Kubuka mata seperti biasanya,
kutarik nafas panjang tanpa jeda, ternyata hari ini masih sama. Matahari masuk
dari sela-sela jendela seukuran tubuhku sendiri, suara berbagai macam binatang
khas desa ini sudah menjadi senandung yang indah untukku. Dengan mata yang
masih sembab karena begadang semalam, kuambil handuk putih yang tergantung
dibelakang pintu, dengan malas-malasan melangkahkan kaki menuju kamar mandi
umum yang jaraknya amat jauh bagi pemuda yang memiliki rasa malas melebihi
apapun sepertiku.
Setelah 30 menit bersiap kukenakan baju
waskat cokelat yang membuatku terjebak di desa ini, kuturuni tangga yang
terbuat dari batang yang dibelah, hampir saja aku terpeleset karna membenci
rutinitasku sendiri. Bangun pagi, bernafas, mengambil handuk, mandi, dan pergi
kerja. Rutinitas yang membosankan, padahal baru dua bulan melalui rutinitas
kerja di pedalaman, bertemankan tekad
untuk segera lepas dari tanggung jawab PNS junior sepertiku. Tak banyak cita-citaku,
hanya berharap bisa kembali hidup dan berkarya dikota besar bukan didesa tak
berkehidupan seperti ini.
“Narai
kabar pak guru?” Sapa ma’ Tuwo yang berhasil menyadarkanku dari lamunan
keresahan pagi ini.
“Selamat
hanjeww ma’Tuwo, bahalap ih” Balasku
sekenanya, berbekal kemampuan bahasa dayak seadanya, hasil belajar mati-matian
selama dua bulan ini.
Perjalanan menuju sekolah yang
jaraknya sekitar 20 menit dengan jalan kaki, biasanya akan kuhadapi dengan berbagai macam cobaan
hidup. Lumpur didekat pohon besar disimpang jalan desa Boh yang membuatku harus
melepas fantopel mengkilap dikakiku, kandang babi Pak Kulo yang baunya semerbak
juga menjadi tantangan terberat yang tak jauh dari genangan lumpur tak
berkesudahan tadi, dan yang terakhir senandung sappe atau alat musik khas
daerah ini yang walaupun terdengar indah tapi sukses membuatku merinding karena
suara itu bak muncul tak bertuan, entah berasal darimana.
“Selamat
hanjeww pak guru” Sapa bu Asih, guru setengah tua yang menemaniku di
sekolah selama ini.
“hanjeww
bu Asih” dengan nada datar kujawab sapanya, berharap tidak ada basa-basi lagi
setelah ini.
Kabupaten Pontianak, Desa Saham,
kecamatan Embaloh Hulu. Daerah yang akan menjadi tempat mengabdiku selama dua
tahun ini, murid disini tak banyak hanya 15 orang. Karena sekolah tempatku
bekerja ini berada jauh dari kecamatan, memakan waktu 2 jam untuk masuk
kedaerahku mengajar. Maklumlah keadaan desa ini masih jauh dari jangkauan
pendidikan, banyak anak-anak yang harusnya mengenyam pendidikan tapi terpaksa
harus mencari uang dengan berburu dihutan dan berkebun. Berkali-kali kuadakan
sosialisasi tentang betapa pentingnya pendidikan pada orangtua mereka, tak
heran hanyalah penolakan dan terkadang makian yang kudapat.
Melihat keadaan sekolah yang masih
sepi, kusempatkan membuka buku milik wanita yang tak pernah kutemui ini, yang
beberapa hari lalu kutemukan terselip di antara tumpukan buku murid-murid.
“Intan?”
Lirihku melihat nama yang tertera disudut buku bersampul cokelat yang pudar
termakan usia.
Buku itu terlihat tak menarik dari
luarnya, setelah kubuka dan mencoba memahami kata demi kata yang hampir
terhapus karena usang akhirnya kusimpulkan bahwa benar ini adalah catatan
harian seseorang, atau umum disebut diary.
