Sabtu, 07 April 2018

Melawan arus #Cerpen5




            Kubuka mata seperti biasanya, kutarik nafas panjang tanpa jeda, ternyata hari ini masih sama. Matahari masuk dari sela-sela jendela seukuran tubuhku sendiri, suara berbagai macam binatang khas desa ini sudah menjadi senandung yang indah untukku. Dengan mata yang masih sembab karena begadang semalam, kuambil handuk putih yang tergantung dibelakang pintu, dengan malas-malasan melangkahkan kaki menuju kamar mandi umum yang jaraknya amat jauh bagi pemuda yang memiliki rasa malas melebihi apapun sepertiku.
            Setelah 30 menit bersiap kukenakan baju waskat cokelat yang membuatku terjebak di desa ini, kuturuni tangga yang terbuat dari batang yang dibelah, hampir saja aku terpeleset karna membenci rutinitasku sendiri. Bangun pagi, bernafas, mengambil handuk, mandi, dan pergi kerja. Rutinitas yang membosankan, padahal baru dua bulan melalui rutinitas kerja di pedalaman,  bertemankan tekad untuk segera lepas dari tanggung jawab PNS junior sepertiku. Tak banyak cita-citaku, hanya berharap bisa kembali hidup dan berkarya dikota besar bukan didesa tak berkehidupan seperti ini.
            Narai kabar pak guru?” Sapa ma’ Tuwo yang berhasil menyadarkanku dari lamunan keresahan pagi ini.
            Selamat hanjeww ma’Tuwo, bahalap ih” Balasku sekenanya, berbekal kemampuan bahasa dayak seadanya, hasil belajar mati-matian selama dua bulan ini.
            Perjalanan menuju sekolah yang jaraknya sekitar 20 menit dengan jalan kaki, biasanya  akan kuhadapi dengan berbagai macam cobaan hidup. Lumpur didekat pohon besar disimpang jalan desa Boh yang membuatku harus melepas fantopel mengkilap dikakiku, kandang babi Pak Kulo yang baunya semerbak juga menjadi tantangan terberat yang tak jauh dari genangan lumpur tak berkesudahan tadi, dan yang terakhir senandung sappe atau alat musik khas daerah ini yang walaupun terdengar indah tapi sukses membuatku merinding karena suara itu bak muncul tak bertuan, entah berasal darimana.
            Selamat hanjeww pak guru” Sapa bu Asih, guru setengah tua yang menemaniku di sekolah selama ini.
            hanjeww bu Asih” dengan nada datar kujawab sapanya, berharap tidak ada basa-basi lagi setelah ini.
           
            Kabupaten Pontianak, Desa Saham, kecamatan Embaloh Hulu. Daerah yang akan menjadi tempat mengabdiku selama dua tahun ini, murid disini tak banyak hanya 15 orang. Karena sekolah tempatku bekerja ini berada jauh dari kecamatan, memakan waktu 2 jam untuk masuk kedaerahku mengajar. Maklumlah keadaan desa ini masih jauh dari jangkauan pendidikan, banyak anak-anak yang harusnya mengenyam pendidikan tapi terpaksa harus mencari uang dengan berburu dihutan dan berkebun. Berkali-kali kuadakan sosialisasi tentang betapa pentingnya pendidikan pada orangtua mereka, tak heran hanyalah penolakan dan terkadang makian yang kudapat.
            Melihat keadaan sekolah yang masih sepi, kusempatkan membuka buku milik wanita yang tak pernah kutemui ini, yang beberapa hari lalu kutemukan terselip di antara tumpukan buku murid-murid.
“Intan?” Lirihku melihat nama yang tertera disudut buku bersampul cokelat yang pudar termakan usia.
            Buku itu terlihat tak menarik dari luarnya, setelah kubuka dan mencoba memahami kata demi kata yang hampir terhapus karena usang akhirnya kusimpulkan bahwa benar ini adalah catatan harian seseorang, atau umum disebut diary. Kubaca perlahan, membuatku seolah-olah berada didalam cerita itu.
