Sabtu, 07 April 2018

Melawan arus #Cerpen5




            Kubuka mata seperti biasanya, kutarik nafas panjang tanpa jeda, ternyata hari ini masih sama. Matahari masuk dari sela-sela jendela seukuran tubuhku sendiri, suara berbagai macam binatang khas desa ini sudah menjadi senandung yang indah untukku. Dengan mata yang masih sembab karena begadang semalam, kuambil handuk putih yang tergantung dibelakang pintu, dengan malas-malasan melangkahkan kaki menuju kamar mandi umum yang jaraknya amat jauh bagi pemuda yang memiliki rasa malas melebihi apapun sepertiku.
            Setelah 30 menit bersiap kukenakan baju waskat cokelat yang membuatku terjebak di desa ini, kuturuni tangga yang terbuat dari batang yang dibelah, hampir saja aku terpeleset karna membenci rutinitasku sendiri. Bangun pagi, bernafas, mengambil handuk, mandi, dan pergi kerja. Rutinitas yang membosankan, padahal baru dua bulan melalui rutinitas kerja di pedalaman,  bertemankan tekad untuk segera lepas dari tanggung jawab PNS junior sepertiku. Tak banyak cita-citaku, hanya berharap bisa kembali hidup dan berkarya dikota besar bukan didesa tak berkehidupan seperti ini.
            Narai kabar pak guru?” Sapa ma’ Tuwo yang berhasil menyadarkanku dari lamunan keresahan pagi ini.
            Selamat hanjeww ma’Tuwo, bahalap ih” Balasku sekenanya, berbekal kemampuan bahasa dayak seadanya, hasil belajar mati-matian selama dua bulan ini.
            Perjalanan menuju sekolah yang jaraknya sekitar 20 menit dengan jalan kaki, biasanya  akan kuhadapi dengan berbagai macam cobaan hidup. Lumpur didekat pohon besar disimpang jalan desa Boh yang membuatku harus melepas fantopel mengkilap dikakiku, kandang babi Pak Kulo yang baunya semerbak juga menjadi tantangan terberat yang tak jauh dari genangan lumpur tak berkesudahan tadi, dan yang terakhir senandung sappe atau alat musik khas daerah ini yang walaupun terdengar indah tapi sukses membuatku merinding karena suara itu bak muncul tak bertuan, entah berasal darimana.
            Selamat hanjeww pak guru” Sapa bu Asih, guru setengah tua yang menemaniku di sekolah selama ini.
            hanjeww bu Asih” dengan nada datar kujawab sapanya, berharap tidak ada basa-basi lagi setelah ini.
           
