Pagi ini Piter dan istrinya tampak
tergesa-gesa melaksanakan kegiatan harian mereka, membersihkan kebun dan
menyelesaikan pekerjaan rumah tangga yang sedari kemarin tak kunjung usai.
Rumah yang tidak begitu besar tapi lumayan jika hanya ditinggali bertiga
membuat mereka pontang-panting membereskannya, maklumlah kegiatan berberes ini
hanya dilakukan setiap ibu mertua akan datang. Cat biru sendu yang semakin
sendu karna dimakan zaman serta pilar-pilar seukuran satu pelukan manusia
menambah kesan betapa kunonya rumah ini.
“Bosan lah aku tinggal disini, gak
ada rumah yang agak bagusan?” ucap istrinya sambil merebahkan diri dikursi
merah jambu yang tak pantas lagi disebut merah jambu itu.
“Kalau kau punya warisan rumah dari
orangtuamu yang mentereng tu, ndapapa pun kita pindah” balas Piter dengan nada
acuh, sambil bergegas mengambil handuk hijaunya.
“Tidak pernah bersyukur” katanya
lirih. Sambil mengguyur badannya, Piter memaki dirinya sendiri. Mengingat
betapa ia menyesal tidak mendengarkan perkataan ibunya dulu, betapa ... “ah
sudahlah” pikirnya, toh penyesalan beribu kalipun tidak akan berguna sekarang.
Dengan handuk menggantung dileher dan rambut masih meneteskan air, digapainya
kemeja krem bergaris-garis putih kesayangannya itu. Sambil berkaca, Piter
meyakinkan diri bahwa hari ini akan menjadi hari baik untuknya.
Lelaki menjelang 27 tahun ini pergi
ke ruang tamu dan diraihnya kunci motor matik jadul keluaran tahun 2005. Walau
jadul tapi berjasa pikirnya. Tanpa menoleh kearah istrinya yang dari tadi asik
bermain smartphone keluaran terbaru, dirangkulnya anak mereka semata wayang dan
didudukkannya di boncengan motor kebanggaannya. Hari ini Piter akan kembali
mencari pekerjaan setelah satu bulan di-phk dari perusahaan yang sudah 5 tahun
memberinya makan.
Anaknya tak banyak bicara, tapi tak
bisa juga disebut kalem. Anak berusia 5 tahun yang tampak dewasa sebelum
waktunya. Tak suka bermain bersama teman sebayanya, tak ceria seperti anak
seusianya, dan tak pernah berucap lebih dari 6-8 kata sekali membuka mulutnya.
Istimewanya Anak semata wayang Piter ini memiliki paras rupawan khas
metropolitan, gabungan gen ayah dan ibunya yang merupakan mantan duta kampus di
eranya.
“Belajar yang rajin ya nak, jangan
nakal. Kotak makanmu harus dihabiskan, jangan kau buang lagi ya. Sudah masuk
sana.” Kalimat Piter sehari-hari setelah sampai digerbang sekolah anaknya.
Seperti biasa, tidak ada respon apapun dan ia berlalu pergi tanpa merasa
bersalah.
Peluh berjatuhan, baju krem yang
rapi kini menjadi lepek karena basah dibasuh keringat. Sembari menenteng ijazah
S1 pendidikan ekonomi dari universitas swasta yang tak begitu terkenal, Piter
terus menelusuri gedung demi gedung perkantoran di pusat Kota Bandung. Matahari
yang seakan tak berbelas kasih hari itu semakin menambah lengkap deritanya.
“terhitung 15 kantor kudatangi,
hidup kenapa jadi sesusah ini” lirih Piter sambil menyeruput kopi hitam buatan
bi E’em disudut jalan, yang sudah 9 tahun menjadi langganannya.
Kopi selalu menjadi hal paling manis
untuknya, walau sebenarnya kopi ini tidak pernah ditambahi gula. Dari jauh
dilihatnya dua orang pemuda dengan tas ransel yang tampak tidak lebih berat
dari jinjingan ijazahnya saat ini, sedang berbincang ringan dengan sesekali
saling tertawa satu sama lain. Dipejamkannya mata, kopi pahit membawanya pada
kenangan bertahun-tahun lalu.
