Sabtu, 07 April 2018

Kopi hitam #Cerpen4


   

            Pagi ini Piter dan istrinya tampak tergesa-gesa melaksanakan kegiatan harian mereka, membersihkan kebun dan menyelesaikan pekerjaan rumah tangga yang sedari kemarin tak kunjung usai. Rumah yang tidak begitu besar tapi lumayan jika hanya ditinggali bertiga membuat mereka pontang-panting membereskannya, maklumlah kegiatan berberes ini hanya dilakukan setiap ibu mertua akan datang. Cat biru sendu yang semakin sendu karna dimakan zaman serta pilar-pilar seukuran satu pelukan manusia menambah kesan betapa kunonya rumah ini.
            “Bosan lah aku tinggal disini, gak ada rumah yang agak bagusan?” ucap istrinya sambil merebahkan diri dikursi merah jambu yang tak pantas lagi disebut merah jambu itu.
            “Kalau kau punya warisan rumah dari orangtuamu yang mentereng tu, ndapapa pun kita pindah” balas Piter dengan nada acuh, sambil bergegas mengambil handuk hijaunya.
            “Tidak pernah bersyukur” katanya lirih. Sambil mengguyur badannya, Piter memaki dirinya sendiri. Mengingat betapa ia menyesal tidak mendengarkan perkataan ibunya dulu, betapa ... “ah sudahlah” pikirnya, toh penyesalan beribu kalipun tidak akan berguna sekarang. Dengan handuk menggantung dileher dan rambut masih meneteskan air, digapainya kemeja krem bergaris-garis putih kesayangannya itu. Sambil berkaca, Piter meyakinkan diri bahwa hari ini akan menjadi hari baik untuknya.
            Lelaki menjelang 27 tahun ini pergi ke ruang tamu dan diraihnya kunci motor matik jadul keluaran tahun 2005. Walau jadul tapi berjasa pikirnya. Tanpa menoleh kearah istrinya yang dari tadi asik bermain smartphone keluaran terbaru, dirangkulnya anak mereka semata wayang dan didudukkannya di boncengan motor kebanggaannya. Hari ini Piter akan kembali mencari pekerjaan setelah satu bulan di-phk dari perusahaan yang sudah 5 tahun memberinya makan.
            Anaknya tak banyak bicara, tapi tak bisa juga disebut kalem. Anak berusia 5 tahun yang tampak dewasa sebelum waktunya. Tak suka bermain bersama teman sebayanya, tak ceria seperti anak seusianya, dan tak pernah berucap lebih dari 6-8 kata sekali membuka mulutnya. Istimewanya Anak semata wayang Piter ini memiliki paras rupawan khas metropolitan, gabungan gen ayah dan ibunya yang merupakan mantan duta kampus di eranya.
            “Belajar yang rajin ya nak, jangan nakal. Kotak makanmu harus dihabiskan, jangan kau buang lagi ya. Sudah masuk sana.” Kalimat Piter sehari-hari setelah sampai digerbang sekolah anaknya. Seperti biasa, tidak ada respon apapun dan ia berlalu pergi tanpa merasa bersalah.
            Peluh berjatuhan, baju krem yang rapi kini menjadi lepek karena basah dibasuh keringat. Sembari menenteng ijazah S1 pendidikan ekonomi dari universitas swasta yang tak begitu terkenal, Piter terus menelusuri gedung demi gedung perkantoran di pusat Kota Bandung. Matahari yang seakan tak berbelas kasih hari itu semakin menambah lengkap deritanya.
            “terhitung 15 kantor kudatangi, hidup kenapa jadi sesusah ini” lirih Piter sambil menyeruput kopi hitam buatan bi E’em disudut jalan, yang sudah 9 tahun menjadi langganannya.
            Kopi selalu menjadi hal paling manis untuknya, walau sebenarnya kopi ini tidak pernah ditambahi gula. Dari jauh dilihatnya dua orang pemuda dengan tas ransel yang tampak tidak lebih berat dari jinjingan ijazahnya saat ini, sedang berbincang ringan dengan sesekali saling tertawa satu sama lain. Dipejamkannya mata, kopi pahit membawanya pada kenangan bertahun-tahun lalu.
