Minggu, 30 April 2017

Senja itu... #Cerpen1


            Cinta? Jika membahas cinta senja kali itu selalu teringat. Senja itu banyak maknanya, entah bagiku, bagi kalian, atau siapa saja. Yang pasti setiap senja menyimpan cerita sendiri untuk setiap orang. Merah, merona penuh bahagia atau kadang juga hitam, pekat penuh duka selalu senja hadirkan. Walaupun senja berubah-ubah tapi langit selalu menerima apa adanya. Damai penuh makna selalu senja hadirkan setiap kali aku melihat betapa ikhlasnya mentari melepas siang menyambut malam, melepaskan segalanya bersama dengan pulangnya sang pejuang nafkah dari peraduan, untuk melepaskan penat seharian setelah berargumen dengan keletihan.
            Lamunanku tentang senja seringkali berakhir saat dipanggil Ibu untuk masuk kerumah karena tidak baik untuk berlama-lama diluar saat menjelang maghrib. Ibu sering bertanya apa alasanku tak pernah melewatkan senja sekalipun walaupun sekedar melihat dari teras rumah. Sebenarnya aku tahu alasannya tapi sulit untuk mengungkapkannya. Aku adalah anak yang sejak kecil sangat tertutup pada Ibu terutama soal asmara. Terlebih lagi Ayah meninggalkan kami untuk selamanya sejak aku berumur 6 tahun, jadi Ibu lebih banyak menghabiskan waktu di Kantor dan kekurangan waktu untukku apalagi sekedar bercerita hal-hal yang kukira tidak begitu penting.
“Sudah kenyang lihat senja?” tanya Ibu dengan mimik wajah mengejek.
“ahh Ibu, aku cuma senang lihat senja kok bu, cantik, indah, penuh makna” Jawabku dengan teori seadanya.
“Halah Tia..Tia.. coba jujur aja sama ibunya sendiri. Eh iya, teman kecil kamu si Dion apa kabar ya Tia? Dulu sering main layangan bareng kamu kan? Hahaha”
“Si Ibu ingat aja temen-temenku, gaktau ya bu apakabarnya.”
            Pertanyaan Ibu berhasil membawaku pada kenangan bertahun-tahun lalu, Dion adalah teman akrabku, sangat akrab karena kami berada di kompleks perumahan yang berdekatan. Makan bersama, Dion juga sering menemaniku main masak-masakan, aku juga menemani Dion main bola. Karena tak ada lagi anak kompleks yang seusia dengan kami makanya kemana-mana kami hanya main berdua. Sayangya Ayah Dion pindah tugas saat kami duduk di kelas 6 SD, dipindahkan ke Kalimantan Barat dan tentunya sangat jauh dengan Jawa Timur. Tapi klimaks dari flashback ku ini bukanlah Dion melainkan Irul. Setelah berpisah dengan teman kecilku Dion, aku masuk SMP yang tidak begitu jauh dari kompleks, butuh waktu sekitar 20 menit untuk sampai kesana.
           Karena hanya terbiasa dengan Dion membuatku agak susah untuk mencari lingkar pertemanan yang baru, apalagi berteman dengan cewe-cewe SMP yang umumnya bersikap terlalu dewasa dan tidak sesuai umurnya. Akulah Tiara yang kala itu mati-matian mencari sahabat baru. Setelah sebulan di SMP membuatku semakin bisa beradaptasi dan menyadari kalau ternyata tidak semua cewe-cewe SMP itu seperti yang kupikirkan. Aku bertemu dengan Inggrid, cewe sederhana yang sangat ceria dan selalu membuatku yang pendiam ini terpingkal-pingkal karena tingkah konyolnya yang sering tidak bisa dikondisikan.
            Aku dan Inggrid bahagia melewati masa SMP yang sederhana dan penuh tawa itu. Hingga akhirnya saat duduk dikelas 8 datanglah Irul murid pindahan dari Jawa Tengah. Posturnya tidak begitu tinggi, cukup berisi, berkacamata, berkulit putih dan cukup good looking. Sungguh seperti Derby Romero kataku. Aku dan Inggrid pun berkenalan seadanya dengan Irul si anak baru. Tidak butuh waktu lama bagi Irul untuk beradaptasi, dengan mudah dia mengikuti ekskul basket, pengurus OSIS, dan ekskul Fotografi. Hal ini membuat Irul sebagai anak baru semakin memikat banyak hati remaja-remaja baru gede di SMP ku.