“gas..
gimana persyaratanku kemarin?”
“Amanlah
pit, Insya Allah lusa dapat kabar bahagia lah kau” jawab Bagas ringan sambil memainkan
handphone Nokia keluaran terbaru saat
itu.
“enteng
kali jawabanmu, dagdigdugser aku gas. Kau tau lah kalau aku tak lolos bisa
habis aku digilas ammaku” balas Piter
dengan wajah kesal dan kaki yang selalu digoyang-goyangkan membuat kursi
seperti terkena gempa.
Pemira atau pemilu raya Universitas
Udoyono Bandung, beberapa bulan kedepan akan segera terlaksana. Piter
mencalonkan diri sebagai salah satu kandidat, dilihat dari napak tilas
prestasinya yang luar biasa, tak canggung baginya untuk mengajukan segala
persyaratan. Kebalikannya, Bagas yang juga memiliki mimpi sebesar Piter tapi
tak mampu untuk mengajukan persyaratan karena IPK yang hanya sanggup mengambil
18 sks.
Bagas memang tak seberuntung Piter
dari segi prestasi, tapi dari segi keluarga dan keuangan Bagas lah sang juara.
Ayahnya salah satu pejabat berpengaruh di Jawa Barat dan ibunya adalah
pengusaha berlian paling laris se lembang raya. Mobil keluaran terbaru mana
yang tidak dimilikinya, hape canggih mana yang tidak sempat digunakannya barang
satu dua bulan. Cowo parlente yang menjadi idaman banyak mahasiswi dikampus
mereka yang memiliki kurang lebih enam ribu mahasiswa ini. Tapi, ada satu hal
lagi yang tidak dimiliki Bagas.
“Pit,
pulang ngampus ntar main kerumahku dulu nah” ajak Bagas sambil merapikan rambut
mohaknya didepan cermin kecil dikantong kecil tasnya.
“Ada
game apalagi gas? Aku gak bisa kayanya, habis ini masih ada rapat sama
anak-anak internal” jawab Piter sekenanya sembari mematikan laptop tuanya dan
dengan cepat memasukannya kedalam ransel hitam yang hampir kecoklatan.
“Halah,
gak bosen rapat terus? Oiya lupa yaa kan calon presma”
Pertemanan 9 tahun sejak mereka
masih menggunakan putih biru ternyata tak membuat Bagas begitu paham apa
sebenarnya yang menjadi prioritas Piter sejak dulu, tak lain dan tak bukan
hanyalah prestasi. Disamping kemewahan hidup yang tak berkesudahan, Bagas tak
sepenuhnya bahagia karena orangtuanya tak pernah memahami apa yang dia impikan
seutuhnya. Selalu membandingkan, tak pernah puas, bahkan tak jarang Bagas tidak
berbincang dengan mereka hampir seminggu karena terlalu sibuk dengan dunia
masing-masing. Kehidupan yang benar-benar tidak diimpikannya.
Dari jauh, gadis manis berambut
panjang dengan rok selutut berwarna coklat muda dengan corak bunga-bunga dari
tadi sibuk memperhatikan Piter. Piter yang sebenarnya juga sadar kalau sedang
diperhatikan semakin mencoba menyibukkan diri dengan memberi instruksi tanpa
jeda pada tim sukses pemiranya. “Permataku
yang indah...” gumam Piter.
Indah namanya, gadis manis dari
jurusan pendidikan bahasa Indonesia sudah menjadi secret admirer Piter sejak dulu. Mengagumi sosok senior yang
merupakan aktivis berpengaruh di kampus, hanya karena sebotol air mineral yang
diberikan Piter saat ospek fakultas dua tahun lalu. Indah mengaguminya tanpa
jeda, bagaimana tidak? Sosok itu selalu berprestasi baik dibidang akademik
maupun non akademik, ditambah lagi wajah berwibawa khas laki-laki idaman dengan
kacamata modern yang tersangga di hidung mancungnya, sempurna pikir Indah. Sama
halnya dengan Piter, ia selalu memantau Indah dari jauh, melihat walaupun tak
terlihat, mengetahui tanpa diketahui. Permataku yang Indah, lirih Piter.
