Cinta?
Jika membahas cinta senja kali itu selalu teringat. Senja itu banyak maknanya,
entah bagiku, bagi kalian, atau siapa saja. Yang pasti setiap senja menyimpan
cerita sendiri untuk setiap orang. Merah, merona penuh bahagia atau kadang juga
hitam, pekat penuh duka selalu senja hadirkan. Walaupun senja berubah-ubah tapi
langit selalu menerima apa adanya. Damai penuh makna selalu senja hadirkan
setiap kali aku melihat betapa ikhlasnya mentari melepas siang menyambut malam,
melepaskan segalanya bersama dengan pulangnya sang pejuang nafkah dari
peraduan, untuk melepaskan penat seharian setelah berargumen dengan keletihan.
Lamunanku
tentang senja seringkali berakhir saat dipanggil Ibu untuk masuk kerumah karena
tidak baik untuk berlama-lama diluar saat menjelang maghrib. Ibu sering
bertanya apa alasanku tak pernah melewatkan senja sekalipun walaupun sekedar
melihat dari teras rumah. Sebenarnya aku tahu alasannya tapi sulit untuk
mengungkapkannya. Aku adalah anak yang sejak kecil sangat tertutup pada Ibu
terutama soal asmara. Terlebih lagi Ayah meninggalkan kami untuk selamanya sejak
aku berumur 6 tahun, jadi Ibu lebih banyak menghabiskan waktu di Kantor dan
kekurangan waktu untukku apalagi sekedar bercerita hal-hal yang kukira tidak
begitu penting.
“Sudah kenyang lihat senja?” tanya
Ibu dengan mimik wajah mengejek.
“ahh Ibu, aku cuma senang lihat senja
kok bu, cantik, indah, penuh makna” Jawabku dengan teori seadanya.
“Halah Tia..Tia.. coba jujur aja sama
ibunya sendiri. Eh iya, teman kecil kamu si Dion apa kabar ya Tia? Dulu sering
main layangan bareng kamu kan? Hahaha”
“Si Ibu ingat aja temen-temenku,
gaktau ya bu apakabarnya.”
Pertanyaan
Ibu berhasil membawaku pada kenangan bertahun-tahun lalu, Dion adalah teman
akrabku, sangat akrab karena kami berada di kompleks perumahan yang berdekatan.
Makan bersama, Dion juga sering menemaniku main masak-masakan, aku juga
menemani Dion main bola. Karena tak ada lagi anak kompleks yang seusia dengan
kami makanya kemana-mana kami hanya main berdua. Sayangya Ayah Dion pindah
tugas saat kami duduk di kelas 6 SD, dipindahkan ke Kalimantan Barat dan
tentunya sangat jauh dengan Jawa Timur. Tapi klimaks dari flashback ku ini bukanlah Dion melainkan Irul. Setelah berpisah
dengan teman kecilku Dion, aku masuk SMP yang tidak begitu jauh dari kompleks,
butuh waktu sekitar 20 menit untuk sampai kesana.
Karena
hanya terbiasa dengan Dion membuatku agak susah untuk mencari lingkar pertemanan
yang baru, apalagi berteman dengan cewe-cewe SMP yang umumnya bersikap terlalu
dewasa dan tidak sesuai umurnya. Akulah Tiara yang kala itu mati-matian mencari
sahabat baru. Setelah sebulan di SMP membuatku semakin bisa beradaptasi dan
menyadari kalau ternyata tidak semua cewe-cewe SMP itu seperti yang kupikirkan.
Aku bertemu dengan Inggrid, cewe sederhana yang sangat ceria dan selalu
membuatku yang pendiam ini terpingkal-pingkal karena tingkah konyolnya yang
sering tidak bisa dikondisikan.
Aku
dan Inggrid bahagia melewati masa SMP yang sederhana dan penuh tawa itu. Hingga
akhirnya saat duduk dikelas 8 datanglah Irul murid pindahan dari Jawa Tengah.