            Senin, 14 September 2015. Hari ini genap dua bulan aku menjadi seorang guru, rasa bangga tentu terasa walau muridku tampaknya sangat sedikit dibanding sekolah dikota sana. Aku bangga menjadi guru seni budaya disekolah pedalaman seperti ini, yang walaupun kemampuanku tampaknya tak sepadan dengan kemampuan muridku. Hahaha, jujur saja aku kesepian tapi akan kucoba untuk melalui ini sampai tuntas, lihat saja nanti.
            Lores, nama murid kebanggaanku. Tubuhnya tinggi tapi agak kurus untuk anak seusianya. Lores terlihat garang tapi amatlah penyayang, pernah kulihat ia memeluk kucing yang sedang terluka dipinggir jalan. Meyla, murid kesayanganku. Tubuhnya putih khas suku dayak, wajahnya cantik tak bernoda ditambah lesung pipi manis disudut bibirnya. Ada sepuluh anak lain yang juga muridku, tapi mereka berdualah yang paling membekas.
            “Pak Anton, anak-anak sudah hadir semua. Takan Pak” Panggilan bu Asih menyadarkanku dari lamunan didepan buku ini.
            “Ah iya bu, sebentar saya masuk kelas” Segera kututup diary Intan, dengan rasa penasaran yang semakin menggebu untuk menyelesaikannya.
            Mengajarkan matematika, bahasa Indonesia, dan beberapa sejarah tentang Indonesia kuakhiri pengajaran hari ini lebih cepat dari biasanya.
            Selamat bentuk andau anak-anak, jangan lupa pr nya dikerjakan ya. Hati-hati dijalan.” Kalimat penutup sederhana tanpa makna yang selalu kulontarkan setiap kali mengantar mereka ke gerbang sekolah.
            Kubuat kopi hitam disudut meja kantorku, sebagai peneman melanjutkan diary Intan yang membuatku bergairah untuk mengetahui lebih jauh. Kopi ini tanpa gula, tapi kurasa selalu lebih manis dari hidupku, kuseruput perlahan dan membuatku tenggelam dalam tulisan-tulisan penuh makna milik wanita tanpa wujud ini.
            Senin, 20 Januari 2016. Genap setengah tahun aku mengabdi didesa ini. Tadi pagi  kusempatkan bercermin di kamar ma’Tuwo, tak menyangka diri ini sudah semakin kurus, tirus, dan tak terurus. Hahaha akhirnya aku berhasil kurus walaupun perlu patah hati dulu. Lets read, selama enam bulan ini aku sudah lama tak menyempatkan menulis diary lagi. Bukan lupa padamu diaryku, hanya saja waktuku yang tak ada. Dua bulan lalu aku melatih anak-anak untuk ikut festival budaya di Jakarta. Keren kan? Aku gak nyangka mereka bisa mewakili kecamatan, kabupaten, hingga provinsi untuk bertanding di ibukota. Walaupun tak mudah mematahkan prinsip ketua adat agar memperbolehkan mereka keluar dari daerah ini untuk mengikuti lomba.
            Banyak pengalaman pahit dan manis tentunya, kamu tau Dion? Iya pacarku itu, sampai tega memutusiku hanya karena beralasan aku tidak ada waktu untuknya lagi. Aku kesepian, jujur saja. Dia lupa siapa yang selalu ada untuknya saat kuliah dulu. Jadi ngelantur nih hehehe, lanjut ke cerita festival tadi ya. Lores dan Meyla yang jadi tokoh utama dalam teatherku, kau tau darimana inspirasi itu? saat aku menonton salah satu teather disudut Kota Bandung bersama Dion beberapa tahun lalu.