Kubaca perlahan, membuatku seolah-olah berada didalam cerita itu.
Senin, 14 September 2015. Hari ini
genap dua bulan aku menjadi seorang guru, rasa bangga tentu terasa walau
muridku tampaknya sangat sedikit dibanding sekolah dikota sana. Aku bangga
menjadi guru seni budaya disekolah pedalaman seperti ini, yang walaupun
kemampuanku tampaknya tak sepadan dengan kemampuan muridku. Hahaha, jujur saja aku
kesepian tapi akan kucoba untuk melalui ini sampai tuntas, lihat saja nanti.
Lores, nama murid kebanggaanku.
Tubuhnya tinggi tapi agak kurus untuk anak seusianya. Lores terlihat garang
tapi amatlah penyayang, pernah kulihat ia memeluk kucing yang sedang terluka
dipinggir jalan. Meyla, murid kesayanganku. Tubuhnya putih khas suku dayak,
wajahnya cantik tak bernoda ditambah lesung pipi manis disudut bibirnya. Ada
sepuluh anak lain yang juga muridku, tapi mereka berdualah yang paling
membekas.
“Pak Anton, anak-anak sudah hadir
semua. Takan Pak” Panggilan bu Asih
menyadarkanku dari lamunan didepan buku ini.
“Ah iya bu, sebentar saya masuk
kelas” Segera kututup diary Intan,
dengan rasa penasaran yang semakin menggebu untuk menyelesaikannya.
Mengajarkan matematika, bahasa
Indonesia, dan beberapa sejarah tentang Indonesia kuakhiri pengajaran hari ini
lebih cepat dari biasanya.
“Selamat
bentuk andau anak-anak, jangan lupa pr nya dikerjakan ya. Hati-hati
dijalan.” Kalimat penutup sederhana tanpa makna yang selalu kulontarkan setiap
kali mengantar mereka ke gerbang sekolah.
Kubuat kopi hitam disudut meja
kantorku, sebagai peneman melanjutkan diary
Intan yang membuatku bergairah untuk mengetahui lebih jauh. Kopi ini tanpa
gula, tapi kurasa selalu lebih manis dari hidupku, kuseruput perlahan dan
membuatku tenggelam dalam tulisan-tulisan penuh makna milik wanita tanpa wujud
ini.
Senin, 20 Januari 2016. Genap
setengah tahun aku mengabdi didesa ini. Tadi pagi kusempatkan bercermin di kamar ma’Tuwo, tak
menyangka diri ini sudah semakin kurus, tirus, dan tak terurus. Hahaha akhirnya
aku berhasil kurus walaupun perlu patah hati dulu. Lets read, selama enam bulan ini aku sudah lama tak menyempatkan
menulis diary lagi. Bukan lupa padamu
diaryku, hanya saja waktuku yang tak
ada. Dua bulan lalu aku melatih anak-anak untuk ikut festival budaya di
Jakarta. Keren kan? Aku gak nyangka mereka bisa mewakili kecamatan, kabupaten,
hingga provinsi untuk bertanding di ibukota. Walaupun tak mudah mematahkan
prinsip ketua adat agar memperbolehkan mereka keluar dari daerah ini untuk
mengikuti lomba.
Banyak pengalaman pahit dan manis tentunya,
kamu tau Dion? Iya pacarku itu, sampai tega memutusiku hanya karena beralasan
aku tidak ada waktu untuknya lagi. Aku kesepian, jujur saja. Dia lupa siapa
yang selalu ada untuknya saat kuliah dulu. Jadi ngelantur nih hehehe, lanjut ke
cerita festival tadi ya. Lores dan Meyla yang jadi tokoh utama dalam teatherku,
kau tau darimana inspirasi itu? saat aku menonton salah satu teather disudut
Kota Bandung bersama Dion beberapa tahun lalu.