Kesibukan pemira membuat Bagas juga
ikut-ikutan mencari kesibukan. Bagas yang sudah lama menjadi anggota The Sindan (Theater, Sing & Dance) fakultasnya,
disibukkan dengan pentas tahunan yang tidak lama lagi berlangsung.
“Indah..
besok jadi temenin aku cari kostum anak-anak?” Tanya Bagas dengan harap-harap
cemas sambil memainkan kunci mobilnya.
“Sama
aku kak? Gak jadi sama Sinta?”
“Yaa
sama kamu lah dek, kan Sinta nya ngelatih anak-anak. Besok jam 4 sore aku
jemput kekos kamu ya. Dandan yang cantik” goda Bagas sambil berlalu pergi.
Bagas dan Indah menjadi partner
sejati di ukm mereka. Diam-diam Bagas telah lebih dulu mengagumi paras dan
tingkah Indah yang dinilainya istimewa. Wanita Jawa Tengah dengan kemampuan
menari bak seorang putri keraton, ditambah rambut panjang dan kulit kuning
langsat menambah rasa kagumnya yang semakin memuncak.
“Indah
memang asli yogyakarta yaa?” Basa-basi Bagas setelah menyadari bahwa ini kali
pertama mobilnya dinaiki wanita selain ibu dan bibinya.
“Iya
kak asli jogja banget”
“kok
pake banget?”
“Ayah,
Ibu, nenek, kakek, om, bude, tante, sepupu, saudara, sahabat semuanya asli
jogja dan tinggal di jogja” Jawab Indah
lengkap, berharap tidak ada pertanyaan basa-basi selanjutnya.
“Hahaha
kok kamu lucu sih dek, berat ya berarti kalau harus berkeluarga di Jawa Barat
nanti?” tanya Bagas tanpa pikir panjang, sambil terus menyetir dengan kecepatan
super lambat yang disesuaikannya dengan musik senja dari radio dimobilnya ini.
“Belum
kepikiran kak” Sambil melepaskan nafas panjang pertanda tak menyukai
perbincangan ini.
Pemira berlangsung sukses, tergambar
jelas pada Piter yang terus merekahkan senyum tanpa henti diwajahnya. Berhasil
menjadi wapresma terpilih otomatis membuatnya selangkah lagi pada mimpinya,
beasiswa keluar negeri. Lahir di keluarga yang sederhana membuatnya merasa tak
pantas jika harus bermimpi kuliah keluar negeri dengan biaya sendiri.
Bagas ikut senang mengetahui hal
ini, tapi bahagianya tentu tak sebesar Indah. Sang permata Piter.
“Gas, besok aku bakal ngelakuin
sejarah baru dalam hidup Piter Harahap selama 20 tahun hidup didunia” Ucap
Piter penuh semangat, mengundang gelak tawa sahabatnya Bagas.
“Ada ya orang kaya kamu ini, pintar,
tampan, alay pula. Hahaha apalagi sih Pit? Mau bobol ruang dosen kah?” Jawab
Bagas malas-malasan tanpa melepaskan headphone
gray kesayangannya.
“Aku
mau ngajak permataku ke bioskop, kaya janjiku dulu ke kau. Ingat gak?”
“Apalagi
permata? Nama orang apa nama buku? Hahaha”
“Serius aku ini Gas, aku dulu pernah
janji kan bakal ngajak cewe jalan kalau aku berhasil terpilih dipemira. Yakin
kali aku sekarang.” Jawab Piter sambil terus mengetik sibuk dilaptop tuanya.
“Hahaha, siap Pit. Kutunggu kabar
baikmu ya. Jadian sama manusia lah sekali-kali, jangan sama buku terus”
Tanpa sadar ucapan Bagas inilah yang
menjadi keretakan persahabatannya dengan Piter. Satu bulan setelah percakapan
itu, sampai berita tak mengenakkan dari teman-teman kampusnya. “Wapresma jadian
dengan bidadari the sindan”. Bagas kaget sekaligus kecewa, tidak menyangka
kalau ternyata Indah lah yang menjadi pacar pertama sahabatnya, Piter. Bagas yang memang dasarnya kurang
perhatian, semakin melancarkan hobi tengah malamnya. Balap mobil, Billyard,
bahkan clubbing. Satu bulan berlalu.