            Sampai suatu hari aku dan Irul dipertemukan dalam tugas kelompok yang cukup besar untuk mengerjakan proyek daur ulang limbah sampah menjadi barang siap jual. Awalnya mengerjakan tugas seperti biasa tapi entah kenapa kedekatanku dan Irul semakin dekat. Setiap malam kami sering menghabiskan waktu untuk chat via BBM yang saat itu sedang maraknya, walaupun hanya sekedar membahas hal-hal yang ringan. Aku juga sering pergi bersepeda dan bermain ditempat unik untuk menemani Irul mencari spot bagus untuk fotografi nya.
            Irul sering berkata dia menyukai senja karena walaupun senja berubah-ubah tapi senja selalu menjadi alasan langit mampu menerima senja apa adanya, dan hal ini juga yag menjadi salah satu alasan mengapa aku menyukai senja. Walaupun sebenarnya alasannya tidak sesederhana itu. Kedekatanku dan Irul membuatku seperti menemukan sosok Dion yang telah hilang bertahun-tahun lalu, tapi bedanya rasa ini lebih dari sekedar pada sahabat. Ya, aku merasakan apa yang kata orang cinta pertama. Aku tidak ingat pasti kapan mulai merasakan perasaan itu, yang kutahu saat ada Irul didekatku seperti ada segerombolan kupu-kupu yang mengepakkan sayapnya diperutku, menggelikan dan membuat jantung berdetak tak beraturan.
            Masuk di SMA yang sama dengan Irul membuat kami sudah bagaikan perangko dan amplopnya. Sampai ada yang mengira kami adik-kakak karena terlalu dekat. Kedekatan ini menjadi kebahagiaan buatku tapi juga kesedihan, karena aku takut jika Irul tahu apa yang kurasakan sejak dulu akan membuat hubungan persahabatan kami renggang. Masa SMA kami lalui dengan banyak cerita walaupun tak ada satu cerita pun yang menyelipkan kisah cinta diantara kami. Irul pernah bercerita tentang Jihan kakak kelas idolanya, katanya karena Jihan itu cerdas dan bertalenta. Aku juga sering bercerita pada Irul tentang teman-teman lelaki seangkatan yang menarik perhatianku. Begitulah kami, sederhana dan apa adanya. Entah apa yang Irul rasakan, apakah ada sedikit perasaan yang sama denganku?
            Lamunanku tersadar saat Ibu beranjak dari kursi dan bersiap sholat maghrib. Setelah sekian lama aku tidak pernah mengingat lagi tentang Irul dan masa remaja kami, akhirnya kalah juga dengan satu pertanyaan Ibu. Waktuku di rumah sebentar lagi habis karena memang aku hanya menghabiskan liburan semester ganjil tahun ini sekitar 2 minggu, dan memilih menghabiskan dua minggu sisanya di Yogyakarta untuk menyelesaikan tugas akhir lebih cepat dari yang lain.
            Esok harinya Ibu mengajakku ke Taman Kota untuk sejenak menghabiskan waktu berdua sebelum aku kembali ke perantauan.
“Tia gak rindu Ayah?” Kalimat yang pertama keluar dari mulut Ibu saat kami duduk dibawah pohon rindang ditepi Taman.
“Yahhh Ibu pertanyaan nya baper, pasti rindu lah bu. Sudah 15 tahun kita hidup tanpa Ayah”
“Apalagi Ibu yaa Tiara, sendirian besarin kamu, kamu rewel suka nangis lagi” Kata Ibu penuh ejekan.
“Ahh Ibu mengada-ngada, aku loh dari kecil kalem bu” jawabku bercanda.
“Hahaha, Serius ya ini Tiara, Ibu kesepian banget waktu kamu milih kuliah di Jogja. Apalagi kamu punya rencana kerja disana”
“Tiara juga sedih sebenarnya bu, tapi prospek kerja Tiara disana luas banget bu. Kenapa nggak Ibu yang ikut Tiara ke Jogja?”
“Hey kamu lupa, tahun lalu Ibu barusan perpanjang kontrak kerja 5 tahun ndo
“Sebelumnya maaf ya bu, apa Ibu gak pengen cari teman hidup lagi?” Sontak pertanyaan itu terlintas dimulutku, entah pertanyaan yang pantas atau tidak untuk Ibu.
“Setelah 21 tahun ibu hidup sama anak Ibu yang cantik ini, akhirnya berani juga nanya pertanyaan serius ke ibunya” Jawab Ibu entah dengan perasaan seperti apa.
“Hehehe siapa tahu kan bu.”
            Perbincangan hari itu ditutup dengan penyesalanku melontarkan pertanyaan yang entah membuat perasaan Ibu seperti apa, yang pasti sebenarnya pertanyaan itu tulus dari dalam hatiku. Aku sedih melihat Ibu selalu sendiri dan mengkhawatirkan masa tua Ibu kelak.
    