Stop! Jangan bahas Dion lagi. Aku
bangga terlahir menjadi anak Indonesia, menjadi seorang guru, apalagi seorang
guru seni seperti sekarang ini. Indonesia memiliki ribuan pulau, ribuan suku,
dan jutaan manusia. Bukankah hanya di Indonesia kau bisa menemukan apa itu
damai dalam keberagaman? Apa itu mencintai budaya sendiri? Indonesiaku
sederhana dan apa adanya. Mengabdi di pedalaman desa embaloh hulu, mengajari
murid-murid yang luar biasa, dan membantu mereka mengenal negaranya sendiri
bahkan dunia. Menyadarkan mereka bahwa dunia bukan hanya sekedar hutan dan
kebun, bahwa hidup bukan hanya sekedar makan apa kita hari ini?, tapi hidup
adalah tentang mimpi, tentang luasnya Indonesia ini, betapa indahnya berbagai
budaya yang ada didalamnya. Ahh aku sendiri baper
menuliskan ini, belum sempat kuceritakan tentang festival tapi obor penerang
rumah kami sudah harus dimatikan pertanda waktu tidur malam ini. Akan
kulanjutkan besok yaa? Selamat tidur diaryku.
“Pak Anton tidak pulang? Sudah jam
makan siang pak, mari makan dengan saya diwarung ma’tuwo” Lagi-lagi sapa bu
Asih menyadarkanku dari buku diary
ini.
“Oh iya bu, silahkan duluan saja bu.
Saya makan di rumah betang pak Uno saja bu.” Alasan penolakanku karena sedang
malas untuk berbincang lebih jauh.
“Wah enaknya Pak Anton punya
orangtua asuh seperti pan Uno ya, baik hati. Saya duluan ya pak”
Pak Uno memang baik hati karena
mengizinkan guru bujangan sepertiku untuk tinggal disalah satu kamarnya. Rumah
betang pak Uno adalah satu dari tiga rumah betang yang terhitung paling besar
di desa ini. Rumah yang merupakan pusat kebudayaan dan aktivitas masyarakat
dayak. Yang mana merupakan simbol kebersamaan, kesetaraan, dan hidup gotong
royong. Tidak ada kesenjangan hidup bagi masyarakat, semua berhak memiliki
hidup yang lebih baik. Rumah ini adalah tempat dimana segala cinta dan
kehangatan bermuara, walaupun aku sendiri belum merasakannya.
Dengan air yang masih menetes dari
rambutku sisa mandi sore ini, kuambil baju kaos putih dan celana bola warna
biru yang menjadi andalanku. Kutekadkan niat hari ini untuk menyelesaikan buku
diary tanpa pemilik ini.
“Pokoknya
harus selesai malam ini juga, harus, kudu, mesti.” Ucapku bermonolog pada diri
sendiri.
Kubuat kopi hitam tanpa gula untuk
menemani senja menuju malamku bersama diary lusuh ini. Senandung sappe
bertalun-talun menambah senja ini semakin mencekam, tidak indah sama sekali
pikirku. Senja didesa ini selalu diiringi dengan alunan sappe yang merupakan
alat musik khas dayak, tidak ada azan maghrib yang biasa kudengar dirumah,
maklumlah daerah ini umat muslim sangatlah minoritas.
Kuambil posisi ternyaman disudut
kamar, ditemani pencahayaan seadanya dari lampu minyak tanah, kubuka diary
lusuh yang tidak begitu tebal. Karena bertekad menyelesaikannya malam ini juga,
aku memilih untuk membukanya dari tengah buku. Tak peduli bagaimana kelanjutan
kisah tadi.
“Kenapa selalu menulis di hari senin?” tanyaku
dalam hati setelah membuka halaman ini.
Senin, 24 Juli 2016. Genap setahun
aku disini. Jujur aku takut, aku takut masa kerjaku didesa ini habis. Lores dan
Meylan sudah semakin luar biasa dalam memainkan peran, Candra dan Vivi semakin
lincah memainkan jari mereka diatas kanvas, dan suara merdua Piter sukses
membuatku menangis haru mendengarnya menyanyi. Awalnya aku tidak menyangka
anak-anak dipedalaman seperti ini memiliki kemampuan yang luar biasa, aku takut
meninggalkan mereka.