“Hoy Pit!”Sapa Bagas dengan gaya
parlente yang menjadi ciri khasnya. Dengan tampilan yang cukup berbeda dari
biasanya, ditemuinya Piter setelah hampir sebulan tak muncul dikampus.
“Bagas! Kemana aja kau? Satu
semester aku mencarimu. Sudah lupa kau cara pergi kuliah?”
“hahaha, jangan sok rindu pit, itu
berat, Cuma aku yang kuat” jawab Piter sekenanya dengan mimik wajah tidak
tulus.
Pertemuan yang penuh maksud menjadi
alasan Bagas kembali ke kampus. Sinta yang menjadi alasannya, wanita pelarian yang
sudah menjadi korban patah hatinya terhadap Indah. Bagas yang kehilangan
kepercayaan pada sahabatnya sendiri, kehilangan wanita yang sudah lama menjadi
dambaannya, membuatnya melampiaskan dan menghabiskan hari-harinya bersama
Sinta, wanita metropolitan yang bahagia dengan kehidupan hedonism ala Bagas. Sinta yang memiliki paras menawan dan segudang
prestasi modelling maupun duta kampus
menjadi hal yang menarik bagi para pria, termasuk Bagas. Terimbangi dengan
Bagas yang juga runner up 2 duta
kampus kala itu.
Piter tersadar dari lamunan, saat
hujan menembus masuk ke warung bi E’em. Dilihatnya jam tangan hitam yang
terpasang ditangan kirinya, yang semakin menambah jelas ingatannya tentang
Bagas.
“Wa’ang inda balek?” Tanya bi E’em dengan
bahasa padang yang kental.
“jam
berapa memangnya ini bi? Keasikan melamun saya, teringat masa-masa kuliah dulu.”
“Apo
kabar teman wa’ang si Bagas tu?”
Tanya bi E’em sambil sibuk membereskan gelas-gelas kosong bekas kopi hitam yang
kental.
“Saya
juga kurang tahu bu, sudah lama sekali tidak kontak”
“Ha,
macamtu. Bisuak kasiko yo. Ada yang
mau aku sampaikan”
Keesokan harinya Piter kembali ke
warung bi E’em dengan gaya yang sama, membawa ijazah yang cukup berat untuk
dijinjing, sepatu fantopel hitam yang tak mengkilap lagi, dan kali ini dengan
kemeja biru laut yang dilapisinya dengan jaket hitam polos dan resleting yang sulit
dikancingkan. Masih dengan pesanan yang sama, secangkir kopi hitam pahit tanpa
gula khas bi E’em, bagai lorong menuju masa lalu.
“Kau gila gas? Bukan temanku lagi
kau.” Bentak Piter dengan nada khas medan.
“Aku khilaf Pit, aku gak nyangka
kejadiannya bisa kaya gitu. Aku khilaf Pit. Bisa dibunuh aku sama ayah kalau
dia sampai tahu. Tolong lah aku Pit.”
“Tolong apa gas? Tolong apa! Kalau
kejadiannya sudah kaya gini, gak ada pilihan lagi selain tanggung jawab! Biar
aku yang bilang ke ayahmu.”
“Kamu gila Pit? Kamu mau lihat aku
mati hari ini juga ha? Aku begini juga karena kamu! Kamu rebut Indah dari aku,
kamu berprestasi dan selalu dibanding-bandingkan ayahku dengan aku yang gak
bisa apa-apa ini. Yang taunya cuma balapan dan nge-club. Kamu yang selalu jadi
ukuran sukses seorang anak dimata ayahku. Aku yang susah payah menang dan jadi
duta kampus juga gak pernah ditoleh ayah sampai hari ini. Dia mau aku jadi
presma bukan duta! Aku gak pernah benar dimata ayah dan itu semua karena kamu!”
“kenapa kamu jadi begini gas?