            Stop! Jangan bahas Dion lagi. Aku bangga terlahir menjadi anak Indonesia, menjadi seorang guru, apalagi seorang guru seni seperti sekarang ini. Indonesia memiliki ribuan pulau, ribuan suku, dan jutaan manusia. Bukankah hanya di Indonesia kau bisa menemukan apa itu damai dalam keberagaman? Apa itu mencintai budaya sendiri? Indonesiaku sederhana dan apa adanya. Mengabdi di pedalaman desa embaloh hulu, mengajari murid-murid yang luar biasa, dan membantu mereka mengenal negaranya sendiri bahkan dunia. Menyadarkan mereka bahwa dunia bukan hanya sekedar hutan dan kebun, bahwa hidup bukan hanya sekedar makan apa kita hari ini?, tapi hidup adalah tentang mimpi, tentang luasnya Indonesia ini, betapa indahnya berbagai budaya yang ada didalamnya. Ahh aku sendiri baper menuliskan ini, belum sempat kuceritakan tentang festival tapi obor penerang rumah kami sudah harus dimatikan pertanda waktu tidur malam ini. Akan kulanjutkan besok yaa? Selamat tidur diaryku.
            “Pak Anton tidak pulang? Sudah jam makan siang pak, mari makan dengan saya diwarung ma’tuwo” Lagi-lagi sapa bu Asih menyadarkanku dari buku diary ini.
            “Oh iya bu, silahkan duluan saja bu. Saya makan di rumah betang pak Uno saja bu.” Alasan penolakanku karena sedang malas untuk berbincang lebih jauh.
            “Wah enaknya Pak Anton punya orangtua asuh seperti pan Uno ya, baik hati. Saya duluan ya pak”
            Pak Uno memang baik hati karena mengizinkan guru bujangan sepertiku untuk tinggal disalah satu kamarnya. Rumah betang pak Uno adalah satu dari tiga rumah betang yang terhitung paling besar di desa ini. Rumah yang merupakan pusat kebudayaan dan aktivitas masyarakat dayak. Yang mana merupakan simbol kebersamaan, kesetaraan, dan hidup gotong royong. Tidak ada kesenjangan hidup bagi masyarakat, semua berhak memiliki hidup yang lebih baik. Rumah ini adalah tempat dimana segala cinta dan kehangatan bermuara, walaupun aku sendiri belum merasakannya.
            Dengan air yang masih menetes dari rambutku sisa mandi sore ini, kuambil baju kaos putih dan celana bola warna biru yang menjadi andalanku. Kutekadkan niat hari ini untuk menyelesaikan buku diary tanpa pemilik ini.
“Pokoknya harus selesai malam ini juga, harus, kudu, mesti.” Ucapku bermonolog pada diri sendiri.
            Kubuat kopi hitam tanpa gula untuk menemani senja menuju malamku bersama diary lusuh ini. Senandung sappe bertalun-talun menambah senja ini semakin mencekam, tidak indah sama sekali pikirku. Senja didesa ini selalu diiringi dengan alunan sappe yang merupakan alat musik khas dayak, tidak ada azan maghrib yang biasa kudengar dirumah, maklumlah daerah ini umat muslim sangatlah minoritas.
            Kuambil posisi ternyaman disudut kamar, ditemani pencahayaan seadanya dari lampu minyak tanah, kubuka diary lusuh yang tidak begitu tebal. Karena bertekad menyelesaikannya malam ini juga, aku memilih untuk membukanya dari tengah buku. Tak peduli bagaimana kelanjutan kisah tadi.
             “Kenapa selalu menulis di hari senin?” tanyaku dalam hati setelah membuka halaman ini.
            Senin, 24 Juli 2016. Genap setahun aku disini. Jujur aku takut, aku takut masa kerjaku didesa ini habis. Lores dan Meylan sudah semakin luar biasa dalam memainkan peran, Candra dan Vivi semakin lincah memainkan jari mereka diatas kanvas, dan suara merdua Piter sukses membuatku menangis haru mendengarnya menyanyi. Awalnya aku tidak menyangka anak-anak dipedalaman seperti ini memiliki kemampuan yang luar biasa, aku takut meninggalkan mereka.