Posturnya tidak begitu tinggi, cukup berisi, berkacamata, berkulit putih dan
cukup good looking. Sungguh seperti
Derby Romero kataku. Aku dan Inggrid pun berkenalan seadanya dengan Irul si
anak baru. Tidak butuh waktu lama bagi Irul untuk beradaptasi, dengan mudah dia
mengikuti ekskul basket, pengurus OSIS, dan ekskul Fotografi. Hal ini membuat
Irul sebagai anak baru semakin memikat banyak hati remaja-remaja baru gede di
SMP ku.
Sampai
suatu hari aku dan Irul dipertemukan dalam tugas kelompok yang cukup besar
untuk mengerjakan proyek daur ulang limbah sampah menjadi barang siap jual.
Awalnya mengerjakan tugas seperti biasa tapi entah kenapa kedekatanku dan Irul
semakin dekat. Setiap malam kami sering menghabiskan waktu untuk chat via BBM yang saat itu sedang
maraknya, walaupun hanya sekedar membahas hal-hal yang ringan. Aku juga sering
pergi bersepeda dan bermain ditempat unik untuk menemani Irul mencari spot bagus untuk fotografi nya.
Irul
sering berkata dia menyukai senja karena walaupun senja berubah-ubah tapi senja
selalu menjadi alasan langit mampu menerima senja apa adanya, dan hal ini juga yag
menjadi salah satu alasan mengapa aku menyukai senja. Walaupun sebenarnya
alasannya tidak sesederhana itu. Kedekatanku dan Irul membuatku seperti
menemukan sosok Dion yang telah hilang bertahun-tahun lalu, tapi bedanya rasa
ini lebih dari sekedar pada sahabat. Ya, aku merasakan apa yang kata orang
cinta pertama. Aku tidak ingat pasti kapan mulai merasakan perasaan itu, yang
kutahu saat ada Irul didekatku seperti ada segerombolan kupu-kupu yang
mengepakkan sayapnya diperutku, menggelikan dan membuat jantung berdetak tak
beraturan.
Masuk
di SMA yang sama dengan Irul membuat kami sudah bagaikan perangko dan
amplopnya. Sampai ada yang mengira kami adik-kakak karena terlalu dekat.
Kedekatan ini menjadi kebahagiaan buatku tapi juga kesedihan, karena aku takut
jika Irul tahu apa yang kurasakan sejak dulu akan membuat hubungan persahabatan
kami renggang. Masa SMA kami lalui dengan banyak cerita walaupun tak ada satu
cerita pun yang menyelipkan kisah cinta diantara kami. Irul pernah bercerita
tentang Jihan kakak kelas idolanya, katanya karena Jihan itu cerdas dan
bertalenta. Aku juga sering bercerita pada Irul tentang teman-teman lelaki
seangkatan yang menarik perhatianku. Begitulah kami, sederhana dan apa adanya. Entah
apa yang Irul rasakan, apakah ada sedikit perasaan yang sama denganku?
Lamunanku
tersadar saat Ibu beranjak dari kursi dan bersiap sholat maghrib. Setelah
sekian lama aku tidak pernah mengingat lagi tentang Irul dan masa remaja kami,
akhirnya kalah juga dengan satu pertanyaan Ibu. Waktuku di rumah sebentar lagi
habis karena memang aku hanya menghabiskan liburan semester ganjil tahun ini
sekitar 2 minggu, dan memilih menghabiskan dua minggu
sisanya di Yogyakarta untuk menyelesaikan tugas akhir lebih cepat dari yang
lain.
Esok
harinya Ibu mengajakku ke Taman Kota untuk sejenak menghabiskan waktu berdua
sebelum aku kembali ke perantauan.
“Tia gak rindu Ayah?” Kalimat yang
pertama keluar dari mulut Ibu saat kami duduk dibawah pohon rindang ditepi
Taman.
“Yahhh Ibu pertanyaan nya baper,
pasti rindu lah bu. Sudah 15 tahun kita hidup tanpa Ayah”
“Apalagi Ibu yaa Tiara, sendirian
besarin kamu, kamu rewel suka nangis lagi” Kata Ibu penuh ejekan.
“Ahh Ibu mengada-ngada, aku loh dari
kecil kalem bu” jawabku bercanda.
“Hahaha, Serius ya ini Tiara, Ibu
kesepian banget waktu kamu milih kuliah di Jogja. Apalagi kamu punya rencana
kerja disana”
“Tiara juga sedih sebenarnya bu, tapi
prospek kerja Tiara disana luas banget bu. Kenapa nggak Ibu yang ikut Tiara ke
Jogja?”