Aku menceritakan bagaimana
sebenarnya dunia diluar sana, mata mereka tampak berbinar mendengarkanku
bercerita. Aku bercerita tentang apa itu internet, bagaimana internet mampu
membuat dunia terasa bagai dalam genggaman. Bagaimana internet mampu membeli
waktu, bahkan memberimu uang tanpa perlu repot berburu dan berkebun, hanya perlu bercerita dan tertawa didepan
kamera dan mengunggahnya di youtube. Mereka terkagum-kagum sampai kesulitan
bernafas karena tak hentinya bertanya padaku.
Aku menceritakan bagaimana pesawat
dan kereta api mampu mengantarkanmu ketempat terjauh sekalipun didunia ini.
Dengan segala rupa dan sifat manusia, dengan segala macam musim, dan adat
istiadat yang berbeda. Mengajarkan pada mereka bahwa dunia ini luas, tak hanya
alat musik sappe yang ada, tak hanya rumah betang yang bisa mereka lihat, dan
tak hanya menjadi pemburu serta petani kebun yang bisa mereka lakukan.
“Tapi ketua adat tidak membolehkan
kami keluar dari daerah ini bu, budaya disini harus dipertahankan kan?” sanggah
Lores memutuskan cerita panjangku.
Desa ini indah namun menyedihkan,
aku berusaha keras membuat anak-anak ini bermimpi. Sekolah setinggi-tingginya
dan melakukan perubahan pada desa mereka. Menjadi insinyur, dokter, guru dan
apapun yang mereka impikan. Tapi larangan adat didesa ini sukses membuatku tak
tau harus melakukan apa dan hanya bisa memberikan keyakinan-keyakinan yang
entah akan mereka terima atau tidak.
Kubuka halaman jauh dibelakang untuk
melihat cerita apa yang terjadi selanjutnya pada guru luarbiasa ini.
Senin, 20 Januari 2017. Lores sudah
satu bulan ini tidak pernah lagi pergi kesekolah, Meylan kehilangan partner
theater nya. Aku kecewa, jujur saja. Ayah Lores melarangnya melanjutkan sekolah
karena tau aku mengajari mereka untuk terus bermimpi, jangan hanya mau menjadi
pemburu dihutan, tapi harus membuat perubahan pada desa dan sekolah keluar dari
desa ini, sejauh-jauhnya. Walaupun aku tau hal ini bertentangan dengan
adat-istiadat yang ada disini.
Beberapa kali kucoba mendatangi
rumah betang Lores, membujuk orangtuanya agar memberikan kesempatan pada anak
mereka setidaknya untuk menamatkan SD. Lagi-lagi penolakan yang kuterima, Lores
diharuskan membantu orangtuanya dikebun karena dia anak laki-laki pertama dalam
keluarga.
Setelah perginya Lores, semangatku
untuk mengajar hampir pudar. Ditambah lagi anak-anak yang lain juga ikut-ikutan
sering bolos sekolah demi membantu orang tua mereka. Aku memang tidak berhak
melarang mereka, tapi untuk kecewa aku berhak bukan? Apa salah jika aku
bermimpi anak-anak dipedalaman seperti mereka harus bercita-cita tinggi? Apa
salah jika aku bermimpi anak-anak seperti mereka harus mencintai budaya mereka
sendiri tanpa dibatasi oleh ketentuan adat-istiadat yang tak jelas
asal-muasalnya. Maaf mungkin terkesan kasar, tapi aku benci aturan ini. Apa
salahnya sekolah setinggi-tingginya? Dikota besar, di kota yang memberikan
banyak pelajaran bahkan di negara lain? Apa salahnya?. Aku ingin mereka
mendapatkan hak yang sama dengan anak-anak dikota, mengenyam pendidikan tinggi
dan bebas berkarya dimanapun. Bagaimana bisa maju jika tetap dikampung halaman,
air yang mengalir jernih tak akan keruh menggenang kan? Singa pun tak akan
dapat mangsa jika tetap didalam kandang. Bukankah anak panah tak akan sampai
pada sasaran jika tetap pada busur nya?.