            Aku menceritakan bagaimana sebenarnya dunia diluar sana, mata mereka tampak berbinar mendengarkanku bercerita. Aku bercerita tentang apa itu internet, bagaimana internet mampu membuat dunia terasa bagai dalam genggaman. Bagaimana internet mampu membeli waktu, bahkan memberimu uang tanpa perlu repot berburu dan berkebun,  hanya perlu bercerita dan tertawa didepan kamera dan mengunggahnya di youtube. Mereka terkagum-kagum sampai kesulitan bernafas karena tak hentinya bertanya padaku.
            Aku menceritakan bagaimana pesawat dan kereta api mampu mengantarkanmu ketempat terjauh sekalipun didunia ini. Dengan segala rupa dan sifat manusia, dengan segala macam musim, dan adat istiadat yang berbeda. Mengajarkan pada mereka bahwa dunia ini luas, tak hanya alat musik sappe yang ada, tak hanya rumah betang yang bisa mereka lihat, dan tak hanya menjadi pemburu serta petani kebun yang bisa mereka lakukan.
            “Tapi ketua adat tidak membolehkan kami keluar dari daerah ini bu, budaya disini harus dipertahankan kan?” sanggah Lores memutuskan cerita panjangku.
            Desa ini indah namun menyedihkan, aku berusaha keras membuat anak-anak ini bermimpi. Sekolah setinggi-tingginya dan melakukan perubahan pada desa mereka. Menjadi insinyur, dokter, guru dan apapun yang mereka impikan. Tapi larangan adat didesa ini sukses membuatku tak tau harus melakukan apa dan hanya bisa memberikan keyakinan-keyakinan yang entah akan mereka terima atau tidak.
            Kubuka halaman jauh dibelakang untuk melihat cerita apa yang terjadi selanjutnya pada guru luarbiasa ini.
            Senin, 20 Januari 2017. Lores sudah satu bulan ini tidak pernah lagi pergi kesekolah, Meylan kehilangan partner theater nya. Aku kecewa, jujur saja. Ayah Lores melarangnya melanjutkan sekolah karena tau aku mengajari mereka untuk terus bermimpi, jangan hanya mau menjadi pemburu dihutan, tapi harus membuat perubahan pada desa dan sekolah keluar dari desa ini, sejauh-jauhnya. Walaupun aku tau hal ini bertentangan dengan adat-istiadat yang ada disini.
            Beberapa kali kucoba mendatangi rumah betang Lores, membujuk orangtuanya agar memberikan kesempatan pada anak mereka setidaknya untuk menamatkan SD. Lagi-lagi penolakan yang kuterima, Lores diharuskan membantu orangtuanya dikebun karena dia anak laki-laki pertama dalam keluarga.
            Setelah perginya Lores, semangatku untuk mengajar hampir pudar. Ditambah lagi anak-anak yang lain juga ikut-ikutan sering bolos sekolah demi membantu orang tua mereka. Aku memang tidak berhak melarang mereka, tapi untuk kecewa aku berhak bukan? Apa salah jika aku bermimpi anak-anak dipedalaman seperti mereka harus bercita-cita tinggi? Apa salah jika aku bermimpi anak-anak seperti mereka harus mencintai budaya mereka sendiri tanpa dibatasi oleh ketentuan adat-istiadat yang tak jelas asal-muasalnya. Maaf mungkin terkesan kasar, tapi aku benci aturan ini. Apa salahnya sekolah setinggi-tingginya? Dikota besar, di kota yang memberikan banyak pelajaran bahkan di negara lain? Apa salahnya?. Aku ingin mereka mendapatkan hak yang sama dengan anak-anak dikota, mengenyam pendidikan tinggi dan bebas berkarya dimanapun. Bagaimana bisa maju jika tetap dikampung halaman, air yang mengalir jernih tak akan keruh menggenang kan? Singa pun tak akan dapat mangsa jika tetap didalam kandang. Bukankah anak panah tak akan sampai pada sasaran jika tetap pada busur nya?.