“Hey kamu lupa, tahun lalu Ibu
barusan perpanjang kontrak kerja 5 tahun ndo”
“Sebelumnya maaf ya bu, apa Ibu gak
pengen cari teman hidup lagi?” Sontak pertanyaan itu terlintas dimulutku, entah
pertanyaan yang pantas atau tidak untuk Ibu.
“Setelah 21 tahun ibu hidup sama anak
Ibu yang cantik ini, akhirnya berani juga nanya pertanyaan serius ke ibunya”
Jawab Ibu entah dengan perasaan seperti apa.
“Hehehe siapa tahu kan bu.”
Perbincangan
hari itu ditutup dengan penyesalanku melontarkan pertanyaan yang entah membuat
perasaan Ibu seperti apa, yang pasti sebenarnya pertanyaan itu tulus dari dalam
hatiku. Aku sedih melihat Ibu selalu sendiri dan mengkhawatirkan masa tua Ibu
kelak.
Saatnya
kembali ke rutinitas, Yogyakarta. Kota perantauan yang menyimpan banyak kisah
perjuangan, para penimba ilmu, pengukir goresan tinta hingga pena, pengukir
patung hingga pengukir senyum, penyair puisi hingga melodi, pelenggak tari
hingga pencari intuisi. Ya, Yogyakarta adalah Kota seribu kisah, beragam kisah
duka ataupun lara hingga suka ataupun bahagia. Banyak yang menjadi saksi dari
terbit tenggelamnya mentari di kota Ini, pedagang kaki lima yang terkenal akan
ramah dan bersahabatnya, turis yang tanpa segan melintasi malioboro dan kuda-kuda
para pemilik delman yang kadang menambah bau khas setiap kali melintasi jalan
malioboro yang menjadi sumber sejarah puluhan tahun lalu.
Salah
satu hobiku adalah memperhatikan sekeliling dan membayangkan kenangan ditempat
itu bertahun-tahun lalu. Mungkin hobi ini yang membuatku sulit melupakan masa
lalu, tapi bukankah masa lalu memang bukan untuk dilupakan?
Ranita
teman dekatku selama merantau di Yogyakarta selalu menjadi tempatku berkeluh
kesah dan lain sebagainya. Ranita juga menjadi saksi kegagalan percintaanku
diperantauan yang seringnya hanya karena aku tidak pernah benar-benar melupakan
Irul. Mengawali perjumpaanku dengan Ranita setelah liburan dua minggu,
menghabiskan waktu di coffee shop
menjadi pilihan kami.
“Eh Tia.. Tia.. noleh kebelakang,
noleh buruan” dengan panik Ranita menyuruhku menoleh kebelakang.
“Apaan sih Ran?”
Iya,
laki-laki yang duduk selisih dua meja kesamping kiri dari kami sangat mirip
dengan Irul. Caranya mengaduk kopi, caranya memerhatikan sekeliling, bahkan
caranya menatap orang asing. Ranita yang karena terlalu bosan mendengarku
bercerita dan melihat foto Irul jaman SMA membuatnya juga tak asing dengan
orang yang sama-sama sedang kami perhatikan itu.
Setelah
SMA berakhir aku dan Irul tidak lagi saling komunikasi, mungkin hanya sekedar
memerhatikan dari sosial media. Melihat perkembangan satu sama lain tanpa
berani bertukar kabar. Ini terjadi hanya karena hal yang sederhana, kami
terlibat perselisihan lumayan berat sesaat sebelum kelulusan. Dan aku percaya
masih banyak rasa yang menggantung diantara kami. Setahuku Irul melanjutkan
pendidikan di Harmburg, Jerman, mengambil jurusan bisnis terbaik disalah satu
Universitas terkenal disana. Info ini kudapat dari Inggrid sahabatku SMA yang masih
sering bertukar kabar dengan Irul. Lantas untuk apa Irul di Jogja? Mencariku?
Ah lagi-lagi rasa percaya diri yang tinggi kadang membuatku sedih sendiri.