            Kabupaten Pontianak, Desa Saham, kecamatan Embaloh Hulu. Daerah yang akan menjadi tempat mengabdiku selama dua tahun ini, murid disini tak banyak hanya 15 orang. Karena sekolah tempatku bekerja ini berada jauh dari kecamatan, memakan waktu 2 jam untuk masuk kedaerahku mengajar. Maklumlah keadaan desa ini masih jauh dari jangkauan pendidikan, banyak anak-anak yang harusnya mengenyam pendidikan tapi terpaksa harus mencari uang dengan berburu dihutan dan berkebun. Berkali-kali kuadakan sosialisasi tentang betapa pentingnya pendidikan pada orangtua mereka, tak heran hanyalah penolakan dan terkadang makian yang kudapat.
            Melihat keadaan sekolah yang masih sepi, kusempatkan membuka buku milik wanita yang tak pernah kutemui ini, yang beberapa hari lalu kutemukan terselip di antara tumpukan buku murid-murid.
“Intan?” Lirihku melihat nama yang tertera disudut buku bersampul cokelat yang pudar termakan usia.
            Buku itu terlihat tak menarik dari luarnya, setelah kubuka dan mencoba memahami kata demi kata yang hampir terhapus karena usang akhirnya kusimpulkan bahwa benar ini adalah catatan harian seseorang, atau umum disebut diary. Kubaca perlahan, membuatku seolah-olah berada didalam cerita itu.
            Senin, 14 September 2015. Hari ini genap dua bulan aku menjadi seorang guru, rasa bangga tentu terasa walau muridku tampaknya sangat sedikit dibanding sekolah dikota sana. Aku bangga menjadi guru seni budaya disekolah pedalaman seperti ini, yang walaupun kemampuanku tampaknya tak sepadan dengan kemampuan muridku. Hahaha, jujur saja aku kesepian tapi akan kucoba untuk melalui ini sampai tuntas, lihat saja nanti.
            Lores, nama murid kebanggaanku. Tubuhnya tinggi tapi agak kurus untuk anak seusianya. Lores terlihat garang tapi amatlah penyayang, pernah kulihat ia memeluk kucing yang sedang terluka dipinggir jalan. Meyla, murid kesayanganku. Tubuhnya putih khas suku dayak, wajahnya cantik tak bernoda ditambah lesung pipi manis disudut bibirnya. Ada sepuluh anak lain yang juga muridku, tapi mereka berdualah yang paling membekas.
            “Pak Anton, anak-anak sudah hadir semua. Takan Pak” Panggilan bu Asih menyadarkanku dari lamunan didepan buku ini.
            “Ah iya bu, sebentar saya masuk kelas” Segera kututup diary Intan, dengan rasa penasaran yang semakin menggebu untuk menyelesaikannya.
            Mengajarkan matematika, bahasa Indonesia, dan beberapa sejarah tentang Indonesia kuakhiri pengajaran hari ini lebih cepat dari biasanya.
            Selamat bentuk andau anak-anak, jangan lupa pr nya dikerjakan ya. Hati-hati dijalan.” Kalimat penutup sederhana tanpa makna yang selalu kulontarkan setiap kali mengantar mereka ke gerbang sekolah.
            Kubuat kopi hitam disudut meja kantorku, sebagai peneman melanjutkan diary Intan yang membuatku bergairah untuk mengetahui lebih jauh. Kopi ini tanpa gula, tapi kurasa selalu lebih manis dari hidupku, kuseruput perlahan dan membuatku tenggelam dalam tulisan-tulisan penuh makna milik wanita tanpa wujud ini.
            Senin, 20 Januari 2016. Genap setengah tahun aku mengabdi didesa ini. Tadi pagi  kusempatkan bercermin di kamar ma’Tuwo, tak menyangka diri ini sudah semakin kurus, tirus, dan tak terurus. Hahaha akhirnya aku berhasil kurus walaupun perlu patah hati dulu. Lets read, selama enam bulan ini aku sudah lama tak menyempatkan menulis diary lagi. Bukan lupa padamu diaryku, hanya saja waktuku yang tak ada. Dua bulan lalu aku melatih anak-anak untuk ikut festival budaya di Jakarta. Keren kan? Aku gak nyangka mereka bisa mewakili kecamatan, kabupaten, hingga provinsi untuk bertanding di ibukota. Walaupun tak mudah mematahkan prinsip ketua adat agar memperbolehkan mereka keluar dari daerah ini untuk mengikuti lomba.
            Banyak pengalaman pahit dan manis tentunya, kamu tau Dion? Iya pacarku itu, sampai tega memutusiku hanya karena beralasan aku tidak ada waktu untuknya lagi. Aku kesepian, jujur saja. Dia lupa siapa yang selalu ada untuknya saat kuliah dulu. Jadi ngelantur nih hehehe, lanjut ke cerita festival tadi ya. Lores dan Meyla yang jadi tokoh utama dalam teatherku, kau tau darimana inspirasi itu? saat aku menonton salah satu teather disudut Kota Bandung bersama Dion beberapa tahun lalu.
            Stop! Jangan bahas Dion lagi. Aku bangga terlahir menjadi anak Indonesia, menjadi seorang guru, apalagi seorang guru seni seperti sekarang ini. Indonesia memiliki ribuan pulau, ribuan suku, dan jutaan manusia. Bukankah hanya di Indonesia kau bisa menemukan apa itu damai dalam keberagaman? Apa itu mencintai budaya sendiri? Indonesiaku sederhana dan apa adanya. Mengabdi di pedalaman desa embaloh hulu, mengajari murid-murid yang luar biasa, dan membantu mereka mengenal negaranya sendiri bahkan dunia. Menyadarkan mereka bahwa dunia bukan hanya sekedar hutan dan kebun, bahwa hidup bukan hanya sekedar makan apa kita hari ini?, tapi hidup adalah tentang mimpi, tentang luasnya Indonesia ini, betapa indahnya berbagai budaya yang ada didalamnya. Ahh aku sendiri baper menuliskan ini, belum sempat kuceritakan tentang festival tapi obor penerang rumah kami sudah harus dimatikan pertanda waktu tidur malam ini. Akan kulanjutkan besok yaa? Selamat tidur diaryku.
            “Pak Anton tidak pulang? Sudah jam makan siang pak, mari makan dengan saya diwarung ma’tuwo” Lagi-lagi sapa bu Asih menyadarkanku dari buku diary ini.
            “Oh iya bu, silahkan duluan saja bu. Saya makan di rumah betang pak Uno saja bu.” Alasan penolakanku karena sedang malas untuk berbincang lebih jauh.
            “Wah enaknya Pak Anton punya orangtua asuh seperti pan Uno ya, baik hati. Saya duluan ya pak”
            Pak Uno memang baik hati karena mengizinkan guru bujangan sepertiku untuk tinggal disalah satu kamarnya. Rumah betang pak Uno adalah satu dari tiga rumah betang yang terhitung paling besar di desa ini. Rumah yang merupakan pusat kebudayaan dan aktivitas masyarakat dayak. Yang mana merupakan simbol kebersamaan, kesetaraan, dan hidup gotong royong. Tidak ada kesenjangan hidup bagi masyarakat, semua berhak memiliki hidup yang lebih baik. Rumah ini adalah tempat dimana segala cinta dan kehangatan bermuara, walaupun aku sendiri belum merasakannya.
            Dengan air yang masih menetes dari rambutku sisa mandi sore ini, kuambil baju kaos putih dan celana bola warna biru yang menjadi andalanku. Kutekadkan niat hari ini untuk menyelesaikan buku diary tanpa pemilik ini.
“Pokoknya harus selesai malam ini juga, harus, kudu, mesti.” Ucapku bermonolog pada diri sendiri.
            Kubuat kopi hitam tanpa gula untuk menemani senja menuju malamku bersama diary lusuh ini. Senandung sappe bertalun-talun menambah senja ini semakin mencekam, tidak indah sama sekali pikirku. Senja didesa ini selalu diiringi dengan alunan sappe yang merupakan alat musik khas dayak, tidak ada azan maghrib yang biasa kudengar dirumah, maklumlah daerah ini umat muslim sangatlah minoritas.
            Kuambil posisi ternyaman disudut kamar, ditemani pencahayaan seadanya dari lampu minyak tanah, kubuka diary lusuh yang tidak begitu tebal. Karena bertekad menyelesaikannya malam ini juga, aku memilih untuk membukanya dari tengah buku. Tak peduli bagaimana kelanjutan kisah tadi.
             “Kenapa selalu menulis di hari senin?” tanyaku dalam hati setelah membuka halaman ini.
            Senin, 24 Juli 2016. Genap setahun aku disini. Jujur aku takut, aku takut masa kerjaku didesa ini habis. Lores dan Meylan sudah semakin luar biasa dalam memainkan peran, Candra dan Vivi semakin lincah memainkan jari mereka diatas kanvas, dan suara merdua Piter sukses membuatku menangis haru mendengarnya menyanyi. Awalnya aku tidak menyangka anak-anak dipedalaman seperti ini memiliki kemampuan yang luar biasa, aku takut meninggalkan mereka.
            Aku menceritakan bagaimana sebenarnya dunia diluar sana, mata mereka tampak berbinar mendengarkanku bercerita. Aku bercerita tentang apa itu internet, bagaimana internet mampu membuat dunia terasa bagai dalam genggaman. Bagaimana internet mampu membeli waktu, bahkan memberimu uang tanpa perlu repot berburu dan berkebun,  hanya perlu bercerita dan tertawa didepan kamera dan mengunggahnya di youtube. Mereka terkagum-kagum sampai kesulitan bernafas karena tak hentinya bertanya padaku.