            “Ahh kok mati sih? Dikit lagi loh ini” makiku kesal pada lampu atau apalah ini. Membuatku berhenti membaca diary Intan.
            Lampu didekatku tiba-tiba mati. Kuperiksa dengan saksama, ternyata minyak tanahnya habis. Kubuka laci meja disudut kamarku, terlihat senter hitam peninggalan bapak yang diselipkan ditasku saat pergi kedesa ini. Ternyata barang tua ini berguna juga, pikirku.            Segera kunyalakan senter dan kulanjutkan membaca diary Intan yang semakin membuat penasaran.
            Senin, 5 Juli 2017. Alhamdulillah, genap sudah masa dinasku dua tahun didesa ini. Tak banyak kata yang kuucapkan kali ini. Terimakasih desa indah penuh cerita, selamat tinggal murid-murid kebanggaanku yang mimpinya terenggut oleh adat-istiadat tak bertuan. Kutinggalkan diary ini dengan berharap ada seseorang disana yang akan membacanya dan membantuku mengubah semua ini.
            Setelah ini aku akan pergi jauh, mungkin mengajar mungkin juga hanya menjadi ibu rumah tangga dan mengurus anak-anakku dirumah. Dion minggu lalu melamarku, ternyata kami tidak bisa hidup berjauhan. Cinta itu masih ada. See you diary ku.
            “akhir apa ini? Gak jelas banget endingnya” ada yang lain dihatiku saat membaca ternyata Intan memilih pergi dari desa ini bukan hanya karena masa dinasnya habis, tapi karena pernikahan dengan Dion mantan pacarnya itu.
            Lama aku merenung sambil merebahkan diri dikasur tipis pemberian pak Uno, sambil menatap langit-langit kamar yang tidak kunjung berubah. Gelap, suram dan berdebu. Kutarik kesimpulan bahwa Intan adalah guru yang luar biasa, yang bukan hanya mengajar pelajaran sepertiku tapi juga mengajarkan arti hidup pada murid-muridnya, hal yang belum kumiliki hingga saat ini. Kubulatkan tekad, berjanji pada diri sendiri serta negara ini bahwa aku akan membantu Intan mewujudkan mimpinya terhadap anak-anak pedalaman ini, aku akan membuktikan bahwa adat-istiadat yang membatasi anak-anak ini menggapai mimpinya akan segera kuhilangkan, budaya lama yang memang dicintai orang-orang didesa ini tapi perlahan juga akan mematikan kemajuan bagi mereka. Aku akan memperbaikinya.
            Malam ini adalah malam terbaik sepanjang hidupku, akhirnya kutemukan tujuanku didesa ini. Bukan sekedar mengajar tapi memberikan perubahan pada daerah yang tak tersentuh oleh kemajuan ini. Setelah sekian lama tak meminta pertolongan, akhirnya terucap juga.
            “Ya Allah.. mudahkan hambamu untuk bermanfaat bagi orang banyak. Bantu aku menjadi hambamu yang taat ya Allah”
            Doa singkat tadi seperti bahan bakar yang membakar semangatku untuk hidup lebih baik, merindukan mesjid dan segala aktivitas didalamnya tentu kurasakan. Jujur saja selama aku ditugaskan didesa ini, belum sekalipun aku bersujud pada Tuhanku sendiri. Alasannya sederhana, aku merasa Tuhan tak mendengar doaku dengan mengasingkanku didesa tak berkehidupan seperti ini. Selama ini aku melihat tapi tidur dari kebenaran, aku menatap tapi buta dari kebaikan, lalai demi lalai kulakukan tapi berharap surga sebagai balasannya. Bukankah Tuhan maha pemaaf? Ya aku percaya itu.
            Pagi ini aku tidak mengajar digantikan oleh Bu Asih, demi pergi kerumah ketua adat dan membicarakan masa depan desa ini.