“gas.. gimana persyaratanku kemarin?”
“Amanlah pit, Insya Allah lusa dapat kabar bahagia lah kau” jawab Bagas ringan sambil memainkan handphone Nokia  keluaran terbaru saat itu.
“enteng kali jawabanmu, dagdigdugser aku gas. Kau tau lah kalau aku tak lolos bisa habis aku digilas ammaku” balas Piter dengan wajah kesal dan kaki yang selalu digoyang-goyangkan membuat kursi seperti terkena gempa.
            Pemira atau pemilu raya Universitas Udoyono Bandung, beberapa bulan kedepan akan segera terlaksana. Piter mencalonkan diri sebagai salah satu kandidat, dilihat dari napak tilas prestasinya yang luar biasa, tak canggung baginya untuk mengajukan segala persyaratan. Kebalikannya, Bagas yang juga memiliki mimpi sebesar Piter tapi tak mampu untuk mengajukan persyaratan karena IPK yang hanya sanggup mengambil 18 sks.
            Bagas memang tak seberuntung Piter dari segi prestasi, tapi dari segi keluarga dan keuangan Bagas lah sang juara. Ayahnya salah satu pejabat berpengaruh di Jawa Barat dan ibunya adalah pengusaha berlian paling laris se lembang raya. Mobil keluaran terbaru mana yang tidak dimilikinya, hape canggih mana yang tidak sempat digunakannya barang satu dua bulan. Cowo parlente yang menjadi idaman banyak mahasiswi dikampus mereka yang memiliki kurang lebih enam ribu mahasiswa ini. Tapi, ada satu hal lagi yang tidak dimiliki Bagas.
“Pit, pulang ngampus ntar main kerumahku dulu nah” ajak Bagas sambil merapikan rambut mohaknya didepan cermin kecil dikantong kecil tasnya.
“Ada game apalagi gas? Aku gak bisa kayanya, habis ini masih ada rapat sama anak-anak internal” jawab Piter sekenanya sembari mematikan laptop tuanya dan dengan cepat memasukannya kedalam ransel hitam yang hampir kecoklatan.
“Halah, gak bosen rapat terus? Oiya lupa yaa kan calon presma”
            Pertemanan 9 tahun sejak mereka masih menggunakan putih biru ternyata tak membuat Bagas begitu paham apa sebenarnya yang menjadi prioritas Piter sejak dulu, tak lain dan tak bukan hanyalah prestasi. Disamping kemewahan hidup yang tak berkesudahan, Bagas tak sepenuhnya bahagia karena orangtuanya tak pernah memahami apa yang dia impikan seutuhnya. Selalu membandingkan, tak pernah puas, bahkan tak jarang Bagas tidak berbincang dengan mereka hampir seminggu karena terlalu sibuk dengan dunia masing-masing. Kehidupan yang benar-benar tidak diimpikannya.
            Dari jauh, gadis manis berambut panjang dengan rok selutut berwarna coklat muda dengan corak bunga-bunga dari tadi sibuk memperhatikan Piter. Piter yang sebenarnya juga sadar kalau sedang diperhatikan semakin mencoba menyibukkan diri dengan memberi instruksi tanpa jeda pada tim sukses pemiranya.  “Permataku yang indah...” gumam Piter.
            Indah namanya, gadis manis dari jurusan pendidikan bahasa Indonesia sudah menjadi secret admirer Piter sejak dulu. Mengagumi sosok senior yang merupakan aktivis berpengaruh di kampus, hanya karena sebotol air mineral yang diberikan Piter saat ospek fakultas dua tahun lalu. Indah mengaguminya tanpa jeda, bagaimana tidak? Sosok itu selalu berprestasi baik dibidang akademik maupun non akademik, ditambah lagi wajah berwibawa khas laki-laki idaman dengan kacamata modern yang tersangga di hidung mancungnya, sempurna pikir Indah. Sama halnya dengan Piter, ia selalu memantau Indah dari jauh, melihat walaupun tak terlihat, mengetahui tanpa diketahui. Permataku yang Indah, lirih Piter.