            Aku menceritakan bagaimana pesawat dan kereta api mampu mengantarkanmu ketempat terjauh sekalipun didunia ini. Dengan segala rupa dan sifat manusia, dengan segala macam musim, dan adat istiadat yang berbeda. Mengajarkan pada mereka bahwa dunia ini luas, tak hanya alat musik sappe yang ada, tak hanya rumah betang yang bisa mereka lihat, dan tak hanya menjadi pemburu serta petani kebun yang bisa mereka lakukan.
            “Tapi ketua adat tidak membolehkan kami keluar dari daerah ini bu, budaya disini harus dipertahankan kan?” sanggah Lores memutuskan cerita panjangku.
            Desa ini indah namun menyedihkan, aku berusaha keras membuat anak-anak ini bermimpi. Sekolah setinggi-tingginya dan melakukan perubahan pada desa mereka. Menjadi insinyur, dokter, guru dan apapun yang mereka impikan. Tapi larangan adat didesa ini sukses membuatku tak tau harus melakukan apa dan hanya bisa memberikan keyakinan-keyakinan yang entah akan mereka terima atau tidak.
            Kubuka halaman jauh dibelakang untuk melihat cerita apa yang terjadi selanjutnya pada guru luarbiasa ini.
            Senin, 20 Januari 2017. Lores sudah satu bulan ini tidak pernah lagi pergi kesekolah, Meylan kehilangan partner theater nya. Aku kecewa, jujur saja. Ayah Lores melarangnya melanjutkan sekolah karena tau aku mengajari mereka untuk terus bermimpi, jangan hanya mau menjadi pemburu dihutan, tapi harus membuat perubahan pada desa dan sekolah keluar dari desa ini, sejauh-jauhnya. Walaupun aku tau hal ini bertentangan dengan adat-istiadat yang ada disini.
            Beberapa kali kucoba mendatangi rumah betang Lores, membujuk orangtuanya agar memberikan kesempatan pada anak mereka setidaknya untuk menamatkan SD. Lagi-lagi penolakan yang kuterima, Lores diharuskan membantu orangtuanya dikebun karena dia anak laki-laki pertama dalam keluarga.
            Setelah perginya Lores, semangatku untuk mengajar hampir pudar. Ditambah lagi anak-anak yang lain juga ikut-ikutan sering bolos sekolah demi membantu orang tua mereka. Aku memang tidak berhak melarang mereka, tapi untuk kecewa aku berhak bukan? Apa salah jika aku bermimpi anak-anak dipedalaman seperti mereka harus bercita-cita tinggi? Apa salah jika aku bermimpi anak-anak seperti mereka harus mencintai budaya mereka sendiri tanpa dibatasi oleh ketentuan adat-istiadat yang tak jelas asal-muasalnya. Maaf mungkin terkesan kasar, tapi aku benci aturan ini. Apa salahnya sekolah setinggi-tingginya? Dikota besar, di kota yang memberikan banyak pelajaran bahkan di negara lain? Apa salahnya?. Aku ingin mereka mendapatkan hak yang sama dengan anak-anak dikota, mengenyam pendidikan tinggi dan bebas berkarya dimanapun. Bagaimana bisa maju jika tetap dikampung halaman, air yang mengalir jernih tak akan keruh menggenang kan? Singa pun tak akan dapat mangsa jika tetap didalam kandang. Bukankah anak panah tak akan sampai pada sasaran jika tetap pada busur nya?.
            “Ahh kok mati sih? Dikit lagi loh ini” makiku kesal pada lampu atau apalah ini. Membuatku berhenti membaca diary Intan.
            Lampu didekatku tiba-tiba mati. Kuperiksa dengan saksama, ternyata minyak tanahnya habis. Kubuka laci meja disudut kamarku, terlihat senter hitam peninggalan bapak yang diselipkan ditasku saat pergi kedesa ini. Ternyata barang tua ini berguna juga, pikirku.            Segera kunyalakan senter dan kulanjutkan membaca diary Intan yang semakin membuat penasaran.
            Senin, 5 Juli 2017. Alhamdulillah, genap sudah masa dinasku dua tahun didesa ini. Tak banyak kata yang kuucapkan kali ini. Terimakasih desa indah penuh cerita, selamat tinggal murid-murid kebanggaanku yang mimpinya terenggut oleh adat-istiadat tak bertuan. Kutinggalkan diary ini dengan berharap ada seseorang disana yang akan membacanya dan membantuku mengubah semua ini.
            Setelah ini aku akan pergi jauh, mungkin mengajar mungkin juga hanya menjadi ibu rumah tangga dan mengurus anak-anakku dirumah. Dion minggu lalu melamarku, ternyata kami tidak bisa hidup berjauhan. Cinta itu masih ada. See you diary ku.
            “akhir apa ini? Gak jelas banget endingnya” ada yang lain dihatiku saat membaca ternyata Intan memilih pergi dari desa ini bukan hanya karena masa dinasnya habis, tapi karena pernikahan dengan Dion mantan pacarnya itu.
            Lama aku merenung sambil merebahkan diri dikasur tipis pemberian pak Uno, sambil menatap langit-langit kamar yang tidak kunjung berubah. Gelap, suram dan berdebu. Kutarik kesimpulan bahwa Intan adalah guru yang luar biasa, yang bukan hanya mengajar pelajaran sepertiku tapi juga mengajarkan arti hidup pada murid-muridnya, hal yang belum kumiliki hingga saat ini. Kubulatkan tekad, berjanji pada diri sendiri serta negara ini bahwa aku akan membantu Intan mewujudkan mimpinya terhadap anak-anak pedalaman ini, aku akan membuktikan bahwa adat-istiadat yang membatasi anak-anak ini menggapai mimpinya akan segera kuhilangkan, budaya lama yang memang dicintai orang-orang didesa ini tapi perlahan juga akan mematikan kemajuan bagi mereka. Aku akan memperbaikinya.
            Malam ini adalah malam terbaik sepanjang hidupku, akhirnya kutemukan tujuanku didesa ini. Bukan sekedar mengajar tapi memberikan perubahan pada daerah yang tak tersentuh oleh kemajuan ini. Setelah sekian lama tak meminta pertolongan, akhirnya terucap juga.
            “Ya Allah.. mudahkan hambamu untuk bermanfaat bagi orang banyak. Bantu aku menjadi hambamu yang taat ya Allah”
            Doa singkat tadi seperti bahan bakar yang membakar semangatku untuk hidup lebih baik, merindukan mesjid dan segala aktivitas didalamnya tentu kurasakan. Jujur saja selama aku ditugaskan didesa ini, belum sekalipun aku bersujud pada Tuhanku sendiri. Alasannya sederhana, aku merasa Tuhan tak mendengar doaku dengan mengasingkanku didesa tak berkehidupan seperti ini. Selama ini aku melihat tapi tidur dari kebenaran, aku menatap tapi buta dari kebaikan, lalai demi lalai kulakukan tapi berharap surga sebagai balasannya. Bukankah Tuhan maha pemaaf? Ya aku percaya itu.
            Pagi ini aku tidak mengajar digantikan oleh Bu Asih, demi pergi kerumah ketua adat dan membicarakan masa depan desa ini.
Selamat hanjeww pak Alu” Sapaku dari depan pintu rumah betangnya yang berukiran sarat makna.
“Hei pak guru kita, hanjeww hanjeww” Balas pak Alu dari dalam rumahnya. Pak Alu adalah orang yang bersemangat dan antusias, terlihat dari wajahnya yang tidak tua termakan usia.
            Tanpa basa-basi kuajak pak Alu membicarakan tentang maksudku kerumahnya. Membicarakan tentang perkembangan anak-anak murid disekolah. Kuceritakan tentang mimpi anak-anak berdasarkan cerita dibuku Intan, walaupun aku tak pernah mendengar langsung dari anak-anak itu sendiri. Awalnya pak Alu sangat antusias, lama-kelamaan mimik wajahnya menjadi menyeramkan dan tak hangat seperti tadi. Aku memilih menyudahi perbincangan ini dan mencari cara lain untuk meruntuhkan prinsip pak Alu.
            Kulalui hari-hari berikutnya dengan semangat yang sama. Belajar dari buku Intan, kuberikan anak-anak pedalaman ini semangat motivasi yang lebih berapi-api, yang tak hanya membuat mereka kesulitan bernafas karena antusias bertanya tapi juga membuat mereka tak berkedip ketika aku menggambarkan bagaimana mempesona nya budaya diluarsana. Bagaimana tari bebilin dari Kalimantan Utara yang berasal dari cerita rakyat mengerikan, bagaimana lagu suwe ora jamu yang sarat akan makna, dan bagaimana budaya-budaya lain yang juga mempesona bukan hanya untuk diketahui tapi dirasakan langsung.
            Akhirnya Lores kembali ke sekolah setelah kuberikan pilihan pada orangtuanya. Aku menawarkan bibit unggul yang tidak sedikit untuk perkebunan mereka, yang kuambil dari teman dikota. Dengan imbalan Lores harus kembali kesekolah. Tak lain dan tak bukan, orangtuanya melepaskan Lores dengan setulus hati.
           