“Ahh kok mati sih? Dikit lagi loh
ini” makiku kesal pada lampu atau apalah ini. Membuatku berhenti membaca diary
Intan.
Lampu didekatku tiba-tiba mati.
Kuperiksa dengan saksama, ternyata minyak tanahnya habis. Kubuka laci meja
disudut kamarku, terlihat senter hitam peninggalan bapak yang diselipkan
ditasku saat pergi kedesa ini. Ternyata barang tua ini berguna juga, pikirku. Segera kunyalakan senter dan
kulanjutkan membaca diary Intan yang semakin membuat penasaran.
Senin, 5 Juli 2017. Alhamdulillah,
genap sudah masa dinasku dua tahun didesa ini. Tak banyak kata yang kuucapkan
kali ini. Terimakasih desa indah penuh cerita, selamat tinggal murid-murid
kebanggaanku yang mimpinya terenggut oleh adat-istiadat tak bertuan.
Kutinggalkan diary ini dengan berharap ada seseorang disana yang akan membacanya
dan membantuku mengubah semua ini.
Setelah ini aku akan pergi jauh,
mungkin mengajar mungkin juga hanya menjadi ibu rumah tangga dan mengurus
anak-anakku dirumah. Dion minggu lalu melamarku, ternyata kami tidak bisa hidup
berjauhan. Cinta itu masih ada. See you
diary ku.
“akhir apa ini? Gak jelas banget
endingnya” ada yang lain dihatiku saat membaca ternyata Intan memilih pergi
dari desa ini bukan hanya karena masa dinasnya habis, tapi karena pernikahan
dengan Dion mantan pacarnya itu.
Lama aku merenung sambil merebahkan
diri dikasur tipis pemberian pak Uno, sambil menatap langit-langit kamar yang
tidak kunjung berubah. Gelap, suram dan berdebu. Kutarik kesimpulan bahwa Intan
adalah guru yang luar biasa, yang bukan hanya mengajar pelajaran sepertiku tapi
juga mengajarkan arti hidup pada murid-muridnya, hal yang belum kumiliki hingga
saat ini. Kubulatkan tekad, berjanji pada diri sendiri serta negara ini bahwa
aku akan membantu Intan mewujudkan mimpinya terhadap anak-anak pedalaman ini, aku
akan membuktikan bahwa adat-istiadat yang membatasi anak-anak ini menggapai
mimpinya akan segera kuhilangkan, budaya lama yang memang dicintai orang-orang
didesa ini tapi perlahan juga akan mematikan kemajuan bagi mereka. Aku akan
memperbaikinya.
Malam ini adalah malam terbaik
sepanjang hidupku, akhirnya kutemukan tujuanku didesa ini. Bukan sekedar
mengajar tapi memberikan perubahan pada daerah yang tak tersentuh oleh kemajuan
ini. Setelah sekian lama tak meminta pertolongan, akhirnya terucap juga.
“Ya Allah.. mudahkan hambamu untuk
bermanfaat bagi orang banyak. Bantu aku menjadi hambamu yang taat ya Allah”
Doa singkat tadi seperti bahan bakar
yang membakar semangatku untuk hidup lebih baik, merindukan mesjid dan segala
aktivitas didalamnya tentu kurasakan. Jujur saja selama aku ditugaskan didesa
ini, belum sekalipun aku bersujud pada Tuhanku sendiri. Alasannya sederhana,
aku merasa Tuhan tak mendengar doaku dengan mengasingkanku didesa tak
berkehidupan seperti ini. Selama ini aku melihat tapi tidur dari kebenaran, aku
menatap tapi buta dari kebaikan, lalai demi lalai kulakukan tapi berharap surga
sebagai balasannya. Bukankah Tuhan maha pemaaf? Ya aku percaya itu.