            Kesibukan pemira membuat Bagas juga ikut-ikutan mencari kesibukan. Bagas yang sudah lama menjadi anggota The Sindan (Theater, Sing & Dance) fakultasnya, disibukkan dengan pentas tahunan yang tidak lama lagi berlangsung.
“Indah.. besok jadi temenin aku cari kostum anak-anak?” Tanya Bagas dengan harap-harap cemas sambil memainkan kunci mobilnya.
“Sama aku kak? Gak jadi sama Sinta?”
“Yaa sama kamu lah dek, kan Sinta nya ngelatih anak-anak. Besok jam 4 sore aku jemput kekos kamu ya. Dandan yang cantik” goda Bagas sambil berlalu pergi.
            Bagas dan Indah menjadi partner sejati di ukm mereka. Diam-diam Bagas telah lebih dulu mengagumi paras dan tingkah Indah yang dinilainya istimewa. Wanita Jawa Tengah dengan kemampuan menari bak seorang putri keraton, ditambah rambut panjang dan kulit kuning langsat menambah rasa kagumnya yang semakin memuncak.
“Indah memang asli yogyakarta yaa?” Basa-basi Bagas setelah menyadari bahwa ini kali pertama mobilnya dinaiki wanita selain ibu dan bibinya.
“Iya kak asli jogja banget”
“kok pake banget?”
“Ayah, Ibu, nenek, kakek, om, bude, tante, sepupu, saudara, sahabat semuanya asli jogja dan tinggal di jogja” Jawab Indah  lengkap, berharap tidak ada pertanyaan basa-basi selanjutnya.
“Hahaha kok kamu lucu sih dek, berat ya berarti kalau harus berkeluarga di Jawa Barat nanti?” tanya Bagas tanpa pikir panjang, sambil terus menyetir dengan kecepatan super lambat yang disesuaikannya dengan musik senja dari radio dimobilnya ini.
“Belum kepikiran kak” Sambil melepaskan nafas panjang pertanda tak menyukai perbincangan ini.
            Pemira berlangsung sukses, tergambar jelas pada Piter yang terus merekahkan senyum tanpa henti diwajahnya. Berhasil menjadi wapresma terpilih otomatis membuatnya selangkah lagi pada mimpinya, beasiswa keluar negeri. Lahir di keluarga yang sederhana membuatnya merasa tak pantas jika harus bermimpi kuliah keluar negeri dengan biaya sendiri.
            Bagas ikut senang mengetahui hal ini, tapi bahagianya tentu tak sebesar Indah. Sang permata Piter.
            “Gas, besok aku bakal ngelakuin sejarah baru dalam hidup Piter Harahap selama 20 tahun hidup didunia” Ucap Piter penuh semangat, mengundang gelak tawa sahabatnya Bagas.
            “Ada ya orang kaya kamu ini, pintar, tampan, alay pula. Hahaha apalagi sih Pit? Mau bobol ruang dosen kah?” Jawab Bagas malas-malasan tanpa melepaskan headphone gray kesayangannya.
“Aku mau ngajak permataku ke bioskop, kaya janjiku dulu ke kau. Ingat gak?”
“Apalagi permata? Nama orang apa nama buku? Hahaha”
            “Serius aku ini Gas, aku dulu pernah janji kan bakal ngajak cewe jalan kalau aku berhasil terpilih dipemira. Yakin kali aku sekarang.” Jawab Piter sambil terus mengetik sibuk dilaptop tuanya.
            “Hahaha, siap Pit. Kutunggu kabar baikmu ya. Jadian sama manusia lah sekali-kali, jangan sama buku terus”
            Tanpa sadar ucapan Bagas inilah yang menjadi keretakan persahabatannya dengan Piter. Satu bulan setelah percakapan itu, sampai berita tak mengenakkan dari teman-teman kampusnya. “Wapresma jadian dengan bidadari the sindan”. Bagas kaget sekaligus kecewa, tidak menyangka kalau ternyata Indah lah yang menjadi pacar pertama sahabatnya, Piter.        Bagas yang memang dasarnya kurang perhatian, semakin melancarkan hobi tengah malamnya. Balap mobil, Billyard, bahkan clubbing.  Satu bulan berlalu.