            Saatnya kembali ke rutinitas, Yogyakarta. Kota perantauan yang menyimpan banyak kisah perjuangan, para penimba ilmu, pengukir goresan tinta hingga pena, pengukir patung hingga pengukir senyum, penyair puisi hingga melodi, pelenggak tari hingga pencari intuisi. Ya, Yogyakarta adalah Kota seribu kisah, beragam kisah duka ataupun lara hingga suka ataupun bahagia. Banyak yang menjadi saksi dari terbit tenggelamnya mentari di kota Ini, pedagang kaki lima yang terkenal akan ramah dan bersahabatnya, turis yang tanpa segan melintasi malioboro dan kuda-kuda para pemilik delman yang kadang menambah bau khas setiap kali melintasi jalan malioboro yang menjadi sumber sejarah puluhan tahun lalu.
            Salah satu hobiku adalah memperhatikan sekeliling dan membayangkan kenangan ditempat itu bertahun-tahun lalu. Mungkin hobi ini yang membuatku sulit melupakan masa lalu, tapi bukankah masa lalu memang bukan untuk dilupakan?
            Ranita teman dekatku selama merantau di Yogyakarta selalu menjadi tempatku berkeluh kesah dan lain sebagainya. Ranita juga menjadi saksi kegagalan percintaanku diperantauan yang seringnya hanya karena aku tidak pernah benar-benar melupakan Irul. Mengawali perjumpaanku dengan Ranita setelah liburan dua minggu, menghabiskan waktu di coffee shop menjadi pilihan kami.
“Eh Tia.. Tia.. noleh kebelakang, noleh buruan” dengan panik Ranita menyuruhku menoleh kebelakang.
“Apaan sih Ran?”
            Iya, laki-laki yang duduk selisih dua meja kesamping kiri dari kami sangat mirip dengan Irul. Caranya mengaduk kopi, caranya memerhatikan sekeliling, bahkan caranya menatap orang asing. Ranita yang karena terlalu bosan mendengarku bercerita dan melihat foto Irul jaman SMA membuatnya juga tak asing dengan orang yang sama-sama sedang kami perhatikan itu.