Bukannya kamu yang selalu dukung aku? Yang selalu bilang kalau kamu bangga
punya teman kaya aku? Kamu juga gak pernah bilang soal Indah” Piter menarik
nafas panjang, aliran darahnya semakin deras, denyut jantungnya berdetak
kencang, ingin ia menonjok Bagas sekali saja dengan tonjokan terkuat sepanjang
hidupnya, Piter kecewa.
Tidak sanggup melihat perlakuan
Bagas pada Sinta, membuat Piter semakin membenci sahabatnya itu. Bagas memaksa
Sinta menggugurkan janin diperutnya, tanpa peduli bahwa itu adalah hasil
perbuatan kejinya sendiri.
“Aku gak mau gas! Ini anak kamu,
kamu harus tanggung jawab. Aku gak peduli orang mau bilang apa, yang penting
kamu harus nikahin aku.” Ucap Sinta sambil menangis sejadi-jadinya di sudut
apartment miliknya.
“Gak bisa bego! Ayahku pejabat
terkenal, aku anak satu-satunya. Apa bilang orang Sin? Mau taruh dimana mukaku?
Kamu gak ngerti sih”
“Kamu yang gak ngerti gas! Aku juga
malu, aku yang ngandung, ayahku direktur perusahaan, ibuku juga pejabat. Malu
siapa gas! Aku gak mau gugurin karena aku tahu ini anak kita, buah cinta kita
gas. Lagipula kenapa kamu melakukan kalau kamu belum siap? Kenapa kamu maksa
aku?”
“hahaha.. siapa bilang aku cinta
sama kamu Sin? Aku cinta sama Indah, yang direbut sahabatku sendiri, bullshit!
Kamu cuma pelarianku, jangan sok bilang ini buah cinta kita, aku tau kamu juga
tergila-gila kan sama si Piter pengecut itu?”
“Itu dulu gas, aku gak pernah ingat
Piter lagi semenjak sama kamu. Tolong gas.. nikahin aku”
Semenjak hari itu Bagas menghilang
dan Piter tidak pernah tahu lagi kemana dia pergi. Bagas pergi sejauh-jauhnya
tanpa meninggalkan pesan bahkan pada pacarnya sendiri. Rumah mewahnya di
Lembang sudah berganti kepemilikan, toko berlian ibunya di sudut Kota Lembang
juga sudah berganti menjadi toko baju, dan Ayahnya dikabarkan meninggal dunia
selang dua bulan semenjak menghilangnya Bagas.
“Jangan wa’ang melamun terus. Tak enak hati aku melihat. Hari ini akan jadi
hari baik untuk wa’ang.” Lagi-lagi
teguran bi E’em menyadarkan Piter dari lamunan panjangnya.
“Piter... Apa kabar?” Sosok klimis,
tinggi dan proporsional itu kini berubah menjadi sedikit gondrong dan agak kurus.
Pertemuan yang dinanti setelah 5
tahun lamanya tidak bertemu, membuat air mata Bagas hampir menetes, hanya
karena harga diri air matanya memilih untuk tetap mengering. Dilihatnya Piter
masih sama seperti dulu, bersahaja dan apa adanya. Tanpa sadar keduanya
berpelukan amat kencang seakan tidak ingin berpisah lagi walaupun masih ada
yang mengganjal dihati satu sama lain.
“Apa kabar Asih?”
“Peduli apa kau pada Asih gas?
Hahaha persembunyianmu betul-betul jago ya. Tak kutemukan informasi sedikitpun
tentang kau” Ucap Piter santai sambil menyeruput kopi hitamnya, walaupun dengan
perasaan yang bergejolak.
“Aku tahu aku salah Pit, Tuhan saja
maha pemaaf apalagi kamu kan? Tuhan saja mau menerima sujudku lagi apalagi kamu
kan?”
“Hahaha jangan kau bicara layaknya
imam di surau gas, rasanya malu aku jika ingat masa lalumu yang keji itu” Piter
berkata dengan hati yang meledak-ledak sembari mengingat kejadian bertahun
lalu.
Piter mencari Bagas hingga tempat
yang tak terjangkau sekalipun, hanya karena satu alasan, janin Sinta yang
semakin membesar. Hingga empat bulan berlalu, Piter tak kunjung menemukan
dimana sahabatnya itu.