            “Hoy Pit!”Sapa Bagas dengan gaya parlente yang menjadi ciri khasnya. Dengan tampilan yang cukup berbeda dari biasanya, ditemuinya Piter setelah hampir sebulan tak muncul dikampus.
            “Bagas! Kemana aja kau? Satu semester aku mencarimu. Sudah lupa kau cara pergi kuliah?”
            “hahaha, jangan sok rindu pit, itu berat, Cuma aku yang kuat” jawab Piter sekenanya dengan mimik wajah tidak tulus.
            Pertemuan yang penuh maksud menjadi alasan Bagas kembali ke kampus. Sinta yang menjadi alasannya, wanita pelarian yang sudah menjadi korban patah hatinya terhadap Indah. Bagas yang kehilangan kepercayaan pada sahabatnya sendiri, kehilangan wanita yang sudah lama menjadi dambaannya, membuatnya melampiaskan dan menghabiskan hari-harinya bersama Sinta, wanita metropolitan yang bahagia dengan kehidupan hedonism ala Bagas. Sinta yang memiliki paras menawan dan segudang prestasi modelling maupun duta kampus menjadi hal yang menarik bagi para pria, termasuk Bagas. Terimbangi dengan Bagas yang juga runner up 2 duta kampus kala itu.
            Piter tersadar dari lamunan, saat hujan menembus masuk ke warung bi E’em. Dilihatnya jam tangan hitam yang terpasang ditangan kirinya, yang semakin menambah jelas ingatannya tentang Bagas.
Wa’ang inda balek?” Tanya bi E’em dengan bahasa padang yang kental.
“jam berapa memangnya ini bi? Keasikan melamun saya, teringat masa-masa kuliah dulu.”
“Apo kabar teman wa’ang si Bagas tu?” Tanya bi E’em sambil sibuk membereskan gelas-gelas kosong bekas kopi hitam yang kental.
“Saya juga kurang tahu bu, sudah lama sekali tidak kontak”
“Ha, macamtu. Bisuak kasiko yo. Ada yang mau aku sampaikan”
            Keesokan harinya Piter kembali ke warung bi E’em dengan gaya yang sama, membawa ijazah yang cukup berat untuk dijinjing, sepatu fantopel hitam yang tak mengkilap lagi, dan kali ini dengan kemeja biru laut yang dilapisinya dengan jaket hitam polos dan resleting yang sulit dikancingkan. Masih dengan pesanan yang sama, secangkir kopi hitam pahit tanpa gula khas bi E’em, bagai lorong menuju masa lalu.
            “Kau gila gas? Bukan temanku lagi kau.” Bentak Piter dengan nada khas medan.
            “Aku khilaf Pit, aku gak nyangka kejadiannya bisa kaya gitu. Aku khilaf Pit. Bisa dibunuh aku sama ayah kalau dia sampai tahu. Tolong lah aku Pit.”
            “Tolong apa gas? Tolong apa! Kalau kejadiannya sudah kaya gini, gak ada pilihan lagi selain tanggung jawab! Biar aku yang bilang ke ayahmu.”
            “Kamu gila Pit? Kamu mau lihat aku mati hari ini juga ha? Aku begini juga karena kamu! Kamu rebut Indah dari aku, kamu berprestasi dan selalu dibanding-bandingkan ayahku dengan aku yang gak bisa apa-apa ini. Yang taunya cuma balapan dan nge-club. Kamu yang selalu jadi ukuran sukses seorang anak dimata ayahku. Aku yang susah payah menang dan jadi duta kampus juga gak pernah ditoleh ayah sampai hari ini. Dia mau aku jadi presma bukan duta! Aku gak pernah benar dimata ayah dan itu semua karena kamu!”
            “kenapa kamu jadi begini gas? Bukannya kamu yang selalu dukung aku? Yang selalu bilang kalau kamu bangga punya teman kaya aku? Kamu juga gak pernah bilang soal Indah” Piter menarik nafas panjang, aliran darahnya semakin deras, denyut jantungnya berdetak kencang, ingin ia menonjok Bagas sekali saja dengan tonjokan terkuat sepanjang hidupnya, Piter kecewa.