Selamat hanjeww pak Alu” Sapaku dari depan pintu rumah betangnya yang berukiran sarat makna.
“Hei pak guru kita, hanjeww hanjeww” Balas pak Alu dari dalam rumahnya. Pak Alu adalah orang yang bersemangat dan antusias, terlihat dari wajahnya yang tidak tua termakan usia.
            Tanpa basa-basi kuajak pak Alu membicarakan tentang maksudku kerumahnya. Membicarakan tentang perkembangan anak-anak murid disekolah. Kuceritakan tentang mimpi anak-anak berdasarkan cerita dibuku Intan, walaupun aku tak pernah mendengar langsung dari anak-anak itu sendiri. Awalnya pak Alu sangat antusias, lama-kelamaan mimik wajahnya menjadi menyeramkan dan tak hangat seperti tadi. Aku memilih menyudahi perbincangan ini dan mencari cara lain untuk meruntuhkan prinsip pak Alu.
            Kulalui hari-hari berikutnya dengan semangat yang sama. Belajar dari buku Intan, kuberikan anak-anak pedalaman ini semangat motivasi yang lebih berapi-api, yang tak hanya membuat mereka kesulitan bernafas karena antusias bertanya tapi juga membuat mereka tak berkedip ketika aku menggambarkan bagaimana mempesona nya budaya diluarsana. Bagaimana tari bebilin dari Kalimantan Utara yang berasal dari cerita rakyat mengerikan, bagaimana lagu suwe ora jamu yang sarat akan makna, dan bagaimana budaya-budaya lain yang juga mempesona bukan hanya untuk diketahui tapi dirasakan langsung.
            Akhirnya Lores kembali ke sekolah setelah kuberikan pilihan pada orangtuanya. Aku menawarkan bibit unggul yang tidak sedikit untuk perkebunan mereka, yang kuambil dari teman dikota. Dengan imbalan Lores harus kembali kesekolah. Tak lain dan tak bukan, orangtuanya melepaskan Lores dengan setulus hati.
           
            Setelah melakukan pendekatan dengan Pak Alu karena sering membantunya berburu diakhir pekan, berbagi cerita dan pengalaman dengannya. Membuat Pak Alu sedikit demi sedikit luluh padaku. Ia mulai antusias jika kubahas tentang betapa majunya Indonesia sekarang ini, betapa dunia menjanjikan perubahan yang luar biasa pada kehidupan manusia, bagaimana kita tidak perlu susah-susah mencari bibit unggul sendiri karena dikota sudah banyak teknik pertanian yang maju, bagaimana kita tak perlu susah payah berburu hanya dengan senjata tradisional, dan bagaimana indahnya budaya diluar sana selain alat musik sappe yang biasa dimainkan Pak Alu. Melihat perkembangan ini, aku yakin kemajuan desa ini sudah didepan mata.
            “Pak guru bara kueh? Besok dipanggil Pak Alu kerumah betang.” Sapa ma’Tuwo saat aku baru pulang dari rumah Lores mengantarkan bibit yang kujanjikan.
            “Dari rumah Lores ma’. Terimakasih ma’ sudah disampaikan.” Apakah ini pertanda baik, pikirku dalam hati.
            Sampai dirumah pak Alu dengan rasa hati yang tak karuan, kuambil posisi duduk disudut ruang tamu yang cukup luas itu. Entah akan siap dengan keputusan pak Alu atau tidak.
            “Ada apa bapak memanggil saya kesini?” Tanyaku dengan jantung yang hampir berhenti karena lelah berdetak kencang dari tadi.
