Sabtu, 17 November 2018

Sayap yang tertinggal #Cerpen6


Sayap yang tertinggal


            Malam ini terasa gerah, sepertinya akan hujan. Kasur springbed dengan sprei abu-abu gelap sukses menambah kelabu ku malam ini. Tidur sendiri di ranjang selebar ini tentu bukanlah hal yang tidak biasa untukku, tapi mengapa malam ini terasa berbeda?. Aku terbangun tepat pukul 01.20 WIB, rasa gelisah menyelimuti tidurku malam ini. Kubuka smartphone disampingku memastikan bahwa benar hari ini adalah hari spesial kami. Kubuka whatsapp, mencari pesan masuk dari Mas Renal.
“Kenapa tidak ada ucapan?” lirihku kemudian mematikan layar ponsel.
             Hubungan jarak jauh dengan suami sendiri adalah hal yang banyak terjadi namun tidak mudah untuk dilewati. Hal ini yang sering membuatku berpikir mengapa semuanya terasa lebih rumit setelah pernikahan, bukankah sebelumnya kami lebih bahagia dari ini?. Sembari menunggu kantuk, kusingkirkan selimut yang sedari tadi kehilangan fungsinya. Berjalan gontai menuju dapur untuk membuat matcha latte kesukaan Mas Renal. Berharap segelas matcha ini bisa meringankan rindu yang entah kapan bisa tersalurkan. Kuhirup aromanya, setiap celah rasa pada matcha ini seakan membawaku pada ingatan bertahun-tahun lalu.
            Mas Renal adalah seorang pria yang kukenal diakhir masa kuliahku dulu. Seorang pria yang sering kusebut “Ganal dari Malang”. Apa itu ganal? Ganal dalam bahasa daerahku bisa disebut besar, sesuai dengan perawakan Mas Renal yang cukup berisi dan menghangatkan. Tawanya renyah, suara seraknya indah jika melantunkan lagu payung teduh favoritku, hanya saja banyaknya perbedaan kadang membuat kami sering berargumen. Dia sangat mencintai musik bahkan kulihat setengah dari nafasnya adalah musik, dan aku sangat suka menulis terlebih saat ditemani petikan gitarnya. Mas Renal satu tahun lebih muda dariku tapi tingkat kedewasaannya jauh diatasku. Tiga tahun setelah perkenalan, kami memutuskan menikah dan hari ini tepat satu tahun umur pernikahan kami.
            Musim gugur diakhir 2014 itu menjadi titik awal perkenalan kami. Malang yang sendu dan bersahabat selalu menawarkan kedamaian disetiap akhir tahunnya. Udara sejuk, bunga berguguran, dan hujan yang sering ragu untuk turun sudah jadi momen paling ditunggu-tunggu bagi sebagian besar mahasiswa di kota ini, malang syahdu kami menyebutnya. Konser urban jazz kala itu sukses membuatku sadar bahwa Tuhan tidak pernah main-main akan rencanaNya.
“Kenapa aku bisa sepercaya ini sama kamu yang baru kukenal?” ucapku tanpa pikir panjang, sambil sesekali melihatnya dari kaca spion motor matik itu.
“Mungkin Tuhan punya skenario?” Jawabnya asal dengan senyum simpul tidak ikhlas dari wajah sangarnya.
            Perjalanan kami tidak pernah mudah, banyak peralihan-peralihan yang terjadi seiring berjalannya waktu. Seperti musim gugur, dia adalah fase peralihan dari musim panas menuju musim dingin. Musim yang paling ditunggu-tunggu oleh orang banyak, walaupun kadang datangnya membuat banyak orang bertanya-tanya, pergi atau menetap kah? bertahan atau meninggalkan kah? dan berganti atau bersama kah? musim gugur selalu membawa banyak tanda tanya.
            Tanpa sadar secangkir matcha yang dari tadi menemaniku bernostalgia ternyata sudah sampai didasarnya. Lantunan azan subuh menyadarkanku bahwa Mas Renal benar-benar lupa akan hari kami, padahal sebelum menikah dia selalu jadi yang paling ingat dan tepat waktu untuk memberi ucapan. Kuambil air wudhu demi menenangkan jiwa yang terlalu perasa ini. Gerakan sholat yang kukira sederhana ternyata mampu membunuh segala rasa gundah. Allah memang maha hebat memberikan penawar dari segala rasa, dengan cara sesederhana sholat, dengan gerakan menghamba yang paling istimewa dari segala bentuk ibadah dimuka bumi ini.
            Air Tuhan turun, kurapalkan doa-doa panjang setelah sholat. Pernah kubaca bahwa hujan adalah saat yang paling baik untuk berdoa, karena milyaran butiran air itu akan mengantarkan doa kita lebih cepat pada sang pencipta.