            Tidak sanggup melihat perlakuan Bagas pada Sinta, membuat Piter semakin membenci sahabatnya itu. Bagas memaksa Sinta menggugurkan janin diperutnya, tanpa peduli bahwa itu adalah hasil perbuatan kejinya sendiri.
            “Aku gak mau gas! Ini anak kamu, kamu harus tanggung jawab. Aku gak peduli orang mau bilang apa, yang penting kamu harus nikahin aku.” Ucap Sinta sambil menangis sejadi-jadinya di sudut apartment miliknya.
            “Gak bisa bego! Ayahku pejabat terkenal, aku anak satu-satunya. Apa bilang orang Sin? Mau taruh dimana mukaku? Kamu gak ngerti sih”
            “Kamu yang gak ngerti gas! Aku juga malu, aku yang ngandung, ayahku direktur perusahaan, ibuku juga pejabat. Malu siapa gas! Aku gak mau gugurin karena aku tahu ini anak kita, buah cinta kita gas. Lagipula kenapa kamu melakukan kalau kamu belum siap? Kenapa kamu maksa aku?”
            “hahaha.. siapa bilang aku cinta sama kamu Sin? Aku cinta sama Indah, yang direbut sahabatku sendiri, bullshit! Kamu cuma pelarianku, jangan sok bilang ini buah cinta kita, aku tau kamu juga tergila-gila kan sama si Piter pengecut itu?”
            “Itu dulu gas, aku gak pernah ingat Piter lagi semenjak sama kamu. Tolong gas.. nikahin aku”
            Semenjak hari itu Bagas menghilang dan Piter tidak pernah tahu lagi kemana dia pergi. Bagas pergi sejauh-jauhnya tanpa meninggalkan pesan bahkan pada pacarnya sendiri. Rumah mewahnya di Lembang sudah berganti kepemilikan, toko berlian ibunya di sudut Kota Lembang juga sudah berganti menjadi toko baju, dan Ayahnya dikabarkan meninggal dunia selang dua bulan semenjak menghilangnya Bagas.
            “Jangan wa’ang melamun terus. Tak enak hati aku melihat. Hari ini akan jadi hari baik untuk wa’ang.” Lagi-lagi teguran bi E’em menyadarkan Piter dari lamunan panjangnya.
            “Piter... Apa kabar?” Sosok klimis, tinggi dan proporsional itu kini berubah menjadi sedikit gondrong dan agak kurus.
            Pertemuan yang dinanti setelah 5 tahun lamanya tidak bertemu, membuat air mata Bagas hampir menetes, hanya karena harga diri air matanya memilih untuk tetap mengering. Dilihatnya Piter masih sama seperti dulu, bersahaja dan apa adanya. Tanpa sadar keduanya berpelukan amat kencang seakan tidak ingin berpisah lagi walaupun masih ada yang mengganjal dihati satu sama lain.
            “Apa kabar Asih?”
            “Peduli apa kau pada Asih gas? Hahaha persembunyianmu betul-betul jago ya. Tak kutemukan informasi sedikitpun tentang kau” Ucap Piter santai sambil menyeruput kopi hitamnya, walaupun dengan perasaan yang bergejolak.
            “Aku tahu aku salah Pit, Tuhan saja maha pemaaf apalagi kamu kan? Tuhan saja mau menerima sujudku lagi apalagi kamu kan?”
            “Hahaha jangan kau bicara layaknya imam di surau gas, rasanya malu aku jika ingat masa lalumu yang keji itu” Piter berkata dengan hati yang meledak-ledak sembari mengingat kejadian bertahun lalu.
            Piter mencari Bagas hingga tempat yang tak terjangkau sekalipun, hanya karena satu alasan, janin Sinta yang semakin membesar. Hingga empat bulan berlalu, Piter tak kunjung menemukan dimana sahabatnya itu.
            “Bagaimana bu? Bukankah islam menganjurkan kita untuk saling menolong? Tegakah ibu melihat janin itu semakin membesar tanpa kita selesaikan?” Ucap Piter pada ibunya yang hanya diam mematung tak sanggup berkata-kata.