            Setelah melakukan pendekatan dengan Pak Alu karena sering membantunya berburu diakhir pekan, berbagi cerita dan pengalaman dengannya. Membuat Pak Alu sedikit demi sedikit luluh padaku. Ia mulai antusias jika kubahas tentang betapa majunya Indonesia sekarang ini, betapa dunia menjanjikan perubahan yang luar biasa pada kehidupan manusia, bagaimana kita tidak perlu susah-susah mencari bibit unggul sendiri karena dikota sudah banyak teknik pertanian yang maju, bagaimana kita tak perlu susah payah berburu hanya dengan senjata tradisional, dan bagaimana indahnya budaya diluar sana selain alat musik sappe yang biasa dimainkan Pak Alu. Melihat perkembangan ini, aku yakin kemajuan desa ini sudah didepan mata.
            “Pak guru bara kueh? Besok dipanggil Pak Alu kerumah betang.” Sapa ma’Tuwo saat aku baru pulang dari rumah Lores mengantarkan bibit yang kujanjikan.
            “Dari rumah Lores ma’. Terimakasih ma’ sudah disampaikan.” Apakah ini pertanda baik, pikirku dalam hati.
            Sampai dirumah pak Alu dengan rasa hati yang tak karuan, kuambil posisi duduk disudut ruang tamu yang cukup luas itu. Entah akan siap dengan keputusan pak Alu atau tidak.
            “Ada apa bapak memanggil saya kesini?” Tanyaku dengan jantung yang hampir berhenti karena lelah berdetak kencang dari tadi.
            “Saya sudah memikirkan saran pak guru selama ini, saya sudah berpikir panjang dan diskusi dengan semua tokoh adat. Dengarkan saya bercerita sedikit, saya lahir dari ibu dan bapak asli suku pedalaman disini, saya dibesarkan dengan ayah yang keras tanpa ampun. Berburu dan berkebun adalah satu-satunya pekerjaan untuk kami. Ayah saya juga ketua adat disini sebelum akhirnya ia meninggal karena obat yang didapat dari kota. Kau tau kan obat apa yang membuat manusia gila dan melupakan tuhannya? Obat yang kejam, merenggut nyawa, serta harapan setiap orang yang memakannya. Masa remajaku diisi dengan melihat ayah yang sakaw disudut rumah karena kehabisan obat, ibu yang pergi kesana-kemari mencari uang demi membelikan barang haram itu hanya agar ayah tidak kesakitan. Kami bodoh, kami tak tau obat itu adalah cara paling cepat memanggil malaikat maut.” Pak Alu menceritakan dengan mata berkaca-kaca.
            “saya pernah punya cita-cita, saya ingin sekolah tinggi tapi desa kami belum tersentuh pendidikan saat itu. Saya pernah punya cita-cita menjadi dokter yang bisa menyembuhkan orang banyak termasuk sakit ayah yang saya kira adalah penyakit. Melihat betapa kejamnya pengaruh narkoba yang membunuh ayah. Hal itu membuat saya sebagai penerusnya yang kala itu beranjak dewasa, memutuskan untuk menghentikan segala aktivitas yang berhubungan dengan dunia luar, dunia selain desa kami. Saya benci kota, tak ada satupun anak yang boleh sekolah keluar desa kami, kalaupun itu terjadi ia tak akan boleh lagi menginjak desa ini selama-lamanya, meninggalkan semua keluarga dan rumahnya.” Cerita pak Alu seakan tanpa jeda, disertai mimik kecewa sedih dan marah yang menjadi satu.
            “Tapi kota tidak semua berpengaruh jahat pak, segala kebaikan juga bisa kita temukan disana.”
            “Diam. Saya belum selesai. Setelah saya berpikir dan mengenal guru sepertimu dan Intan. Pikiran saya terbuka agar anak-anak didesa ini bisa menggapai mimpinya. Saya tau tidak selamanya diluar sana bisa berdampak buruk untuk desa ini, karena desa juga tak selamanya berdampak baik pada mereka. Segenap hati saya serahkan mimpi anak-anak itu dipundakmu, bantulah mereka menggapainya, kenalkan mereka pada dunia yang luas ini pada budaya yang beraneka ragam di Indonesia, ajarkan mereka untuk mencintai budayanya tanpa harus dibatasi oleh keterbatasan. Bantu dia pak guru” Pak Alu mengakhiri cerita panjangnya dengan senyum tipis disudut bibirnya, sambil menepuk pundakku yang dari tadi terdiam tanpa sanggup berkata-kata.
            Hari-hariku didesa ini semakin menyenangkan, kami dihadapi dengan berbagai kompetisi dikota. Kompetisi budaya maupun pengetahuan. Tidak lama lagi untuk kedua kalinya Lores dan Meyla akan pergi ke Jakarta menghapi festival budaya. Hari ini, besok, dan seterusnya akan kutanamkan pada mereka bahwa mereka semua sama dengan anak lainnya. Tak peduli berasal darimana, bersuku apa, berkududukan apa, mereka semua sama. Anak Indonesia yang berhak untuk menggapai mimpinya.
            Kepergian ke Jakarta kuniatkan memang untuk membimbing Lores dan Meyla di festival, tapi disamping itu terselip tanda tanya kecil dihatiku, dimana Intan?. Mendengar kabar dari ma’ Tuwo bahwa Intan sekarang mengajar seni disalah satu sekolah dasar di Jakarta, membuatku semakin semangat untuk membawa Lores dan Meyla kesana. Berharap bertemu dengan wanita yang kukagumi dari tulisan-tulisan singkatnya.
           