Pagi ini aku tidak mengajar
digantikan oleh Bu Asih, demi pergi kerumah ketua adat dan membicarakan masa
depan desa ini.
“Selamat hanjeww pak Alu” Sapaku dari
depan pintu rumah betangnya yang berukiran sarat makna.
“Hei
pak guru kita, hanjeww hanjeww” Balas
pak Alu dari dalam rumahnya. Pak Alu adalah orang yang bersemangat dan
antusias, terlihat dari wajahnya yang tidak tua termakan usia.
Tanpa basa-basi kuajak pak Alu
membicarakan tentang maksudku kerumahnya. Membicarakan tentang perkembangan
anak-anak murid disekolah. Kuceritakan tentang mimpi anak-anak berdasarkan
cerita dibuku Intan, walaupun aku tak pernah mendengar langsung dari anak-anak
itu sendiri. Awalnya pak Alu sangat antusias, lama-kelamaan mimik wajahnya
menjadi menyeramkan dan tak hangat seperti tadi. Aku memilih menyudahi
perbincangan ini dan mencari cara lain untuk meruntuhkan prinsip pak Alu.
Kulalui hari-hari berikutnya dengan
semangat yang sama. Belajar dari buku Intan, kuberikan anak-anak pedalaman ini
semangat motivasi yang lebih berapi-api, yang tak hanya membuat mereka
kesulitan bernafas karena antusias bertanya tapi juga membuat mereka tak
berkedip ketika aku menggambarkan bagaimana mempesona nya budaya diluarsana. Bagaimana
tari bebilin dari Kalimantan Utara yang berasal dari cerita rakyat mengerikan,
bagaimana lagu suwe ora jamu yang sarat akan makna, dan bagaimana budaya-budaya
lain yang juga mempesona bukan hanya untuk diketahui tapi dirasakan langsung.
Akhirnya Lores kembali ke sekolah
setelah kuberikan pilihan pada orangtuanya. Aku menawarkan bibit unggul yang
tidak sedikit untuk perkebunan mereka, yang kuambil dari teman dikota. Dengan
imbalan Lores harus kembali kesekolah. Tak lain dan tak bukan, orangtuanya
melepaskan Lores dengan setulus hati.
Setelah melakukan pendekatan dengan
Pak Alu karena sering membantunya berburu diakhir pekan, berbagi cerita dan
pengalaman dengannya. Membuat Pak Alu sedikit demi sedikit luluh padaku. Ia
mulai antusias jika kubahas tentang betapa majunya Indonesia sekarang ini,
betapa dunia menjanjikan perubahan yang luar biasa pada kehidupan manusia,
bagaimana kita tidak perlu susah-susah mencari bibit unggul sendiri karena
dikota sudah banyak teknik pertanian yang maju, bagaimana kita tak perlu susah
payah berburu hanya dengan senjata tradisional, dan bagaimana indahnya budaya
diluar sana selain alat musik sappe yang biasa dimainkan Pak Alu. Melihat
perkembangan ini, aku yakin kemajuan desa ini sudah didepan mata.
“Pak guru bara kueh? Besok dipanggil Pak Alu kerumah betang.” Sapa ma’Tuwo
saat aku baru pulang dari rumah Lores mengantarkan bibit yang kujanjikan.
“Dari rumah Lores ma’. Terimakasih
ma’ sudah disampaikan.” Apakah ini pertanda baik, pikirku dalam hati.
Sampai dirumah pak Alu dengan rasa
hati yang tak karuan, kuambil posisi duduk disudut ruang tamu yang cukup luas
itu. Entah akan siap dengan keputusan pak Alu atau tidak.
“Ada apa bapak memanggil saya
kesini?” Tanyaku dengan jantung yang hampir berhenti karena lelah berdetak
kencang dari tadi.