            “Kemana mimpi-mimpi besarmu dulu nak? Kemana impianmu kuliah ke luar negeri? Tak kasihan kah kau pada kita yang tak berderajat ini, terkatung-katung tak jelas ditanah orang, hingga kini kau sudah hampir menggenggam dunia tapi memilih menghempaskannya? Ibu ini tak berpendidikan, almarhum ayahmu hanya tentara berpendidikan seadanya, kita terusir dari kampung halaman karena ibumu ini dianggap pembawa sial untuk keluarga. Pembawa kematian ayahmu. Tak cukup kah itu nak? Tak cukupkah?” Ucap Ibu Piter tanpa jeda, dengan amarah yang tidak bisa dibendung. Kekecewaan, malu, dan tidak mampu menerima keputusan anaknya.
            “Ampunkan aku bu. Aku hanya berusaha menolong dan berlaku sebagai manusia. Aku janji setelah ini akan tetap mengejar mimpiku keluar negeri, aku akan membahagiakan ibu, membuat keluarga kita terpandang, tapi mohon izinkan aku menolong Sinta bu.” Pinta Piter sambil bersujud dikaki ibunya memohon doa restu.
            “Kenapa kesalahan orang lain menjadi beban untukmu nak? Beban untuk kita? Semoga Allah meridhoi langkahmu, ibu hanya bisa mendoakan yang terbaik” Mereka berpelukan erat dan saling menangis satu sama lain, anak beranak yang seakan selalu dirundung duka sepanjang hidupnya.
            Satu bulan setelahnya diadakanlah pernikahan Sinta dan Piter di kediaman Sinta, Bandung Jawa Barat. Tak banyak yang hadir, hanya sanak keluarga terdekat. Keluarga ingin acara ini private demi menjaga nama baik ayah dan ibu Sinta. Terlihat wajah muram pada keduanya, pernikahan tanpa rasa cinta, hanya berdasarkan belas kasih seorang sahabat yang mengharap kebaikan untuk jabang bayi sahabatnya sendiri.
            Azan Ashar menyadarkan Piter dari lamunan panjangnya. Menunaikan sholat berjamaah di mushola yang tak jauh dari warung bi E’em bersama Bagas adalah hal yang juga sangat dirindukannya. Bersujud pada Tuhan, meminta agar amarah dan kekecewaan dihatinya segera terhapus bersama dengan kedatangan sahabatnya kembali.
            “merokok kau sekarang? Pantaslah semakin kurus dan tak terurus” Komentar Piter sambil memakai sepatu fantopel andalannya dipintu mushola.
            “Kamu masih seperti dulu Pit, terlalu perhatian pada sahabatmu yang setan ini.”
            Perbincangan mereka berlanjut di coffee shop tak jauh dari mushola yang baru soft opening minggu lalu. Piter menceritakan seluruh perjalanan hidupnya setelah menikah dengan Sinta. Bagaimana ia menyelesaikan kuliah sementara Sinta ngidam berat dan selalu haus perhatian. Bagaimana Piter berusaha bekerja sambil kuliah hanya agar mertuanya tidak terus-terusan memandangnya sebelah mata. Bagaimana dia mulai pindah dari apartment mahal milik Sinta ke kos-kosan sempit padat penduduk hanya agar batinnya tak tersiksa karena mertuanya. Dan bagaimana akhirnya ia bisa sarjana dengan menggendong Asih difoto wisudanya, ya Asih yang merupakan darah daging Bagas. Tak banyak kata yang Bagas lontarkan hanya beberapa kali ia tampak memalingkan wajah dan berusaha agar air matanya bisa mengering lebih cepat.
            “Bagaimana kabar Indah Pit?”
            “Ah dia, sudah lama aku tidak memikirkan dia lagi gas. Terakhir kami bertemu saat aku memutuskan untuk menikahi pacarmu. Patah hati dia, setelah itu tak pernah lagi aku bertemu.”