            Penampilan Lores dan Meylan luar biasa, diluar ekspektasiku. Mereka tampil bak pemeran profesional yang berpengalaman.
“Bapak ketemu panitia dulu ya, kalian tunggu disini sambil tunggu pengumumannya. Oke?”
“Iya pak” jawab Meyla dan Lores berbarengan.
            Setelah sepuluh menit kutinggalkan mereka diantara kursi penonton, kulihat dari jauh Lores dan Meyla tampak asik berbincang dengan seorang wanita yang berkali-kali menepuk pundak mereka. Tampak punggung mereka bergoyang-goyang karena gelak tawa tanpa henti seperti orang yang lama sekali tak berjumpa.
“Akrab sekali?” lirihku sambil menghampiri mereka.
“Pak Anton, ini guru kami. Bu Intan, cantikkan pak?” Ucap Lores yang sadar aku daritadi memperhatikan mereka.
“Oh ini Pak Anton, selamat ya pak sudah berhasil bawa anak-anak kesini. Gak nyangka bisa ketemu mereka disini, bagaimana bukunya Pak?” Bu Intan menatap Anton dengan tatapan penuh rasa kagum.
“bukunya ada kok bu, ada.” Jawab Anton singkat disertai jantung yang berdetak kencang seperti orang yang tlah lama kehilangan sesuatu lalu menemukannya lagi.
            Perbincangan kami terus berlanjut, menceritakan betapa lucunya kebiasaan ma’Tuwo, betapa menyedihkannya masa lalu Pak Alu, dan bagaimana anak-anak kini bisa menggambarkan mimpi mereka masing-masing. Dan tentunya bagaimana kisah dibalik perjuanganku menyelesaikan diary Intan.
“Dion apakabar bu?” Pertanyaan singkatku terlontar begitu saja.
“Oh dia, sudah tidak ada kabarnya pak. Diary saya belum sempat terselesaikan, malah sudah ditemukan orang lain”
“Boleh saya yang menyelesaikannya?” Pertanyaan bodoh macam apa ini, tiba-tiba saja terlontar, saat aku memastikan tidak ada satu cincin pun yang tersemat dijari Intan.
“Kita selesaikan sama-sama”
            Beberapa bulan kemudian Intan pindah tugas kembali ke desa embaloh hulu bersama Anton. Merajut rumah tangga dan mewujudkan mimpi mereka untuk membangun sekolah disana lebih maju dan menjadikan anak-anak menjadi pioneer perubahan untuk desa hingga negara mereka. Anton semakin percaya bahwa takdir tuhan tidak pernah salah dan keberadaannya didesa pun pasti punya maksud, menemukan belahan jiwanya misalnya. Walaupun Anton dan Intan berasal dari tanah jawa, mereka tetap bertekad memajukan sekolah di pedalaman kalimantan ini. Karena tak peduli apa sukunya, darimana ia berasal, bagaimana kebudayaannya. Kita tetap satu, Indonesia.


TAMAT


GLOSARIUM
Diary                           = buku harian dalam bahasa inggris
Narai kabar                  = Apa kabar, dalam bahasa dayak.
Bahalap ih                   = Baik, dalam bahasa dayak
Selamat hanjeww        = Selamat pagi, dalam bahasa dayak
Selamat bentuk andeu = Selamat siang, dalam bahasa dayak
Sappe                          = Alat musik khas suku dayak
Takan                          = silahkan, dalam bahasa dayak
Bara kueh                    = darimana, dalam bahasa dayak
Rumah betang        = Rumah khas suku dayak, memanjang kebelakang dengan kolong                                      rumah yang tinggi. Berukuran sangat luas yang diisi oleh satu keluarga                                besar. Pusat segala aktivitas masyarakat. Sekarang keberadaannya mulai jarang dikalimantan itu sendiri.