“Bagaimana bu? Bukankah islam
menganjurkan kita untuk saling menolong? Tegakah ibu melihat janin itu semakin
membesar tanpa kita selesaikan?” Ucap Piter pada ibunya yang hanya diam
mematung tak sanggup berkata-kata.
“Kemana mimpi-mimpi besarmu dulu
nak? Kemana impianmu kuliah ke luar negeri? Tak kasihan kah kau pada kita yang
tak berderajat ini, terkatung-katung tak jelas ditanah orang, hingga kini kau
sudah hampir menggenggam dunia tapi memilih menghempaskannya? Ibu ini tak
berpendidikan, almarhum ayahmu hanya tentara berpendidikan seadanya, kita
terusir dari kampung halaman karena ibumu ini dianggap pembawa sial untuk
keluarga. Pembawa kematian ayahmu. Tak cukup kah itu nak? Tak cukupkah?” Ucap
Ibu Piter tanpa jeda, dengan amarah yang tidak bisa dibendung. Kekecewaan,
malu, dan tidak mampu menerima keputusan anaknya.
“Ampunkan aku bu. Aku hanya berusaha
menolong dan berlaku sebagai manusia. Aku janji setelah ini akan tetap mengejar
mimpiku keluar negeri, aku akan membahagiakan ibu, membuat keluarga kita terpandang,
tapi mohon izinkan aku menolong Sinta bu.” Pinta Piter sambil bersujud dikaki
ibunya memohon doa restu.
“Kenapa kesalahan orang lain menjadi
beban untukmu nak? Beban untuk kita? Semoga Allah meridhoi langkahmu, ibu hanya
bisa mendoakan yang terbaik” Mereka berpelukan erat dan saling menangis satu
sama lain, anak beranak yang seakan selalu dirundung duka sepanjang hidupnya.
Satu bulan setelahnya diadakanlah
pernikahan Sinta dan Piter di kediaman Sinta, Bandung Jawa Barat. Tak banyak
yang hadir, hanya sanak keluarga terdekat. Keluarga ingin acara ini private demi menjaga nama baik ayah dan
ibu Sinta. Terlihat wajah muram pada keduanya, pernikahan tanpa rasa cinta,
hanya berdasarkan belas kasih seorang sahabat yang mengharap kebaikan untuk
jabang bayi sahabatnya sendiri.
Azan Ashar menyadarkan Piter dari
lamunan panjangnya. Menunaikan sholat berjamaah di mushola yang tak jauh dari
warung bi E’em bersama Bagas adalah hal yang juga sangat dirindukannya.
Bersujud pada Tuhan, meminta agar amarah dan kekecewaan dihatinya segera
terhapus bersama dengan kedatangan sahabatnya kembali.
“merokok kau sekarang? Pantaslah
semakin kurus dan tak terurus” Komentar Piter sambil memakai sepatu fantopel
andalannya dipintu mushola.
“Kamu masih seperti dulu Pit, terlalu
perhatian pada sahabatmu yang setan ini.”
Perbincangan mereka berlanjut di coffee shop tak jauh dari mushola yang
baru soft opening minggu lalu. Piter
menceritakan seluruh perjalanan hidupnya setelah menikah dengan Sinta. Bagaimana
ia menyelesaikan kuliah sementara Sinta ngidam berat dan selalu haus perhatian.
Bagaimana Piter berusaha bekerja sambil kuliah hanya agar mertuanya tidak
terus-terusan memandangnya sebelah mata. Bagaimana dia mulai pindah dari
apartment mahal milik Sinta ke kos-kosan sempit padat penduduk hanya agar
batinnya tak tersiksa karena mertuanya. Dan bagaimana akhirnya ia bisa sarjana
dengan menggendong Asih difoto wisudanya, ya Asih yang merupakan darah daging
Bagas. Tak banyak kata yang Bagas lontarkan hanya beberapa kali ia tampak
memalingkan wajah dan berusaha agar air matanya bisa mengering lebih cepat.
“Bagaimana kabar Indah Pit?”