Setelah SMA berakhir aku dan Irul tidak lagi saling komunikasi, mungkin hanya sekedar memerhatikan dari sosial media. Melihat perkembangan satu sama lain tanpa berani bertukar kabar. Ini terjadi hanya karena hal yang sederhana, kami terlibat perselisihan lumayan berat sesaat sebelum kelulusan. Dan aku percaya masih banyak rasa yang menggantung diantara kami. Setahuku Irul melanjutkan pendidikan di Harmburg, Jerman, mengambil jurusan bisnis terbaik disalah satu Universitas terkenal disana. Info ini kudapat dari Inggrid sahabatku SMA yang masih sering bertukar kabar dengan Irul. Lantas untuk apa Irul di Jogja? Mencariku? Ah lagi-lagi rasa percaya diri yang tinggi kadang membuatku sedih sendiri.
            Ranita memaksaku untuk menegur Irul saat di Coffee shop tadi, tapi itu bukanlah hal yang mudah setelah hampir empat tahun tidak pernah bertukar kabar apalagi bertemu. Aku pun mengurungkan niat itu dan kembali memikirkannya saat sampai dikos. Setelah memberanikan diri, mengiriminya pesan singkat mungkin salah satu alternatif yang paling mudah walaupun tidak mudah juga bagiku.
            Blues Cafe diperempatan malioboro menjadi saksi bisu pertemuan dua orang sahabat yang sekian lama tidak pernah bertemu, dua orang sahabat yang kupercaya telah kehilangan dirinya masing-masing dalam pelarian, dua orang yang berusaha mati-matian tidak bergantung pada masa lalu walaupun seluruh kenyataannya berkebalikan. Irul tidak banyak berubah, tatapannya masih dingin walaupun tersimpan kehangatan yang mungkin hanya aku yang bisa merasakan. Senyumnya pun selalu sama, penuh makna walaupun tidak bersahabat bagi orang yang baru mengenalnya. Rambut ikal itu kini jauh lebih klimis dibanding empat tahun lalu, mungkin musim dingin Jerman sudah merubah ciri khasnya itu.
           
            Perbincangan kami tentu tidak sama dengan saat masa remaja dulu, tentulah waktu dan jarak sudah merubah segalanya, walaupun rasaku tidak pernah berubah, entah dia. Kami banyak bercerita tentang kuliah masing-masing, sesekali membahas teman-teman SMA dan keberadaan mereka sekarang. Tujuan Irul ke Jogja adalah karena permintaan Ayah untuk bekerja disalahsatu perusahaan swasta yang membutuhkan fresh graduate seperti Irul. Disamping itu Ayahnya juga ingin menghabiskan masa tua bersama anak sulungnya. Ibu Irul meninggal dunia saat dia baru merantau ke Jerman, aku benar-benar tidak tahu kabar berita ini padahal Bu Cia panggilanku untuk Ibu Irul adalah sahabat terbaik bagi aku dan Irul, sering menghabiskan waktu bersama dan menceritakan banyak hal.
            14 Juni 2016, Ibu tiba-tiba datang ke Jogja saat aku sedang sibuk-sibuknya seminar hasil. Tidak direncanakan sebelumnya, katanya Ibu ingin menemani saat-saat ujian akhir seperti ini. Malam minggu itu Ibu mengajakku makan disalah satu rumah makan yang cukup terkenal di Jogja, katanya ingin mencoba masakan disana. Awalnya aku bingung, Ibu baru beberapa kali ke Jogja tapi kenapa begitu tahu dan ingin sekali makan di rumah makan itu.
“Kenapa harus makan disini bu?” Tanyaku dengan sedikit ngedumel.
“gakpapalah Tia, Ibu pengen coba masakannya”
“padahal banyak loh bu tempat lain yang lebih enak”
“sebenarnya sekalian Ibu pengen kenalin kamu sama teman Ibu, lagi di Jogja juga.”
            Betapa kagetnya malam itu, karena yang diundang Ibu ternyata adalah Irul, Ayahnya, dan adiknya Gita. Aku tahu, ayah Irul dan Ibu adalah teman baik saat kuliah dulu ditambah lagi aku dan Irul sudah bersahabat sejak SMP, maka bertambahlah kekerabatan diantara kami. Makan malam berlangsung layaknya teman yang lama tidak berjumpa, dan ditutup dengan membuat janji untuk makan malam lagi tiga hari kedepan.