Note: Cerpen diatas meraih juara 1 pada babak final "Kepenulisan sastra" Rektor Cup UMM 2018, dengan tema "Cinta budaya"

Kopi hitam #Cerpen4


   

            Pagi ini Piter dan istrinya tampak tergesa-gesa melaksanakan kegiatan harian mereka, membersihkan kebun dan menyelesaikan pekerjaan rumah tangga yang sedari kemarin tak kunjung usai. Rumah yang tidak begitu besar tapi lumayan jika hanya ditinggali bertiga membuat mereka pontang-panting membereskannya, maklumlah kegiatan berberes ini hanya dilakukan setiap ibu mertua akan datang. Cat biru sendu yang semakin sendu karna dimakan zaman serta pilar-pilar seukuran satu pelukan manusia menambah kesan betapa kunonya rumah ini.
            “Bosan lah aku tinggal disini, gak ada rumah yang agak bagusan?” ucap istrinya sambil merebahkan diri dikursi merah jambu yang tak pantas lagi disebut merah jambu itu.
            “Kalau kau punya warisan rumah dari orangtuamu yang mentereng tu, ndapapa pun kita pindah” balas Piter dengan nada acuh, sambil bergegas mengambil handuk hijaunya.
            “Tidak pernah bersyukur” katanya lirih. Sambil mengguyur badannya, Piter memaki dirinya sendiri. Mengingat betapa ia menyesal tidak mendengarkan perkataan ibunya dulu, betapa ... “ah sudahlah” pikirnya, toh penyesalan beribu kalipun tidak akan berguna sekarang. Dengan handuk menggantung dileher dan rambut masih meneteskan air, digapainya kemeja krem bergaris-garis putih kesayangannya itu. Sambil berkaca, Piter meyakinkan diri bahwa hari ini akan menjadi hari baik untuknya.
            Lelaki menjelang 27 tahun ini pergi ke ruang tamu dan diraihnya kunci motor matik jadul keluaran tahun 2005. Walau jadul tapi berjasa pikirnya. Tanpa menoleh kearah istrinya yang dari tadi asik bermain smartphone keluaran terbaru, dirangkulnya anak mereka semata wayang dan didudukkannya di boncengan motor kebanggaannya. Hari ini Piter akan kembali mencari pekerjaan setelah satu bulan di-phk dari perusahaan yang sudah 5 tahun memberinya makan.
            Anaknya tak banyak bicara, tapi tak bisa juga disebut kalem. Anak berusia 5 tahun yang tampak dewasa sebelum waktunya. Tak suka bermain bersama teman sebayanya, tak ceria seperti anak seusianya, dan tak pernah berucap lebih dari 6-8 kata sekali membuka mulutnya. Istimewanya Anak semata wayang Piter ini memiliki paras rupawan khas metropolitan, gabungan gen ayah dan ibunya yang merupakan mantan duta kampus di eranya.
            “Belajar yang rajin ya nak, jangan nakal. Kotak makanmu harus dihabiskan, jangan kau buang lagi ya. Sudah masuk sana.” Kalimat Piter sehari-hari setelah sampai digerbang sekolah anaknya. Seperti biasa, tidak ada respon apapun dan ia berlalu pergi tanpa merasa bersalah.
            Peluh berjatuhan, baju krem yang rapi kini menjadi lepek karena basah dibasuh keringat. Sembari menenteng ijazah S1 pendidikan ekonomi dari universitas swasta yang tak begitu terkenal, Piter terus menelusuri gedung demi gedung perkantoran di pusat Kota Bandung. Matahari yang seakan tak berbelas kasih hari itu semakin menambah lengkap deritanya.
            “terhitung 15 kantor kudatangi, hidup kenapa jadi sesusah ini” lirih Piter sambil menyeruput kopi hitam buatan bi E’em disudut jalan, yang sudah 9 tahun menjadi langganannya.
            Kopi selalu menjadi hal paling manis untuknya, walau sebenarnya kopi ini tidak pernah ditambahi gula. Dari jauh dilihatnya dua orang pemuda dengan tas ransel yang tampak tidak lebih berat dari jinjingan ijazahnya saat ini, sedang berbincang ringan dengan sesekali saling tertawa satu sama lain. Dipejamkannya mata, kopi pahit membawanya pada kenangan bertahun-tahun lalu.
“gas.. gimana persyaratanku kemarin?”
“Amanlah pit, Insya Allah lusa dapat kabar bahagia lah kau” jawab Bagas ringan sambil memainkan handphone Nokia  keluaran terbaru saat itu.
“enteng kali jawabanmu, dagdigdugser aku gas. Kau tau lah kalau aku tak lolos bisa habis aku digilas ammaku” balas Piter dengan wajah kesal dan kaki yang selalu digoyang-goyangkan membuat kursi seperti terkena gempa.
            Pemira atau pemilu raya Universitas Udoyono Bandung, beberapa bulan kedepan akan segera terlaksana. Piter mencalonkan diri sebagai salah satu kandidat, dilihat dari napak tilas prestasinya yang luar biasa, tak canggung baginya untuk mengajukan segala persyaratan. Kebalikannya, Bagas yang juga memiliki mimpi sebesar Piter tapi tak mampu untuk mengajukan persyaratan karena IPK yang hanya sanggup mengambil 18 sks.
            Bagas memang tak seberuntung Piter dari segi prestasi, tapi dari segi keluarga dan keuangan Bagas lah sang juara. Ayahnya salah satu pejabat berpengaruh di Jawa Barat dan ibunya adalah pengusaha berlian paling laris se lembang raya. Mobil keluaran terbaru mana yang tidak dimilikinya, hape canggih mana yang tidak sempat digunakannya barang satu dua bulan. Cowo parlente yang menjadi idaman banyak mahasiswi dikampus mereka yang memiliki kurang lebih enam ribu mahasiswa ini. Tapi, ada satu hal lagi yang tidak dimiliki Bagas.
“Pit, pulang ngampus ntar main kerumahku dulu nah” ajak Bagas sambil merapikan rambut mohaknya didepan cermin kecil dikantong kecil tasnya.
“Ada game apalagi gas? Aku gak bisa kayanya, habis ini masih ada rapat sama anak-anak internal” jawab Piter sekenanya sembari mematikan laptop tuanya dan dengan cepat memasukannya kedalam ransel hitam yang hampir kecoklatan.
“Halah, gak bosen rapat terus? Oiya lupa yaa kan calon presma”
            Pertemanan 9 tahun sejak mereka masih menggunakan putih biru ternyata tak membuat Bagas begitu paham apa sebenarnya yang menjadi prioritas Piter sejak dulu, tak lain dan tak bukan hanyalah prestasi. Disamping kemewahan hidup yang tak berkesudahan, Bagas tak sepenuhnya bahagia karena orangtuanya tak pernah memahami apa yang dia impikan seutuhnya. Selalu membandingkan, tak pernah puas, bahkan tak jarang Bagas tidak berbincang dengan mereka hampir seminggu karena terlalu sibuk dengan dunia masing-masing. Kehidupan yang benar-benar tidak diimpikannya.
            Dari jauh, gadis manis berambut panjang dengan rok selutut berwarna coklat muda dengan corak bunga-bunga dari tadi sibuk memperhatikan Piter. Piter yang sebenarnya juga sadar kalau sedang diperhatikan semakin mencoba menyibukkan diri dengan memberi instruksi tanpa jeda pada tim sukses pemiranya.  “Permataku yang indah...” gumam Piter.
            Indah namanya, gadis manis dari jurusan pendidikan bahasa Indonesia sudah menjadi secret admirer Piter sejak dulu. Mengagumi sosok senior yang merupakan aktivis berpengaruh di kampus, hanya karena sebotol air mineral yang diberikan Piter saat ospek fakultas dua tahun lalu. Indah mengaguminya tanpa jeda, bagaimana tidak? Sosok itu selalu berprestasi baik dibidang akademik maupun non akademik, ditambah lagi wajah berwibawa khas laki-laki idaman dengan kacamata modern yang tersangga di hidung mancungnya, sempurna pikir Indah. Sama halnya dengan Piter, ia selalu memantau Indah dari jauh, melihat walaupun tak terlihat, mengetahui tanpa diketahui. Permataku yang Indah, lirih Piter.
            Kesibukan pemira membuat Bagas juga ikut-ikutan mencari kesibukan. Bagas yang sudah lama menjadi anggota The Sindan (Theater, Sing & Dance) fakultasnya, disibukkan dengan pentas tahunan yang tidak lama lagi berlangsung.
“Indah.. besok jadi temenin aku cari kostum anak-anak?” Tanya Bagas dengan harap-harap cemas sambil memainkan kunci mobilnya.
“Sama aku kak? Gak jadi sama Sinta?”
“Yaa sama kamu lah dek, kan Sinta nya ngelatih anak-anak. Besok jam 4 sore aku jemput kekos kamu ya. Dandan yang cantik” goda Bagas sambil berlalu pergi.
            Bagas dan Indah menjadi partner sejati di ukm mereka. Diam-diam Bagas telah lebih dulu mengagumi paras dan tingkah Indah yang dinilainya istimewa. Wanita Jawa Tengah dengan kemampuan menari bak seorang putri keraton, ditambah rambut panjang dan kulit kuning langsat menambah rasa kagumnya yang semakin memuncak.
“Indah memang asli yogyakarta yaa?” Basa-basi Bagas setelah menyadari bahwa ini kali pertama mobilnya dinaiki wanita selain ibu dan bibinya.
“Iya kak asli jogja banget”
“kok pake banget?”
“Ayah, Ibu, nenek, kakek, om, bude, tante, sepupu, saudara, sahabat semuanya asli jogja dan tinggal di jogja” Jawab Indah  lengkap, berharap tidak ada pertanyaan basa-basi selanjutnya.
“Hahaha kok kamu lucu sih dek, berat ya berarti kalau harus berkeluarga di Jawa Barat nanti?” tanya Bagas tanpa pikir panjang, sambil terus menyetir dengan kecepatan super lambat yang disesuaikannya dengan musik senja dari radio dimobilnya ini.
“Belum kepikiran kak” Sambil melepaskan nafas panjang pertanda tak menyukai perbincangan ini.
            Pemira berlangsung sukses, tergambar jelas pada Piter yang terus merekahkan senyum tanpa henti diwajahnya. Berhasil menjadi wapresma terpilih otomatis membuatnya selangkah lagi pada mimpinya, beasiswa keluar negeri. Lahir di keluarga yang sederhana membuatnya merasa tak pantas jika harus bermimpi kuliah keluar negeri dengan biaya sendiri.
            Bagas ikut senang mengetahui hal ini, tapi bahagianya tentu tak sebesar Indah. Sang permata Piter.