            “Saya sudah memikirkan saran pak guru selama ini, saya sudah berpikir panjang dan diskusi dengan semua tokoh adat. Dengarkan saya bercerita sedikit, saya lahir dari ibu dan bapak asli suku pedalaman disini, saya dibesarkan dengan ayah yang keras tanpa ampun. Berburu dan berkebun adalah satu-satunya pekerjaan untuk kami. Ayah saya juga ketua adat disini sebelum akhirnya ia meninggal karena obat yang didapat dari kota. Kau tau kan obat apa yang membuat manusia gila dan melupakan tuhannya? Obat yang kejam, merenggut nyawa, serta harapan setiap orang yang memakannya. Masa remajaku diisi dengan melihat ayah yang sakaw disudut rumah karena kehabisan obat, ibu yang pergi kesana-kemari mencari uang demi membelikan barang haram itu hanya agar ayah tidak kesakitan. Kami bodoh, kami tak tau obat itu adalah cara paling cepat memanggil malaikat maut.” Pak Alu menceritakan dengan mata berkaca-kaca.
            “saya pernah punya cita-cita, saya ingin sekolah tinggi tapi desa kami belum tersentuh pendidikan saat itu. Saya pernah punya cita-cita menjadi dokter yang bisa menyembuhkan orang banyak termasuk sakit ayah yang saya kira adalah penyakit. Melihat betapa kejamnya pengaruh narkoba yang membunuh ayah. Hal itu membuat saya sebagai penerusnya yang kala itu beranjak dewasa, memutuskan untuk menghentikan segala aktivitas yang berhubungan dengan dunia luar, dunia selain desa kami. Saya benci kota, tak ada satupun anak yang boleh sekolah keluar desa kami, kalaupun itu terjadi ia tak akan boleh lagi menginjak desa ini selama-lamanya, meninggalkan semua keluarga dan rumahnya.” Cerita pak Alu seakan tanpa jeda, disertai mimik kecewa sedih dan marah yang menjadi satu.
            “Tapi kota tidak semua berpengaruh jahat pak, segala kebaikan juga bisa kita temukan disana.”
            “Diam. Saya belum selesai. Setelah saya berpikir dan mengenal guru sepertimu dan Intan. Pikiran saya terbuka agar anak-anak didesa ini bisa menggapai mimpinya. Saya tau tidak selamanya diluar sana bisa berdampak buruk untuk desa ini, karena desa juga tak selamanya berdampak baik pada mereka. Segenap hati saya serahkan mimpi anak-anak itu dipundakmu, bantulah mereka menggapainya, kenalkan mereka pada dunia yang luas ini pada budaya yang beraneka ragam di Indonesia, ajarkan mereka untuk mencintai budayanya tanpa harus dibatasi oleh keterbatasan. Bantu dia pak guru” Pak Alu mengakhiri cerita panjangnya dengan senyum tipis disudut bibirnya, sambil menepuk pundakku yang dari tadi terdiam tanpa sanggup berkata-kata.
            Hari-hariku didesa ini semakin menyenangkan, kami dihadapi dengan berbagai kompetisi dikota. Kompetisi budaya maupun pengetahuan. Tidak lama lagi untuk kedua kalinya Lores dan Meyla akan pergi ke Jakarta menghapi festival budaya. Hari ini, besok, dan seterusnya akan kutanamkan pada mereka bahwa mereka semua sama dengan anak lainnya. Tak peduli berasal darimana, bersuku apa, berkududukan apa, mereka semua sama. Anak Indonesia yang berhak untuk menggapai mimpinya.
            Kepergian ke Jakarta kuniatkan memang untuk membimbing Lores dan Meyla di festival, tapi disamping itu terselip tanda tanya kecil dihatiku, dimana Intan?. Mendengar kabar dari ma’ Tuwo bahwa Intan sekarang mengajar seni disalah satu sekolah dasar di Jakarta, membuatku semakin semangat untuk membawa Lores dan Meyla kesana. Berharap bertemu dengan wanita yang kukagumi dari tulisan-tulisan singkatnya.
           
            Penampilan Lores dan Meylan luar biasa, diluar ekspektasiku. Mereka tampil bak pemeran profesional yang berpengalaman.
“Bapak ketemu panitia dulu ya, kalian tunggu disini sambil tunggu pengumumannya. Oke?”
