Minggu, 25 Agustus 2019

Hai,22

Harusnya ini di-upload tanggal 13 Agustus

Selamat datang kebahagiaan baru, selamat bersahabat denganku.
Ini bukan lagi perihal tua mudanya suatu usia, tapi bagaimana kebermanfaatan dan tanggung jawab yg semakin banyak.
Ku sapa dulu semua yg pernah hadir dan berdedikasi untuk hidupku.
Hay mah pah kaka kaka ku ponakanku yg lucu, sahabat sahabatku, dan semua yg ingin kubahagiakan.
Doakan aku ya, harus lebih kuat menjalani hidup.
Umur 22 rasanya dewasa sekali untukku yg masih sangat kekanakan dalam beberapa hal. 
Banyak impian dan cita cita yg selalu kulangitkan. 

Pendidikan, karir, keluarga, percintaan. Sepertinya sudah jadi sepaket kedewasaan. 

Akan banyak pencapaian di 20an ini, kuharap datangnya tak lambat tak juga terlalu cepat tapi sesuai porsinya. Sesuai keinginan dan kesiapanku. 

Semangat! Masa depanku masih panjang, banyak hal yg harus kucicipi, manisnya dunia pahitnya perjuangan, semuanya akan indah sesuai porsinya. 


Selamat menua, aku. Jangan mudah menyerah, jangan hanya peduli dirimu, terus semangat dan bergerak! Fight. 

Sabtu, 10 Agustus 2019

Pekat.... #Cerpen7


22.37, malam semakin larut. Senyap, sesekali hanya suara angin yang membuat malam ini lebih dingin dari biasanya.Tidak ada yang berlalu lalang, sebagian sudah pulas sebagiannya lagi lebih memilih pulang ke pangkuan ibunya. Sinar rembulan tampak redup tertutupi pohon ceri yang seolah merangkul kami. Aroma tubuhnya tak dapat kubaui, kami berjarak malam ini. Tidak ada pembicaraan, sesekali hanya helaan nafas lebih panjang.

Tubuh tegapnya melemah, matanya redup, bibirnya tidak mengeluarkan sepatah kata pun. Pertanyaan tidak akan menjawab apa yang ingin kutau. Dilepaskannya kacamata persegi dari matanya, sesaat dipandangi, kemudian digenggamnya sekuat yang ia mampu. Tidak perlu ada pertanyaan, dapat kurasakan emosi dan sakit hati yang mendalam lebih dari apa yang sanggup ia ucapkan.
Kacamata tinggal serpihan, hatinya pun semakin meradang. 

Memaksanya bercerita bukanlah jawaban. Kuletakkan tangan kiriku dipundaknya menepuknya beberapa kali, dan anehnya air mataku yang nyaris jatuh. Sakit dihatinya seperti tersalur kediriku, entah bagaimana caranya. Kurasakan sakit itu juga.
Setelah dirasa emosi cukup menguap, dipandanginya aku sesaat. “Orangtuaku…..”

Tidak perlu kulanjutkan, satu kalimat tadi cukup membuatku merasa hancur mungkin tidak separah dia setidaknya hancur melihat dia harus menanggung cobaan, bahkan berkali-kali.
Teringat saat awal bertemu, bagaimana semangatnya dia menceritakan semua kebahagiaan dan kesyukurannya terhadap keluarga yang sangat mencintainya. Ternyata keadaan bisa saja berhenti berpihak.

Tenang, sayang. Kau tidak pernah sendiri, ada penciptaMu, ada aku, ada sahabat-sahabatmu, ada kita. Kalimat ini terdengar sandiwara, tapi kalian akan paham ketika rasa sakit orang lain menjadi sakit yang luar biasa untuk kita sendiri.

Malam itu berakhir pekat. Aku tidak berhasil menjadi tempatnya pulang, menjadi tempatnya menceritakan segala yang sedih ataupun duka. Aku merasa gagal sebagai rumah.

Pertanyaannya, aku yang gagal sebagai rumah atau memang bukan dia tuan rumahku?
Entahlah.


Selasa, 06 Agustus 2019

Aku sudah sarjana… #CoffeeBreak17




Hai, sudah sekian musim terlewat, lama tidak menulis dan menuangkan rasa. Tujuh bulan berlari kencang ternyata lelah juga. Malang dingin, lebih dingin dari biasanya, meringkuk disudut kamar dibawah selimut sudah jadi rutinitas sembari memikirkan masa depan. Aku sudah sarjana? Iya benar, lalu apa?
Alhamdulillah setelah satu semester bergelut dengan skripsi dan penelitian akhirnya semua selesai dengan pujian bahkan memuaskan. Lulus dengan nilai dan waktu yang sesuai target sejak maba mungkin menjadi kesyukuran luarbiasa untukku dan orang tua. Sudah empat bulan setelah wisuda, dan aku masih mencari tempat dimana selanjutnya. Dua bulan istirahat dikampung halaman ternyata lebih dari cukup sebagai bekal untuk kembali merantau lagi.
Hari ini, usaha dimulai. Berkorban dan mengesampingkan semua keinginan. Merancang rangkaian rencana yang dibuat jauh-jauh hari agar semakin dekat dengan mimpi-mimpi. Semakin kesini rasanya semakin sendiri, entah karna ramai yang mengantarkan pada sepi  atau memang aku yang damai sendiri?
Aku jauh, dari semuanya. Dari kebiasaanku yang dulu, dari sisa sisa sahabat yang dulu selalu ada. Ah iya, aku lupa ternyata benar waktu sudah menggilas habis semuanya. Merebut waktu dan orang yang kupunya disini. Kini rasanya benar, berjuang sendiri ternyata tidak seburuk itu. Bukankah hakikatnya hidup adalah sendiri?
Meninggalkan rumah untuk kembali berjuang disini bukanlah hal yang mudah, mengingat orangtua selalu butuh ditemani, rasanya umur membuat mereka semakin bersahabat dengan sepi. Tapi percayakah untuk tetap bertahan dirumah dengan keadaan ‘sudah sarjana’ tapi tanpa jati diri rasanya hampa sekali. Egois? Bisa jadi. Dan memilih pergi lebih dini mungkin bisa jadi pilihan yang paling baik untuk saat ini.
Semakin aku disini, semakin sepi, semakin aku merasa bahwa hidup ini tak lebih dari sekedar perjalanan untuk mati. Apa yang kucari? Pendidikan lagi? Kebahagiaan duniawi? Kekayaan hakiki? Atau apa lagi? Aku mulai kehilangan kendali.
Diujung Kasur kau temukan kakiku bersentuhan dengan kertas-kertas, buku-buku yang merengek untuk dibaca lagi. Aku tau ini adalah kewajibanku, bukankah hak ku untuk merasa lelah dengan semua hal yang kuciptakan sendiri?
Setiap pagi aku akan terbangun dari mimpi yang kau dengungkan dan disambut dengan ketakutan yang kau ungkapkan. Aku akan menanggalkan segalanya dan melemparkannya ditumpukan. Aku adalah kumpulan ketakutan yang kuciptakan sendiri, entah pada apa. Aku tak pernah membayangkan seseorang mampu mebaca ketakutanku sendiri.
Ini hanyalah kumpulan ketakutanku yang mencari tenang atau ambisi kau dan mereka yang menanti kebahagiaan. Ada saatnya, aku menjadi apa yang kuingini sendiri.

Coffee Break diujung usia Quarter Life Crisis (25)

 Alhamdulillah... menghitung hari akan memasuki usia 26. Rasanya tahun ini sangat berbeda dari tahun sebelumnya, matahari sepertinya sudah j...