“Assalamualaikum mas, sudah sholat subuh?” Tanyaku pada Mas Renal lewat ujung telfon.
“Waalaikumsalam, sudah sayang.” Jawab Mas Renal seadanya.
“Suaranya lemes banget, belum ada tidur?”
“Iya, kerjaan banyak banget. Ini mau siap-siap ke bandara, doanya ya”
            Belum sempat kujawab pintanya, telfon terputus. Beginilah resiko memiliki suami yang bekerja dipedalaman, sulit sinyal sudah jadi hal yang biasa. Aku semakin murung pagi ini, Mas Renal tidak biasanya sedingin itu. Tidak biasanya sedatar itu. Tidak biasanya lupa menyapa jabang bayi yang ada dikandunganku, anak pertama kami. Aku mencoba terus berpikir positif, mungkin karena hari ini adalah jadwal pulangnya, toh kami juga akan bertemu sebentar lagi.
            Jendela yang sejak tadi kering mendadak basah oleh hujan yang memang sudah diperkirakan turun pagi ini, pertanda musim gugur akan segera berakhir. Sambil menyiapkan sarapan kesukaan Mas Renal, nasi goreng pete. Kuhidupkan tivi dan menikmati beberapa berita yang memang selalu kutunggu-tunggu. Beberapa menit kemudian, masuk pesan whatsapp dari pria yang paling kusayangi ini.
“Mas berangkat. Jarak kita memang jauh, tapi sejauh apapun jarak doa pasti sampai, hanya doa bisa mendekatkan yang jauh. Ini tiket mas, nanti jemput ya J” Isi pesan Mas Renal yang masuk pukul 06.12 WIB disertai foto tiketnya pagi ini.
Setelah pesan itu masuk aku memilih langsung menelepon mas dan ternyata nomor sudah tidak aktif, pertanda mas sudah take off.
            Aku masih sibuk menyiapkan nasi goreng pete yang aromanya mengisi seluruh ruang dirumah yang terbilang luas ini. Rumah yang kami perjuangkan bersama sejak belum menikah, yang sayangnya lebih sering kutempati sendiri. Seandainya dulu aku lebih mengerti apa yang sebenarnya kukejar, apa yang sebenarnya menjadi impianku. Memilih ego untuk terus menggapai karir dikota ini ternyata tidak pernah menemui ujungnya, hingga aku terpaksa harus berjarak dengan suamiku sendiri. Hanya bertemu sebulan sekali diawal bulan, itupun kalau Mas Renal tidak sibuk dengan pekerjaannya di Kalimantan. Mungkin ini yang disebut ambisi tak berujung.
“Assalamualaikum Ibu, ada apa ibu?” Jawabku mengangkat telfon dari Ibu Mas Renal.
“Waalaikumsalam nduk, Masmu sudah berangkat? Naik pesawat apa nduk?” Tanya Ibu tanpa basa-basi seperti biasanya.
“Kayaknya Lion bu, tapi gak tau detailnya. Kenapa yo bu? Eh ada Mas Renal kirimin tiket barusan. Sek yo bu.” Jawabku sambil membuka chat whatsapp dari Mas Renal beberapa menit yang lalu.
“Liatin nduk
“Lion Air JT 267 bu. Kenapa bu?”
“Allahu akbar, ya Allah lemes awakku. Lemes.” Ucap ibu sambil terbata-bata dan telfon terputus.
            Aku panik tapi tidak tahu harus berbuat apa. Kubaca istighfar berulang kali, yakin bahwa hanya istighfar yang mampu memudahkan segala yang sulit, melapangkan segala yang sempit, menyehatkan segala yang sakit, dan menenangkan segala yang rumit. Ku cari channel di tivi yang menayangkan berita live, dan benar kabar buruk itu menimpaku pagi ini. Pesawat yang ditumpangi Mas Renal dikabarkan hilang kontak pukul 06.28 WIB pagi tadi, tepat 16 menit setelah pesan terakhirnya masuk di whatsapp ku.
            Kumatikan televisi tidak ingin mendengarkan berita itu lebih lanjut. Kuambil air wudhu, memilih mengadu pada satu-satunya peraduan yang kupunya, Allah Shubhanallah wa taala. Aku menangis sejadi-jadinya, takut kehilangan, takut menerima kenyataan, takut untuk tahu apa yang terjadi dengan masku. Aku tahu Allah selalu punya rencana terbaik dibalik segala skenarionya, tapi mengapa skenario seperti ini yang harus kuhadapi? Akankah jabang bayi ini menjadi yatim sebelum ia lahir kedunia? Tidak sanggup aku membayangkannya.