“Saya sudah memikirkan saran pak
guru selama ini, saya sudah berpikir panjang dan diskusi dengan semua tokoh
adat. Dengarkan saya bercerita sedikit, saya lahir dari ibu dan bapak asli suku
pedalaman disini, saya dibesarkan dengan ayah yang keras tanpa ampun. Berburu dan
berkebun adalah satu-satunya pekerjaan untuk kami. Ayah saya juga ketua adat
disini sebelum akhirnya ia meninggal karena obat yang didapat dari kota. Kau
tau kan obat apa yang membuat manusia gila dan melupakan tuhannya? Obat yang
kejam, merenggut nyawa, serta harapan setiap orang yang memakannya. Masa remajaku
diisi dengan melihat ayah yang sakaw disudut rumah karena kehabisan obat, ibu
yang pergi kesana-kemari mencari uang demi membelikan barang haram itu hanya
agar ayah tidak kesakitan. Kami bodoh, kami tak tau obat itu adalah cara paling
cepat memanggil malaikat maut.” Pak Alu menceritakan dengan mata berkaca-kaca.
“saya pernah punya cita-cita, saya
ingin sekolah tinggi tapi desa kami belum tersentuh pendidikan saat itu. Saya
pernah punya cita-cita menjadi dokter yang bisa menyembuhkan orang banyak
termasuk sakit ayah yang saya kira adalah penyakit. Melihat betapa kejamnya
pengaruh narkoba yang membunuh ayah. Hal itu membuat saya sebagai penerusnya
yang kala itu beranjak dewasa, memutuskan untuk menghentikan segala aktivitas
yang berhubungan dengan dunia luar, dunia selain desa kami. Saya benci kota,
tak ada satupun anak yang boleh sekolah keluar desa kami, kalaupun itu terjadi
ia tak akan boleh lagi menginjak desa ini selama-lamanya, meninggalkan semua
keluarga dan rumahnya.” Cerita pak Alu seakan tanpa jeda, disertai mimik kecewa
sedih dan marah yang menjadi satu.
“Tapi kota tidak semua berpengaruh
jahat pak, segala kebaikan juga bisa kita temukan disana.”
“Diam. Saya belum selesai. Setelah
saya berpikir dan mengenal guru sepertimu dan Intan. Pikiran saya terbuka agar
anak-anak didesa ini bisa menggapai mimpinya. Saya tau tidak selamanya diluar
sana bisa berdampak buruk untuk desa ini, karena desa juga tak selamanya
berdampak baik pada mereka. Segenap hati saya serahkan mimpi anak-anak itu
dipundakmu, bantulah mereka menggapainya, kenalkan mereka pada dunia yang luas
ini pada budaya yang beraneka ragam di Indonesia, ajarkan mereka untuk
mencintai budayanya tanpa harus dibatasi oleh keterbatasan. Bantu dia pak guru”
Pak Alu mengakhiri cerita panjangnya dengan senyum tipis disudut bibirnya,
sambil menepuk pundakku yang dari tadi terdiam tanpa sanggup berkata-kata.
Hari-hariku didesa ini semakin
menyenangkan, kami dihadapi dengan berbagai kompetisi dikota. Kompetisi budaya
maupun pengetahuan. Tidak lama lagi untuk kedua kalinya Lores dan Meyla akan
pergi ke Jakarta menghapi festival budaya. Hari ini, besok, dan seterusnya akan
kutanamkan pada mereka bahwa mereka semua sama dengan anak lainnya. Tak peduli berasal
darimana, bersuku apa, berkududukan apa, mereka semua sama. Anak Indonesia yang
berhak untuk menggapai mimpinya.
Kepergian ke Jakarta kuniatkan
memang untuk membimbing Lores dan Meyla di festival, tapi disamping itu
terselip tanda tanya kecil dihatiku, dimana Intan?. Mendengar kabar dari ma’
Tuwo bahwa Intan sekarang mengajar seni disalah satu sekolah dasar di Jakarta,
membuatku semakin semangat untuk membawa Lores dan Meyla kesana. Berharap
bertemu dengan wanita yang kukagumi dari tulisan-tulisan singkatnya.