Ranita
memaksaku untuk menegur Irul saat di Coffee
shop tadi, tapi itu bukanlah hal yang mudah setelah hampir empat tahun
tidak pernah bertukar kabar apalagi bertemu. Aku pun mengurungkan niat itu dan
kembali memikirkannya saat sampai dikos. Setelah memberanikan diri,
mengiriminya pesan singkat mungkin salah satu alternatif yang paling mudah
walaupun tidak mudah juga bagiku.
Blues Cafe diperempatan malioboro
menjadi saksi bisu pertemuan dua orang sahabat yang sekian lama tidak pernah
bertemu, dua orang sahabat yang kupercaya telah kehilangan dirinya
masing-masing dalam pelarian, dua orang yang berusaha mati-matian tidak
bergantung pada masa lalu walaupun seluruh kenyataannya berkebalikan. Irul
tidak banyak berubah, tatapannya masih dingin walaupun tersimpan kehangatan
yang mungkin hanya aku yang bisa merasakan. Senyumnya pun selalu sama, penuh
makna walaupun tidak bersahabat bagi orang yang baru mengenalnya. Rambut ikal
itu kini jauh lebih klimis dibanding empat tahun lalu, mungkin musim dingin
Jerman sudah merubah ciri khasnya itu.
Perbincangan
kami tentu tidak sama dengan saat masa remaja dulu, tentulah waktu dan jarak
sudah merubah segalanya, walaupun rasaku tidak pernah berubah, entah dia. Kami
banyak bercerita tentang kuliah masing-masing, sesekali membahas teman-teman
SMA dan keberadaan mereka sekarang. Tujuan Irul ke Jogja adalah karena permintaan
Ayah untuk bekerja disalahsatu perusahaan swasta yang membutuhkan fresh graduate seperti Irul. Disamping
itu Ayahnya juga ingin menghabiskan masa tua bersama anak sulungnya. Ibu Irul
meninggal dunia saat dia baru merantau ke Jerman, aku benar-benar tidak tahu
kabar berita ini padahal Bu Cia panggilanku untuk Ibu Irul adalah sahabat
terbaik bagi aku dan Irul, sering menghabiskan waktu bersama dan menceritakan
banyak hal.
14
Juni 2016, Ibu tiba-tiba datang ke Jogja saat aku sedang sibuk-sibuknya seminar
hasil. Tidak direncanakan sebelumnya, katanya Ibu ingin menemani saat-saat
ujian akhir seperti ini. Malam minggu itu Ibu mengajakku makan disalah satu
rumah makan yang cukup terkenal di Jogja, katanya ingin mencoba masakan disana.
Awalnya aku bingung, Ibu baru beberapa kali ke Jogja tapi kenapa begitu tahu
dan ingin sekali makan di rumah makan itu.
“Kenapa harus makan disini bu?”
Tanyaku dengan sedikit ngedumel.
“gakpapalah Tia, Ibu pengen coba
masakannya”
“padahal banyak loh bu tempat lain
yang lebih enak”
“sebenarnya sekalian Ibu pengen
kenalin kamu sama teman Ibu, lagi di Jogja juga.”
Betapa
kagetnya malam itu, karena yang diundang Ibu ternyata adalah Irul, Ayahnya, dan
adiknya Gita. Aku tahu, ayah Irul dan Ibu adalah teman baik saat kuliah dulu
ditambah lagi aku dan Irul sudah bersahabat sejak SMP, maka bertambahlah
kekerabatan diantara kami. Makan malam berlangsung layaknya teman yang lama
tidak berjumpa, dan ditutup dengan membuat janji untuk makan malam lagi tiga
hari kedepan.
Sesampainya
di kos, Ibu mengutarakan hal yang sontak membuatku kaget tidak terkira. Tentang
pernyataan ayah Irul untuk menikah dengan Ibu. Hal ini sangat mengejutkanku,
bukan karena keinginan Ibu untuk menikah lagi tapi karena kenapa harus Ayah Irul?
Bukankah masih banyak laki-laki lain dimuka bumi ini? Bukankah Ibu punya banyak
teman kantor yang juga single parent
dan seumuran dengan Ibu? Kenapa harus Om Toni? Kenapa harus ayah dari orang
yang sudah lama kutunggu kehadirannya kembali? Apa ini yang disebut cinta tidak
terduga?