“Ah dia, sudah lama aku tidak
memikirkan dia lagi gas. Terakhir kami bertemu saat aku memutuskan untuk
menikahi pacarmu. Patah hati dia, setelah itu tak pernah lagi aku bertemu.”
“Bagaimana bisa kau putuskan pacar
pertamamu itu Pit? Wanita idaman semua pria. Tak sanggup lah aku berterimakasih
padamu. Sampah lah aku ini”
“Jangan kau maki terus dirimu gas,
tak lami lagi matilah jiwamu yang kering itu. Sudahlah, Allah tau mana yang
terbaik untukku. Indah memang bukan jodohku gas. Mungkin dia permataku yang
hilang tapi bukan berarti tak akan kutemui lagi kan?”
“kau selalu yang paling benar Pit,
jadi kapan aku bisa bertemu Sinta dan Asih? Aku ingin memeluk anakku itu Pit.
Lelah dihantui rasa bersalah belasan tahun, sembunyi di negeri orang, tidak
jelas arah hidupku. Mau berkeluarga pun aku tak sanggup Pit, tak ada lagi rasa
cinta dihatiku. Habis termakan kesalahan masa lalu.”
Pertemuan yang diimpikan Bagas
bertahun-tahun akhirnya terwujud juga. Dipeluknya Asih erat-erat, walau anaknya
sendiri masih mengira Bagas adalah Omnya yang lama tak berjumpa dengannya. Sinta
yang awalnya terbakar amarah perlahan bisa mengontrol emosinya dan mencoba
menerima Bagas kembali. Menerima untuk sekedar berbincang dan memperbaiki
kekecewaan masa lalu.
“Piter... 5 tahun kita menikah, aku
tak pernah merasa benar-benar menjadi istrimu. Kamu tidak pernah mau kulayani.
Apa yang salah dariku pit?” Sinta memulai percakapan saat Piter baru saja
merebahkan badan dikasur.
“tidak ada yang salah Sin” jawab
Piter seadanya.
“jujur saja Pit, aku tau kamu gak
cinta kan sama aku? Kamu cuma kasian kan sama aku? Wanita malang yang ditinggal
kekasihnya.”
“jangan memancingku Sin, aku cape.
Aku mau tidur” Balas Piter sambil membelakangi Sinta dan mencoba memejamkan
mata.
“kamu jahat Pit..”
“jahat katamu? Kau mohon padaku
dengan muka kasihanmu itu, kau pegang perutmu yang hamil besar. Tiap hari kau
hantui aku dengan rasa bersalah karna ulah sahabatku. Kau menangis
sejadi-jadinya, menghamba pada pemuda yang memiliki mimpi besar ini,
menjanjikan banyak hal, memohon, mengemis kau dihadapanku Sin. Pemuda yang
kehilangan mimpinya, masa mudanya, yang ketika berusaha mencintaimu pun aku
dibenci oleh mertuaku sendiri. Siapa yang jahat disini Sinta? Siapa? Semua
orang menganggapku keji, kuterima itu, demi anak kalian. Tidak Sinta, bukan aku
yang jahat” ucap Piter sembari bangun dari tidurnya dan berdiri dihadapan
Sinta.
“satu lagi, aku tahu cintamu tidak
pernah untukku kan? Tidak ada cinta dimatamu selama kau menatapku. Aku tau itu
Sin.” Ucap Piter dan pergi keluar kamar.
Sinta menangis sejadi-jadinya
mengingat betapa menyedihkannya Piter selama ini. Hidup bersama orang yang
tidak pernah dicintainya. Dibenci oleh mertuanya sendiri, bahkan tidak pernah
mendapatkan cinta dari istrinya sendiri. Sinta memutuskan untuk pergi dan
mencari kehidupan baru diluar sana. Ditinggalkannya surat permohonan maaf
sekaligus permohonan perceraian, mengaku menyerah atas rumah tangga mereka.
Dari lubuk hati terdalam Sinta ingin agar Piter bisa menemukan hidup barunya
yang lebih bahagia.