            “Bagaimana bisa kau putuskan pacar pertamamu itu Pit? Wanita idaman semua pria. Tak sanggup lah aku berterimakasih padamu. Sampah lah aku ini”
            “Jangan kau maki terus dirimu gas, tak lami lagi matilah jiwamu yang kering itu. Sudahlah, Allah tau mana yang terbaik untukku. Indah memang bukan jodohku gas. Mungkin dia permataku yang hilang tapi bukan berarti tak akan kutemui lagi kan?”
            “kau selalu yang paling benar Pit, jadi kapan aku bisa bertemu Sinta dan Asih? Aku ingin memeluk anakku itu Pit. Lelah dihantui rasa bersalah belasan tahun, sembunyi di negeri orang, tidak jelas arah hidupku. Mau berkeluarga pun aku tak sanggup Pit, tak ada lagi rasa cinta dihatiku. Habis termakan kesalahan masa lalu.”
            Pertemuan yang diimpikan Bagas bertahun-tahun akhirnya terwujud juga. Dipeluknya Asih erat-erat, walau anaknya sendiri masih mengira Bagas adalah Omnya yang lama tak berjumpa dengannya. Sinta yang awalnya terbakar amarah perlahan bisa mengontrol emosinya dan mencoba menerima Bagas kembali. Menerima untuk sekedar berbincang dan memperbaiki kekecewaan masa lalu.
            “Piter... 5 tahun kita menikah, aku tak pernah merasa benar-benar menjadi istrimu. Kamu tidak pernah mau kulayani. Apa yang salah dariku pit?” Sinta memulai percakapan saat Piter baru saja merebahkan badan dikasur.
            “tidak ada yang salah Sin” jawab Piter seadanya.
            “jujur saja Pit, aku tau kamu gak cinta kan sama aku? Kamu cuma kasian kan sama aku? Wanita malang yang ditinggal kekasihnya.”
            “jangan memancingku Sin, aku cape. Aku mau tidur” Balas Piter sambil membelakangi Sinta dan mencoba memejamkan mata.
            “kamu jahat Pit..”
            “jahat katamu? Kau mohon padaku dengan muka kasihanmu itu, kau pegang perutmu yang hamil besar. Tiap hari kau hantui aku dengan rasa bersalah karna ulah sahabatku. Kau menangis sejadi-jadinya, menghamba pada pemuda yang memiliki mimpi besar ini, menjanjikan banyak hal, memohon, mengemis kau dihadapanku Sin. Pemuda yang kehilangan mimpinya, masa mudanya, yang ketika berusaha mencintaimu pun aku dibenci oleh mertuaku sendiri. Siapa yang jahat disini Sinta? Siapa? Semua orang menganggapku keji, kuterima itu, demi anak kalian. Tidak Sinta, bukan aku yang jahat” ucap Piter sembari bangun dari tidurnya dan berdiri dihadapan Sinta.
            “satu lagi, aku tahu cintamu tidak pernah untukku kan? Tidak ada cinta dimatamu selama kau menatapku. Aku tau itu Sin.” Ucap Piter dan pergi keluar kamar.
            Sinta menangis sejadi-jadinya mengingat betapa menyedihkannya Piter selama ini. Hidup bersama orang yang tidak pernah dicintainya. Dibenci oleh mertuanya sendiri, bahkan tidak pernah mendapatkan cinta dari istrinya sendiri. Sinta memutuskan untuk pergi dan mencari kehidupan baru diluar sana. Ditinggalkannya surat permohonan maaf sekaligus permohonan perceraian, mengaku menyerah atas rumah tangga mereka. Dari lubuk hati terdalam Sinta ingin agar Piter bisa menemukan hidup barunya yang lebih bahagia.
            Semenjak kepergian Sinta, Piter menceraikannya secara agama. Dirawatnya Asih seorang diri dengan sesekali dijenguk oleh Bagas. Bagas sesekali pula mengajak Asih menginap dirumahnya demi membiasakan Asih sebelum Asih benar-benar diambil sepenuhnya oleh Bagas. Hidup Piter berangsur membaik, kini ia sudah bekerja disalah satu perusahaan besar yang dulu diimpikannya walaupun belum mendapat jabatan yang begitu tinggi setidaknya dia sudah bisa mengganti motor matik tuanya dengan mobil avanza hitam yang mengkilap.