Penampilan Lores dan Meylan luar
biasa, diluar ekspektasiku. Mereka tampil bak pemeran profesional yang
berpengalaman.
“Bapak
ketemu panitia dulu ya, kalian tunggu disini sambil tunggu pengumumannya. Oke?”
“Iya
pak” jawab Meyla dan Lores berbarengan.
Setelah sepuluh menit kutinggalkan
mereka diantara kursi penonton, kulihat dari jauh Lores dan Meyla tampak asik
berbincang dengan seorang wanita yang berkali-kali menepuk pundak mereka.
Tampak punggung mereka bergoyang-goyang karena gelak tawa tanpa henti seperti
orang yang lama sekali tak berjumpa.
“Akrab
sekali?” lirihku sambil menghampiri mereka.
“Pak
Anton, ini guru kami. Bu Intan, cantikkan pak?” Ucap Lores yang sadar aku daritadi
memperhatikan mereka.
“Oh
ini Pak Anton, selamat ya pak sudah berhasil bawa anak-anak kesini. Gak nyangka
bisa ketemu mereka disini, bagaimana bukunya Pak?” Bu Intan menatap Anton
dengan tatapan penuh rasa kagum.
“bukunya
ada kok bu, ada.” Jawab Anton singkat disertai jantung yang berdetak kencang
seperti orang yang tlah lama kehilangan sesuatu lalu menemukannya lagi.
Perbincangan kami terus berlanjut,
menceritakan betapa lucunya kebiasaan ma’Tuwo, betapa menyedihkannya masa lalu
Pak Alu, dan bagaimana anak-anak kini bisa menggambarkan mimpi mereka
masing-masing. Dan tentunya bagaimana kisah dibalik perjuanganku menyelesaikan
diary Intan.
“Dion
apakabar bu?” Pertanyaan singkatku terlontar begitu saja.
“Oh
dia, sudah tidak ada kabarnya pak. Diary saya belum sempat terselesaikan, malah
sudah ditemukan orang lain”
“Boleh
saya yang menyelesaikannya?” Pertanyaan bodoh macam apa ini, tiba-tiba saja
terlontar, saat aku memastikan tidak ada satu cincin pun yang tersemat dijari
Intan.
“Kita
selesaikan sama-sama”
Beberapa bulan kemudian Intan pindah
tugas kembali ke desa embaloh hulu bersama Anton. Merajut rumah tangga dan
mewujudkan mimpi mereka untuk membangun sekolah disana lebih maju dan
menjadikan anak-anak menjadi pioneer perubahan untuk desa hingga negara mereka.
Anton semakin percaya bahwa takdir tuhan tidak pernah salah dan keberadaannya
didesa pun pasti punya maksud, menemukan belahan jiwanya misalnya. Walaupun
Anton dan Intan berasal dari tanah jawa, mereka tetap bertekad memajukan
sekolah di pedalaman kalimantan ini. Karena tak peduli apa sukunya, darimana ia
berasal, bagaimana kebudayaannya. Kita tetap satu, Indonesia.
TAMAT
GLOSARIUM
Diary = buku harian dalam
bahasa inggris
Narai
kabar = Apa kabar, dalam
bahasa dayak.
Bahalap
ih = Baik, dalam bahasa dayak
Selamat
hanjeww = Selamat pagi, dalam
bahasa dayak
Selamat
bentuk andeu = Selamat siang, dalam bahasa
dayak
Sappe = Alat musik khas suku
dayak
Takan = silahkan, dalam
bahasa dayak
Bara
kueh = darimana, dalam
bahasa dayak
Rumah
betang = Rumah khas suku
dayak, memanjang kebelakang dengan kolong rumah yang tinggi. Berukuran sangat
luas yang diisi oleh satu keluarga besar.
Pusat segala aktivitas masyarakat. Sekarang keberadaannya mulai
jarang dikalimantan itu sendiri.
Note: Cerpen diatas meraih juara 1 pada babak final "Kepenulisan sastra" Rektor Cup UMM 2018, dengan tema "Cinta budaya"