Semenjak kepergian Sinta, Piter
menceraikannya secara agama. Dirawatnya Asih seorang diri dengan sesekali
dijenguk oleh Bagas. Bagas sesekali pula mengajak Asih menginap dirumahnya demi
membiasakan Asih sebelum Asih benar-benar diambil sepenuhnya oleh Bagas. Hidup
Piter berangsur membaik, kini ia sudah bekerja disalah satu perusahaan besar
yang dulu diimpikannya walaupun belum mendapat jabatan yang begitu tinggi
setidaknya dia sudah bisa mengganti motor matik tuanya dengan mobil avanza
hitam yang mengkilap.
Setelah diberikan pemahaman setiap
hari oleh Piter, akhirnya Asih memahami siapa sebenarnya Bagas. Dan kini Asih
benar-benar menjadi hak asuh Bagas sepenuhnya. Menitikkan air mata ketika Piter
merelakan Asih yang sudah dia anggap sebagai darah dagingnya sendiri,
melepaskan kepergian bayi mungil yang dulu ada difoto wisudanya, merelakan Asih
pergi ikut bersama ayahnya ke negara tetangga. Kini Piter kembali seperti dulu,
sendiri.
“Sudah tiga tahun kau tu menduda
nak. Belum mau cari pengganti?” Pertanyaan ibu yang selalu terlontar hampir
setiap hari.
“Tenanglah bu, setiap kita pasti ada
jodohnya, sendiriku ini juga ada batasnya, ibu doakan sajalah aku yaa” jawab
Piter sambil mengunyah sarapannya pagi ini.
Hari ini adalah hari ulang tahun
perusahaan tempat dimana Piter bekerja. Kali ini bertemakan family gathering , karena tidak
mempunyai istri Piter pun membawa ibunya ikut serta ke acara kantor. Selain
mengundang seluruh jajaran perusahaan, mereka juga mengundang segenap
organisasi dan komunitas yang ada di Jawa Barat.
“Ibu
duduk disini dulu yaa, aku kebelakang menemui bos sebentar. Nikmati saja dulu
ya buu acaranya” Ucap Piter pada Ibunya dan bergegas pergi.
Setelah sekitar 30 menit bertemu
bosnya, Piter mencari-cari kursi dimana tadi dia meninggalkan Ibunya. Dari jauh
dilihatnya Ibu duduk paling depan dan sedang asyik mengobrol dengan seorang
wanita berjilbab tosca. Tampaknya seru, sampai punggung mereka bergoyang-goyang
saat tertawa terpingkal-pingkal. Piter bisa melihat tangan ibu berkali-kali
menepuk bahu wanita itu. Sebegitu akrab kah? pikir Piter.
Wanita itu lalu membalikkan badannya
dan berdiri memegang mik. Sebagai ketua komunitas yang diundang perusahaan
Piter, ia tampak cerdas dalam bertutur kata dan mempesona dalam balutan jilbab
lebar yang menambah kesan keibuannya. Wanita itu membawakan sambutan dengan
senyum yang terkembang manis. Begitu melihat senyum ini, Piter teringat
pertanyaan ibunya tadi pagi. Untuk pertama kali sejak 7 tahun lalu, ada yang
kembali hidup di hati Piter setelah lama mengering.
“Permataku
yang indah.. kau kembali” lirih Piter hampir berkaca-kaca.
Piter bergegas duduk disamping
ibunya, dikursi terdepan untuk memastikan. Di jari manis wanita itu tiada suatu
cincin pun yang terpasang.
“Alhamdulillah
bu” lirih Piter
“Alhamdulillah
kenapa nak?”
“sudah
ketemu bu...”
TAMAT
Glosarium
Ammaku : Ibu saya, dalam bahasa
minang
Bisuak kasiko yo : “Besok kesini
ya” dalam bahasa minang
Clubbing : Bermain di club malam
(diskotik), dalam bahasa inggris
family gathering : Perkumpulan
keluarga, dalam bahasa inggris
Surau :
Tempat sholat yang tidak sebesar mesjid, dalam bahasa melayu
Secret Admirer : Pengagum rahasia, dalam bahasa
inggris
Wa’ang inda balek : “kamu tidak pulang”
dalam bahasa minang
Wa’ang :
Kamu, dalam bahasa minang
Tidak ada komentar:
Posting Komentar