            “Gas, besok aku bakal ngelakuin sejarah baru dalam hidup Piter Harahap selama 20 tahun hidup didunia” Ucap Piter penuh semangat, mengundang gelak tawa sahabatnya Bagas.
            “Ada ya orang kaya kamu ini, pintar, tampan, alay pula. Hahaha apalagi sih Pit? Mau bobol ruang dosen kah?” Jawab Bagas malas-malasan tanpa melepaskan headphone gray kesayangannya.
“Aku mau ngajak permataku ke bioskop, kaya janjiku dulu ke kau. Ingat gak?”
“Apalagi permata? Nama orang apa nama buku? Hahaha”
            “Serius aku ini Gas, aku dulu pernah janji kan bakal ngajak cewe jalan kalau aku berhasil terpilih dipemira. Yakin kali aku sekarang.” Jawab Piter sambil terus mengetik sibuk dilaptop tuanya.
            “Hahaha, siap Pit. Kutunggu kabar baikmu ya. Jadian sama manusia lah sekali-kali, jangan sama buku terus”
            Tanpa sadar ucapan Bagas inilah yang menjadi keretakan persahabatannya dengan Piter. Satu bulan setelah percakapan itu, sampai berita tak mengenakkan dari teman-teman kampusnya. “Wapresma jadian dengan bidadari the sindan”. Bagas kaget sekaligus kecewa, tidak menyangka kalau ternyata Indah lah yang menjadi pacar pertama sahabatnya, Piter.        Bagas yang memang dasarnya kurang perhatian, semakin melancarkan hobi tengah malamnya. Balap mobil, Billyard, bahkan clubbing.  Satu bulan berlalu.
            “Hoy Pit!”Sapa Bagas dengan gaya parlente yang menjadi ciri khasnya. Dengan tampilan yang cukup berbeda dari biasanya, ditemuinya Piter setelah hampir sebulan tak muncul dikampus.
            “Bagas! Kemana aja kau? Satu semester aku mencarimu. Sudah lupa kau cara pergi kuliah?”
            “hahaha, jangan sok rindu pit, itu berat, Cuma aku yang kuat” jawab Piter sekenanya dengan mimik wajah tidak tulus.
            Pertemuan yang penuh maksud menjadi alasan Bagas kembali ke kampus. Sinta yang menjadi alasannya, wanita pelarian yang sudah menjadi korban patah hatinya terhadap Indah. Bagas yang kehilangan kepercayaan pada sahabatnya sendiri, kehilangan wanita yang sudah lama menjadi dambaannya, membuatnya melampiaskan dan menghabiskan hari-harinya bersama Sinta, wanita metropolitan yang bahagia dengan kehidupan hedonism ala Bagas. Sinta yang memiliki paras menawan dan segudang prestasi modelling maupun duta kampus menjadi hal yang menarik bagi para pria, termasuk Bagas. Terimbangi dengan Bagas yang juga runner up 2 duta kampus kala itu.
            Piter tersadar dari lamunan, saat hujan menembus masuk ke warung bi E’em. Dilihatnya jam tangan hitam yang terpasang ditangan kirinya, yang semakin menambah jelas ingatannya tentang Bagas.
Wa’ang inda balek?” Tanya bi E’em dengan bahasa padang yang kental.
“jam berapa memangnya ini bi? Keasikan melamun saya, teringat masa-masa kuliah dulu.”
“Apo kabar teman wa’ang si Bagas tu?” Tanya bi E’em sambil sibuk membereskan gelas-gelas kosong bekas kopi hitam yang kental.
“Saya juga kurang tahu bu, sudah lama sekali tidak kontak”
“Ha, macamtu. Bisuak kasiko yo. Ada yang mau aku sampaikan”
            Keesokan harinya Piter kembali ke warung bi E’em dengan gaya yang sama, membawa ijazah yang cukup berat untuk dijinjing, sepatu fantopel hitam yang tak mengkilap lagi, dan kali ini dengan kemeja biru laut yang dilapisinya dengan jaket hitam polos dan resleting yang sulit dikancingkan. Masih dengan pesanan yang sama, secangkir kopi hitam pahit tanpa gula khas bi E’em, bagai lorong menuju masa lalu.
            “Kau gila gas? Bukan temanku lagi kau.” Bentak Piter dengan nada khas medan.
            “Aku khilaf Pit, aku gak nyangka kejadiannya bisa kaya gitu. Aku khilaf Pit. Bisa dibunuh aku sama ayah kalau dia sampai tahu. Tolong lah aku Pit.”
            “Tolong apa gas? Tolong apa! Kalau kejadiannya sudah kaya gini, gak ada pilihan lagi selain tanggung jawab! Biar aku yang bilang ke ayahmu.”
            “Kamu gila Pit? Kamu mau lihat aku mati hari ini juga ha? Aku begini juga karena kamu! Kamu rebut Indah dari aku, kamu berprestasi dan selalu dibanding-bandingkan ayahku dengan aku yang gak bisa apa-apa ini. Yang taunya cuma balapan dan nge-club. Kamu yang selalu jadi ukuran sukses seorang anak dimata ayahku. Aku yang susah payah menang dan jadi duta kampus juga gak pernah ditoleh ayah sampai hari ini. Dia mau aku jadi presma bukan duta! Aku gak pernah benar dimata ayah dan itu semua karena kamu!”
            “kenapa kamu jadi begini gas? Bukannya kamu yang selalu dukung aku? Yang selalu bilang kalau kamu bangga punya teman kaya aku? Kamu juga gak pernah bilang soal Indah” Piter menarik nafas panjang, aliran darahnya semakin deras, denyut jantungnya berdetak kencang, ingin ia menonjok Bagas sekali saja dengan tonjokan terkuat sepanjang hidupnya, Piter kecewa.
            Tidak sanggup melihat perlakuan Bagas pada Sinta, membuat Piter semakin membenci sahabatnya itu. Bagas memaksa Sinta menggugurkan janin diperutnya, tanpa peduli bahwa itu adalah hasil perbuatan kejinya sendiri.
            “Aku gak mau gas! Ini anak kamu, kamu harus tanggung jawab. Aku gak peduli orang mau bilang apa, yang penting kamu harus nikahin aku.” Ucap Sinta sambil menangis sejadi-jadinya di sudut apartment miliknya.
            “Gak bisa bego! Ayahku pejabat terkenal, aku anak satu-satunya. Apa bilang orang Sin? Mau taruh dimana mukaku? Kamu gak ngerti sih”
            “Kamu yang gak ngerti gas! Aku juga malu, aku yang ngandung, ayahku direktur perusahaan, ibuku juga pejabat. Malu siapa gas! Aku gak mau gugurin karena aku tahu ini anak kita, buah cinta kita gas. Lagipula kenapa kamu melakukan kalau kamu belum siap? Kenapa kamu maksa aku?”
            “hahaha.. siapa bilang aku cinta sama kamu Sin? Aku cinta sama Indah, yang direbut sahabatku sendiri, bullshit! Kamu cuma pelarianku, jangan sok bilang ini buah cinta kita, aku tau kamu juga tergila-gila kan sama si Piter pengecut itu?”
            “Itu dulu gas, aku gak pernah ingat Piter lagi semenjak sama kamu. Tolong gas.. nikahin aku”
            Semenjak hari itu Bagas menghilang dan Piter tidak pernah tahu lagi kemana dia pergi. Bagas pergi sejauh-jauhnya tanpa meninggalkan pesan bahkan pada pacarnya sendiri. Rumah mewahnya di Lembang sudah berganti kepemilikan, toko berlian ibunya di sudut Kota Lembang juga sudah berganti menjadi toko baju, dan Ayahnya dikabarkan meninggal dunia selang dua bulan semenjak menghilangnya Bagas.
            “Jangan wa’ang melamun terus. Tak enak hati aku melihat. Hari ini akan jadi hari baik untuk wa’ang.” Lagi-lagi teguran bi E’em menyadarkan Piter dari lamunan panjangnya.
            “Piter... Apa kabar?” Sosok klimis, tinggi dan proporsional itu kini berubah menjadi sedikit gondrong dan agak kurus.
            Pertemuan yang dinanti setelah 5 tahun lamanya tidak bertemu, membuat air mata Bagas hampir menetes, hanya karena harga diri air matanya memilih untuk tetap mengering. Dilihatnya Piter masih sama seperti dulu, bersahaja dan apa adanya. Tanpa sadar keduanya berpelukan amat kencang seakan tidak ingin berpisah lagi walaupun masih ada yang mengganjal dihati satu sama lain.
            “Apa kabar Asih?”
            “Peduli apa kau pada Asih gas? Hahaha persembunyianmu betul-betul jago ya. Tak kutemukan informasi sedikitpun tentang kau” Ucap Piter santai sambil menyeruput kopi hitamnya, walaupun dengan perasaan yang bergejolak.
            “Aku tahu aku salah Pit, Tuhan saja maha pemaaf apalagi kamu kan? Tuhan saja mau menerima sujudku lagi apalagi kamu kan?”
            “Hahaha jangan kau bicara layaknya imam di surau gas, rasanya malu aku jika ingat masa lalumu yang keji itu” Piter berkata dengan hati yang meledak-ledak sembari mengingat kejadian bertahun lalu.
            Piter mencari Bagas hingga tempat yang tak terjangkau sekalipun, hanya karena satu alasan, janin Sinta yang semakin membesar. Hingga empat bulan berlalu, Piter tak kunjung menemukan dimana sahabatnya itu.
            “Bagaimana bu? Bukankah islam menganjurkan kita untuk saling menolong? Tegakah ibu melihat janin itu semakin membesar tanpa kita selesaikan?” Ucap Piter pada ibunya yang hanya diam mematung tak sanggup berkata-kata.
            “Kemana mimpi-mimpi besarmu dulu nak? Kemana impianmu kuliah ke luar negeri? Tak kasihan kah kau pada kita yang tak berderajat ini, terkatung-katung tak jelas ditanah orang, hingga kini kau sudah hampir menggenggam dunia tapi memilih menghempaskannya? Ibu ini tak berpendidikan, almarhum ayahmu hanya tentara berpendidikan seadanya, kita terusir dari kampung halaman karena ibumu ini dianggap pembawa sial untuk keluarga. Pembawa kematian ayahmu. Tak cukup kah itu nak? Tak cukupkah?” Ucap Ibu Piter tanpa jeda, dengan amarah yang tidak bisa dibendung. Kekecewaan, malu, dan tidak mampu menerima keputusan anaknya.
            “Ampunkan aku bu. Aku hanya berusaha menolong dan berlaku sebagai manusia. Aku janji setelah ini akan tetap mengejar mimpiku keluar negeri, aku akan membahagiakan ibu, membuat keluarga kita terpandang, tapi mohon izinkan aku menolong Sinta bu.” Pinta Piter sambil bersujud dikaki ibunya memohon doa restu.