Ibu
bingung kenapa aku menangis mendengar pengakuan Ibu, aku pun tidak tahu harus
jujur darimana. Dengan penuh keberanian akhirnya aku menceritakan semuanya,
dari awal perkenalan, pertemuan, menjadi sahabat, hingga jatuh cinta pada Irul.
Kukira ini salahku karena tidak pernah sekalipun jujur pada Ibu tentang
perasaanku pada Irul. Kukira ini salahku karena tidak pernah berpikir bahwa
kejadiannya akan seperti ini. Kecewa dan marah pada diri sendiri kurasakan saat
itu.
Aku
tidak menyalahkan Ibu sedikitpun, awalnya Ibu yang ingin mengikhlaskan. Hal ini
kutolak dengan alasan perasaan itu sudah tidak ada, hanya berbekas
ingatan-ingatan masa remaja yang sekedar lucu untuk dikenang. Setidaknya alasan
penuh kebohongan ini mampu meredakan resah di dada Ibu dan berbohong demi
kebaikan kupercaya juga tidak menjadi masalah. Kekhawatiranku pada Ibu terjawab
sudah, mungkin Om Toni lah orang yang tepat untuk menemani masa tua Ibu.
Aku
yakin Om Toni juga menanyakan hal yang sama pada putranya, kukira Irul mungkin
merasakan hal yang sama denganku, walaupun tidak pernah sedikitpun ia
membicarakan soal perasaan saat berbincang denganku dari dulu hingga sekarang.
Pelan-pelan aku membangunkan diriku sendiri dari kekecewaan, mencoba menutup
lembaran yang selalu kubuka saat senja tiba, menghapus perasaan yang kukira
akan berakhir bahagia walaupun akhirnya menjadi duka lara, sekali lagi senja
perlahan membantuku melepaskan rasa perlahan dan apa adanya.
Tibalah
hari yang dinanti itu, pernikahan Ibu dan Ayah Irul yang dikonsep sederhana
tapi tetap elegan dan khusyuk. Bernuansa serba putih dan cokelat muda membuat
suasana Jogja yang ternyata benar menjadi saksi kisah banyak orang semakin
terasa syahdu. Tidak lama setelah keputusan itu, persiapan pernikahan hanya
dilangsungkan dalam waktu dua bulan. Seluruh keluargaku dan keluarga Irul
menjadi satu di acara yang menjadi sebab bahagia banyak orang ini. Dengan
mengenakan jas krem bergaris cokelat tua disetiap kantongnya menambah kharisma
Irul pagi itu. Acara berlangsung khusyuk dan akhirnya sah sudah aku dan Irul
menjadi saudara yang akan bersama sehidup semati, satu rumah dan melanjutkan
hidup ini dengan semestinya.
“Gak nyangka, jadi saudara ya kita
Ra” Mulai Irul seadanya.
“Hahaha iya Rul, lucu yaa. Ternyata
hidup gak bisa ditebak”
“Aku kira kita berdua bisa punya
acara kaya gini suatu hari nanti, ternyata beneran tapi bedanya pemeran
utamanya Ibu dan Ayah, lucu ya Ra”
“Lucunya sampai bikin pengen nangis
Rul” Jawabku dengan air mata yang keluar dari kelopaknya.
Sekali
lagi senja menjadi saksi dari kisahku, yang mungkin juga dirasakan oleh banyak
orang, entah sama, lebih pedih, atau mungkin ada juga senja-senja yang
berbahagia. Sesederhana itulah senja kami berakhir, walaupun kali ini terasa
lebih pekat dan penuh duka, aku percaya disamping itu senja cerah penuh bahagia
sudah menanti disana. Aku yakin Irul memang sudah takdirnya akan menjadi
saudaraku, dan kami harus menerima itu apa adanya. Seperti langit mengikhlaskan
senja, dan menggantinya dengan yang lebih indah, malam.
Nb:
- Cerpen diatas menjadi salah satu nominasi 5 terbaik di Rector Cup UMM dengan tema "Cinta tak terduga"
- Terimakasih sudah menjadi tokoh dalam ceritaku, entah berakhir duka atau bahagia