis "Untuk hati yang pernah singgah" yang diadakan oleh penerbit wahyu qolbu