            Sesampainya di kos, Ibu mengutarakan hal yang sontak membuatku kaget tidak terkira. Tentang pernyataan ayah Irul untuk menikah dengan Ibu. Hal ini sangat mengejutkanku, bukan karena keinginan Ibu untuk menikah lagi tapi karena kenapa harus Ayah Irul? Bukankah masih banyak laki-laki lain dimuka bumi ini? Bukankah Ibu punya banyak teman kantor yang juga single parent dan seumuran dengan Ibu? Kenapa harus Om Toni? Kenapa harus ayah dari orang yang sudah lama kutunggu kehadirannya kembali? Apa ini yang disebut cinta tidak terduga?
            Ibu bingung kenapa aku menangis mendengar pengakuan Ibu, aku pun tidak tahu harus jujur darimana. Dengan penuh keberanian akhirnya aku menceritakan semuanya, dari awal perkenalan, pertemuan, menjadi sahabat, hingga jatuh cinta pada Irul. Kukira ini salahku karena tidak pernah sekalipun jujur pada Ibu tentang perasaanku pada Irul. Kukira ini salahku karena tidak pernah berpikir bahwa kejadiannya akan seperti ini. Kecewa dan marah pada diri sendiri kurasakan saat itu.
            Aku tidak menyalahkan Ibu sedikitpun, awalnya Ibu yang ingin mengikhlaskan. Hal ini kutolak dengan alasan perasaan itu sudah tidak ada, hanya berbekas ingatan-ingatan masa remaja yang sekedar lucu untuk dikenang. Setidaknya alasan penuh kebohongan ini mampu meredakan resah di dada Ibu dan berbohong demi kebaikan kupercaya juga tidak menjadi masalah. Kekhawatiranku pada Ibu terjawab sudah, mungkin Om Toni lah orang yang tepat untuk menemani masa tua Ibu.
            Aku yakin Om Toni juga menanyakan hal yang sama pada putranya, kukira Irul mungkin merasakan hal yang sama denganku, walaupun tidak pernah sedikitpun ia membicarakan soal perasaan saat berbincang denganku dari dulu hingga sekarang. Pelan-pelan aku membangunkan diriku sendiri dari kekecewaan, mencoba menutup lembaran yang selalu kubuka saat senja tiba, menghapus perasaan yang kukira akan berakhir bahagia walaupun akhirnya menjadi duka lara, sekali lagi senja perlahan membantuku melepaskan rasa perlahan dan apa adanya.

            Tibalah hari yang dinanti itu, pernikahan Ibu dan Ayah Irul yang dikonsep sederhana tapi tetap elegan dan khusyuk. Bernuansa serba putih dan cokelat muda membuat suasana Jogja yang ternyata benar menjadi saksi kisah banyak orang semakin terasa syahdu. Tidak lama setelah keputusan itu, persiapan pernikahan hanya dilangsungkan dalam waktu dua bulan. Seluruh keluargaku dan keluarga Irul menjadi satu di acara yang menjadi sebab bahagia banyak orang ini. Dengan mengenakan jas krem bergaris cokelat tua disetiap kantongnya menambah kharisma Irul pagi itu. Acara berlangsung khusyuk dan akhirnya sah sudah aku dan Irul menjadi saudara yang akan bersama sehidup semati, satu rumah dan melanjutkan hidup ini dengan semestinya.
“Gak nyangka, jadi saudara ya kita Ra” Mulai Irul seadanya.
“Hahaha iya Rul, lucu yaa. Ternyata hidup gak bisa ditebak”
“Aku kira kita berdua bisa punya acara kaya gini suatu hari nanti, ternyata beneran tapi bedanya pemeran utamanya Ibu dan Ayah, lucu ya Ra”
“Lucunya sampai bikin pengen nangis Rul” Jawabku dengan air mata yang keluar dari kelopaknya.
            Sekali lagi senja menjadi saksi dari kisahku, yang mungkin juga dirasakan oleh banyak orang, entah sama, lebih pedih, atau mungkin ada juga senja-senja yang berbahagia. Sesederhana itulah senja kami berakhir, walaupun kali ini terasa lebih pekat dan penuh duka, aku percaya disamping itu senja cerah penuh bahagia sudah menanti disana. Aku yakin Irul memang sudah takdirnya akan menjadi saudaraku, dan kami harus menerima itu apa adanya. Seperti langit mengikhlaskan senja, dan menggantinya dengan yang lebih indah, malam.




 Nb: 
- Cerpen diatas menjadi salah satu nominasi 5 terbaik di Rector Cup UMM dengan tema "Cinta tak terduga"
- Terimakasih sudah menjadi tokoh dalam ceritaku, entah berakhir duka atau bahagia

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Coffee Break diujung usia Quarter Life Crisis (25)

 Alhamdulillah... menghitung hari akan memasuki usia 26. Rasanya tahun ini sangat berbeda dari tahun sebelumnya, matahari sepertinya sudah j...