            “Kenapa kesalahan orang lain menjadi beban untukmu nak? Beban untuk kita? Semoga Allah meridhoi langkahmu, ibu hanya bisa mendoakan yang terbaik” Mereka berpelukan erat dan saling menangis satu sama lain, anak beranak yang seakan selalu dirundung duka sepanjang hidupnya.
            Satu bulan setelahnya diadakanlah pernikahan Sinta dan Piter di kediaman Sinta, Bandung Jawa Barat. Tak banyak yang hadir, hanya sanak keluarga terdekat. Keluarga ingin acara ini private demi menjaga nama baik ayah dan ibu Sinta. Terlihat wajah muram pada keduanya, pernikahan tanpa rasa cinta, hanya berdasarkan belas kasih seorang sahabat yang mengharap kebaikan untuk jabang bayi sahabatnya sendiri.
            Azan Ashar menyadarkan Piter dari lamunan panjangnya. Menunaikan sholat berjamaah di mushola yang tak jauh dari warung bi E’em bersama Bagas adalah hal yang juga sangat dirindukannya. Bersujud pada Tuhan, meminta agar amarah dan kekecewaan dihatinya segera terhapus bersama dengan kedatangan sahabatnya kembali.
            “merokok kau sekarang? Pantaslah semakin kurus dan tak terurus” Komentar Piter sambil memakai sepatu fantopel andalannya dipintu mushola.
            “Kamu masih seperti dulu Pit, terlalu perhatian pada sahabatmu yang setan ini.”
            Perbincangan mereka berlanjut di coffee shop tak jauh dari mushola yang baru soft opening minggu lalu. Piter menceritakan seluruh perjalanan hidupnya setelah menikah dengan Sinta. Bagaimana ia menyelesaikan kuliah sementara Sinta ngidam berat dan selalu haus perhatian. Bagaimana Piter berusaha bekerja sambil kuliah hanya agar mertuanya tidak terus-terusan memandangnya sebelah mata. Bagaimana dia mulai pindah dari apartment mahal milik Sinta ke kos-kosan sempit padat penduduk hanya agar batinnya tak tersiksa karena mertuanya. Dan bagaimana akhirnya ia bisa sarjana dengan menggendong Asih difoto wisudanya, ya Asih yang merupakan darah daging Bagas. Tak banyak kata yang Bagas lontarkan hanya beberapa kali ia tampak memalingkan wajah dan berusaha agar air matanya bisa mengering lebih cepat.
            “Bagaimana kabar Indah Pit?”
            “Ah dia, sudah lama aku tidak memikirkan dia lagi gas. Terakhir kami bertemu saat aku memutuskan untuk menikahi pacarmu. Patah hati dia, setelah itu tak pernah lagi aku bertemu.”
            “Bagaimana bisa kau putuskan pacar pertamamu itu Pit? Wanita idaman semua pria. Tak sanggup lah aku berterimakasih padamu. Sampah lah aku ini”
            “Jangan kau maki terus dirimu gas, tak lami lagi matilah jiwamu yang kering itu. Sudahlah, Allah tau mana yang terbaik untukku. Indah memang bukan jodohku gas. Mungkin dia permataku yang hilang tapi bukan berarti tak akan kutemui lagi kan?”
            “kau selalu yang paling benar Pit, jadi kapan aku bisa bertemu Sinta dan Asih? Aku ingin memeluk anakku itu Pit. Lelah dihantui rasa bersalah belasan tahun, sembunyi di negeri orang, tidak jelas arah hidupku. Mau berkeluarga pun aku tak sanggup Pit, tak ada lagi rasa cinta dihatiku. Habis termakan kesalahan masa lalu.”
            Pertemuan yang diimpikan Bagas bertahun-tahun akhirnya terwujud juga. Dipeluknya Asih erat-erat, walau anaknya sendiri masih mengira Bagas adalah Omnya yang lama tak berjumpa dengannya. Sinta yang awalnya terbakar amarah perlahan bisa mengontrol emosinya dan mencoba menerima Bagas kembali. Menerima untuk sekedar berbincang dan memperbaiki kekecewaan masa lalu.
            “Piter... 5 tahun kita menikah, aku tak pernah merasa benar-benar menjadi istrimu. Kamu tidak pernah mau kulayani. Apa yang salah dariku pit?” Sinta memulai percakapan saat Piter baru saja merebahkan badan dikasur.
            “tidak ada yang salah Sin” jawab Piter seadanya.
            “jujur saja Pit, aku tau kamu gak cinta kan sama aku? Kamu cuma kasian kan sama aku? Wanita malang yang ditinggal kekasihnya.”
            “jangan memancingku Sin, aku cape. Aku mau tidur” Balas Piter sambil membelakangi Sinta dan mencoba memejamkan mata.
            “kamu jahat Pit..”
            “jahat katamu? Kau mohon padaku dengan muka kasihanmu itu, kau pegang perutmu yang hamil besar. Tiap hari kau hantui aku dengan rasa bersalah karna ulah sahabatku. Kau menangis sejadi-jadinya, menghamba pada pemuda yang memiliki mimpi besar ini, menjanjikan banyak hal, memohon, mengemis kau dihadapanku Sin. Pemuda yang kehilangan mimpinya, masa mudanya, yang ketika berusaha mencintaimu pun aku dibenci oleh mertuaku sendiri. Siapa yang jahat disini Sinta? Siapa? Semua orang menganggapku keji, kuterima itu, demi anak kalian. Tidak Sinta, bukan aku yang jahat” ucap Piter sembari bangun dari tidurnya dan berdiri dihadapan Sinta.
            “satu lagi, aku tahu cintamu tidak pernah untukku kan? Tidak ada cinta dimatamu selama kau menatapku. Aku tau itu Sin.” Ucap Piter dan pergi keluar kamar.
            Sinta menangis sejadi-jadinya mengingat betapa menyedihkannya Piter selama ini. Hidup bersama orang yang tidak pernah dicintainya. Dibenci oleh mertuanya sendiri, bahkan tidak pernah mendapatkan cinta dari istrinya sendiri. Sinta memutuskan untuk pergi dan mencari kehidupan baru diluar sana. Ditinggalkannya surat permohonan maaf sekaligus permohonan perceraian, mengaku menyerah atas rumah tangga mereka. Dari lubuk hati terdalam Sinta ingin agar Piter bisa menemukan hidup barunya yang lebih bahagia.
            Semenjak kepergian Sinta, Piter menceraikannya secara agama. Dirawatnya Asih seorang diri dengan sesekali dijenguk oleh Bagas. Bagas sesekali pula mengajak Asih menginap dirumahnya demi membiasakan Asih sebelum Asih benar-benar diambil sepenuhnya oleh Bagas. Hidup Piter berangsur membaik, kini ia sudah bekerja disalah satu perusahaan besar yang dulu diimpikannya walaupun belum mendapat jabatan yang begitu tinggi setidaknya dia sudah bisa mengganti motor matik tuanya dengan mobil avanza hitam yang mengkilap.
            Setelah diberikan pemahaman setiap hari oleh Piter, akhirnya Asih memahami siapa sebenarnya Bagas. Dan kini Asih benar-benar menjadi hak asuh Bagas sepenuhnya. Menitikkan air mata ketika Piter merelakan Asih yang sudah dia anggap sebagai darah dagingnya sendiri, melepaskan kepergian bayi mungil yang dulu ada difoto wisudanya, merelakan Asih pergi ikut bersama ayahnya ke negara tetangga. Kini Piter kembali seperti dulu, sendiri.
            “Sudah tiga tahun kau tu menduda nak. Belum mau cari pengganti?” Pertanyaan ibu yang selalu terlontar hampir setiap hari.
            “Tenanglah bu, setiap kita pasti ada jodohnya, sendiriku ini juga ada batasnya, ibu doakan sajalah aku yaa” jawab Piter sambil mengunyah sarapannya pagi ini.
            Hari ini adalah hari ulang tahun perusahaan tempat dimana Piter bekerja. Kali ini bertemakan family gathering , karena tidak mempunyai istri Piter pun membawa ibunya ikut serta ke acara kantor. Selain mengundang seluruh jajaran perusahaan, mereka juga mengundang segenap organisasi dan komunitas yang ada di Jawa Barat.
“Ibu duduk disini dulu yaa, aku kebelakang menemui bos sebentar. Nikmati saja dulu ya buu acaranya” Ucap Piter pada Ibunya dan bergegas pergi.
            Setelah sekitar 30 menit bertemu bosnya, Piter mencari-cari kursi dimana tadi dia meninggalkan Ibunya. Dari jauh dilihatnya Ibu duduk paling depan dan sedang asyik mengobrol dengan seorang wanita berjilbab tosca. Tampaknya seru, sampai punggung mereka bergoyang-goyang saat tertawa terpingkal-pingkal. Piter bisa melihat tangan ibu berkali-kali menepuk bahu wanita itu. Sebegitu akrab kah? pikir Piter.
            Wanita itu lalu membalikkan badannya dan berdiri memegang mik. Sebagai ketua komunitas yang diundang perusahaan Piter, ia tampak cerdas dalam bertutur kata dan mempesona dalam balutan jilbab lebar yang menambah kesan keibuannya. Wanita itu membawakan sambutan dengan senyum yang terkembang manis. Begitu melihat senyum ini, Piter teringat pertanyaan ibunya tadi pagi. Untuk pertama kali sejak 7 tahun lalu, ada yang kembali hidup di hati Piter setelah lama mengering.
“Permataku yang indah.. kau kembali” lirih Piter hampir berkaca-kaca.
            Piter bergegas duduk disamping ibunya, dikursi terdepan untuk memastikan. Di jari manis wanita itu tiada suatu cincin pun yang terpasang.
“Alhamdulillah bu” lirih Piter
“Alhamdulillah kenapa nak?”
“sudah ketemu bu...”


                                                            TAMAT


Glosarium

Ammaku                      : Ibu saya, dalam bahasa minang
Bisuak kasiko yo          : “Besok kesini ya” dalam bahasa minang
Clubbing                     : Bermain di club malam (diskotik), dalam bahasa inggris
family gathering          : Perkumpulan keluarga, dalam bahasa inggris
Surau                           : Tempat sholat yang tidak sebesar mesjid, dalam bahasa melayu
Secret Admirer            : Pengagum rahasia, dalam bahasa inggris
Wa’ang inda balek      : “kamu tidak pulang” dalam bahasa minang
Wa’ang                        : Kamu, dalam bahasa minang

Note: Cerpen diatas lolos babak penyisihan pada perlombaan "Kepenulisan Sastra" Rektor Cup UMM 2018, dengan tema bebas.

Coffee Break diujung usia Quarter Life Crisis (25)

 Alhamdulillah... menghitung hari akan memasuki usia 26. Rasanya tahun ini sangat berbeda dari tahun sebelumnya, matahari sepertinya sudah j...