“Iya pak” jawab Meyla dan Lores berbarengan.
            Setelah sepuluh menit kutinggalkan mereka diantara kursi penonton, kulihat dari jauh Lores dan Meyla tampak asik berbincang dengan seorang wanita yang berkali-kali menepuk pundak mereka. Tampak punggung mereka bergoyang-goyang karena gelak tawa tanpa henti seperti orang yang lama sekali tak berjumpa.
“Akrab sekali?” lirihku sambil menghampiri mereka.
“Pak Anton, ini guru kami. Bu Intan, cantikkan pak?” Ucap Lores yang sadar aku daritadi memperhatikan mereka.
“Oh ini Pak Anton, selamat ya pak sudah berhasil bawa anak-anak kesini. Gak nyangka bisa ketemu mereka disini, bagaimana bukunya Pak?” Bu Intan menatap Anton dengan tatapan penuh rasa kagum.
“bukunya ada kok bu, ada.” Jawab Anton singkat disertai jantung yang berdetak kencang seperti orang yang tlah lama kehilangan sesuatu lalu menemukannya lagi.
            Perbincangan kami terus berlanjut, menceritakan betapa lucunya kebiasaan ma’Tuwo, betapa menyedihkannya masa lalu Pak Alu, dan bagaimana anak-anak kini bisa menggambarkan mimpi mereka masing-masing. Dan tentunya bagaimana kisah dibalik perjuanganku menyelesaikan diary Intan.
“Dion apakabar bu?” Pertanyaan singkatku terlontar begitu saja.
“Oh dia, sudah tidak ada kabarnya pak. Diary saya belum sempat terselesaikan, malah sudah ditemukan orang lain”
“Boleh saya yang menyelesaikannya?” Pertanyaan bodoh macam apa ini, tiba-tiba saja terlontar, saat aku memastikan tidak ada satu cincin pun yang tersemat dijari Intan.
“Kita selesaikan sama-sama”
            Beberapa bulan kemudian Intan pindah tugas kembali ke desa embaloh hulu bersama Anton. Merajut rumah tangga dan mewujudkan mimpi mereka untuk membangun sekolah disana lebih maju dan menjadikan anak-anak menjadi pioneer perubahan untuk desa hingga negara mereka. Anton semakin percaya bahwa takdir tuhan tidak pernah salah dan keberadaannya didesa pun pasti punya maksud, menemukan belahan jiwanya misalnya. Walaupun Anton dan Intan berasal dari tanah jawa, mereka tetap bertekad memajukan sekolah di pedalaman kalimantan ini. Karena tak peduli apa sukunya, darimana ia berasal, bagaimana kebudayaannya. Kita tetap satu, Indonesia.


TAMAT


GLOSARIUM
Diary                           = buku harian dalam bahasa inggris
Narai kabar                  = Apa kabar, dalam bahasa dayak.
Bahalap ih                   = Baik, dalam bahasa dayak
Selamat hanjeww        = Selamat pagi, dalam bahasa dayak
Selamat bentuk andeu = Selamat siang, dalam bahasa dayak
Sappe                          = Alat musik khas suku dayak
Takan                          = silahkan, dalam bahasa dayak
Bara kueh                    = darimana, dalam bahasa dayak
Rumah betang        = Rumah khas suku dayak, memanjang kebelakang dengan kolong                                      rumah yang tinggi. Berukuran sangat luas yang diisi oleh satu keluarga                                besar. Pusat segala aktivitas masyarakat. Sekarang keberadaannya mulai jarang dikalimantan itu sendiri.


Note: Cerpen diatas meraih juara 1 pada babak final "Kepenulisan sastra" Rektor Cup UMM 2018, dengan tema "Cinta budaya"

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Coffee Break diujung usia Quarter Life Crisis (25)

 Alhamdulillah... menghitung hari akan memasuki usia 26. Rasanya tahun ini sangat berbeda dari tahun sebelumnya, matahari sepertinya sudah j...