            Setelah diberikan pemahaman setiap hari oleh Piter, akhirnya Asih memahami siapa sebenarnya Bagas. Dan kini Asih benar-benar menjadi hak asuh Bagas sepenuhnya. Menitikkan air mata ketika Piter merelakan Asih yang sudah dia anggap sebagai darah dagingnya sendiri, melepaskan kepergian bayi mungil yang dulu ada difoto wisudanya, merelakan Asih pergi ikut bersama ayahnya ke negara tetangga. Kini Piter kembali seperti dulu, sendiri.
            “Sudah tiga tahun kau tu menduda nak. Belum mau cari pengganti?” Pertanyaan ibu yang selalu terlontar hampir setiap hari.
            “Tenanglah bu, setiap kita pasti ada jodohnya, sendiriku ini juga ada batasnya, ibu doakan sajalah aku yaa” jawab Piter sambil mengunyah sarapannya pagi ini.
            Hari ini adalah hari ulang tahun perusahaan tempat dimana Piter bekerja. Kali ini bertemakan family gathering , karena tidak mempunyai istri Piter pun membawa ibunya ikut serta ke acara kantor. Selain mengundang seluruh jajaran perusahaan, mereka juga mengundang segenap organisasi dan komunitas yang ada di Jawa Barat.
“Ibu duduk disini dulu yaa, aku kebelakang menemui bos sebentar. Nikmati saja dulu ya buu acaranya” Ucap Piter pada Ibunya dan bergegas pergi.
            Setelah sekitar 30 menit bertemu bosnya, Piter mencari-cari kursi dimana tadi dia meninggalkan Ibunya. Dari jauh dilihatnya Ibu duduk paling depan dan sedang asyik mengobrol dengan seorang wanita berjilbab tosca. Tampaknya seru, sampai punggung mereka bergoyang-goyang saat tertawa terpingkal-pingkal. Piter bisa melihat tangan ibu berkali-kali menepuk bahu wanita itu. Sebegitu akrab kah? pikir Piter.
            Wanita itu lalu membalikkan badannya dan berdiri memegang mik. Sebagai ketua komunitas yang diundang perusahaan Piter, ia tampak cerdas dalam bertutur kata dan mempesona dalam balutan jilbab lebar yang menambah kesan keibuannya. Wanita itu membawakan sambutan dengan senyum yang terkembang manis. Begitu melihat senyum ini, Piter teringat pertanyaan ibunya tadi pagi. Untuk pertama kali sejak 7 tahun lalu, ada yang kembali hidup di hati Piter setelah lama mengering.
“Permataku yang indah.. kau kembali” lirih Piter hampir berkaca-kaca.
            Piter bergegas duduk disamping ibunya, dikursi terdepan untuk memastikan. Di jari manis wanita itu tiada suatu cincin pun yang terpasang.
“Alhamdulillah bu” lirih Piter
“Alhamdulillah kenapa nak?”
“sudah ketemu bu...”


                                                            TAMAT


Glosarium

Ammaku                      : Ibu saya, dalam bahasa minang
Bisuak kasiko yo          : “Besok kesini ya” dalam bahasa minang
Clubbing                     : Bermain di club malam (diskotik), dalam bahasa inggris
family gathering          : Perkumpulan keluarga, dalam bahasa inggris
Surau                           : Tempat sholat yang tidak sebesar mesjid, dalam bahasa melayu
Secret Admirer            : Pengagum rahasia, dalam bahasa inggris
Wa’ang inda balek      : “kamu tidak pulang” dalam bahasa minang
Wa’ang                        : Kamu, dalam bahasa minang

Note: Cerpen diatas lolos babak penyisihan pada perlombaan "Kepenulisan Sastra" Rektor Cup UMM 2018, dengan tema bebas.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Coffee Break diujung usia Quarter Life Crisis (25)

 Alhamdulillah... menghitung hari akan memasuki usia 26. Rasanya tahun ini sangat berbeda dari tahun sebelumnya, matahari sepertinya sudah j...