            Ibu menelefon lagi mengabarkan bahwa pesawat Mas Renal tidak dapat dideteksi jatuh di daerah mana, dan kemungkinan selamat sangatlah kecil. Tidak banyak yang kulakukan selain berdoa dan memohon, beberapa teman terdekat dikantor datang menjengukku sekedar memberi semangat dan berbela sungkawa. Walaupun aku tidak akan pernah menerima ucapan duka itu, aku tetap yakin Mas Renal ada disuatu tempat dan akan pulang kerumah kami menanti bayi ini.
            Tidak tahu harus berbuat apa membuatku terus melamun dan terjebak dalam ingatan-ingatan masa lalu. Dulu, aku selalu menulis setiap hari tentang apapun yang terjadi antara aku dan Mas Renal disebuah buku catatan berwarna hitam yang didalamnya berisi tulisanku dan tulisannya. Sayangnya sejak menikah aku tidak lagi melakukan rutinitas itu, hanya Mas Renal yang kulihat sesekali masih menyentuh buku itu entah menulis apa. Ku ambil lagi buku itu dari raknya, sedikit berdebu dan tampak usang dimakan waktu.
Malang, 28 Oktober 2017
            “Bulan depan aku menikah, dengan wanita yang mengajarkanku bahwa tak selamanya musim panas meresahkan, musim dingin menakutkan, dan musim gugur dinantikan. Bagiku segala musim menjadi lebih indah saat dia selalu ada untukku, disaat aku memenangkan egoku dan dia dengan segala kelembutan hati membuatku sadar apa yang sebenarnya aku inginkan. Beruntungnya aku dimiliki kamu.”
            Tidak sanggup kuteruskan membaca tulisan Mas Renal. Tulisan yang sudah ditulis setahun lalu tapi baru kusadari sekarang. Kenapa baru hari ini aku lebih peduli padanya? Kenapa aku baru sadar kalau dia sangat berharga buatku? Suami yang Insya Allah menuntunku hingga jannah, yang kini tidak pernah kutahu dimana keberadaannya. Kulanjutkan membaca halaman berikutnya.
Malang, 3 Januari 2018
            “Boleh aku bertanya? Bagaimana caranya menggapai bintang sedangkan sebelah sayapmu tertinggal? Bagaimana mampu terbang jika separuh energimu tak berdaya? Bagaimana melaju pesat sedang kau berlari tanpa kaki? Bagaimana melalui musim-musim yang kita nantikan tanpa saling disisi? Istriku... begitu besar ambisimu, apakah lupa pada apa yang sebenarnya jadi tujuan kita dulu? Apakah lupa bahwa akulah bintang yang ingin kau gapai itu?. Bermimpi tidak pernah salah sayang, hidup memang tidak melulu soal cinta, aku tahu impianmu besar dikota ini. Tapi sanggupkah kita berjalan dengan sayap yang tidak utuh? Seandainya kamu lebih mengerti, aku tidak akan pernah bisa terbang dengan satu sayapku yang tertinggal.”
            Pecah tangisanku membaca lembar terakhir yang Mas Renal tulis dibuku ini. Tidak pernah kusangka jarak kami selama ini ternyata menyiksanya. Dia tidak pernah mengeluh padaku, sikapnya tetap manis, dia selalu mendukung jalan apapun yang kupilih. Dibalik wajah tegas dan berwibawa, ternyata dia serapuh itu tanpaku disana. Aku merasa menjadi wanita terbodoh yang menyia-nyiakan ladang pahala didepan mata demi memenangkan ambisiku, egoku untuk berkarir yang sebenarnya tidak begitu kuperlukan selain untuk kepuasan batin semata. Bahkan aku lupa kapan terakhir kali menyetrikakan bajunya, menyiapkannya makan tiga kali sehari, nonton bioskop midnight seperti saat kuliah dulu, kapan terakhir mendengarkannya menyanyi, menanyakan perkembangan lirik-lirik lagunya, aku terlalu sibuk dengan duniaku.
            Sebulan setelah kejadian itu, rasa sedih tidak kunjung berkurang walaupun kini aku ditemani ibu, kakak, serta ibu mertua dirumah, mengingat sebulan lagi persalinan berlangsung. Rasa sedih itu semakin menjadi-jadi tiap kuingat segala kesalahan dan kenangan bersama Mas Renal dulu. Walaupun kejadian ini sudah sebulan yang lalu aku tidak pernah berpikir Mas Renal meninggal dunia, aku yakin dia selamat dan sedang berada di suatu tempat. Seperti pesan terakhir dari Mas Renal di whatsapp ku sebelum kejadian itu, “Jarak kita memang jauh, tapi sejauh apapun jarak doa pasti sampai, hanya doa bisa mendekatkan yang jauh.” Jadi selama aku tidak pernah berhenti berdoa, Allah akan selalu punya cara untuk mendekatkan kami.
            Tegar Gautama, nama yang kuberikan untuk anak laki-laki kuat yang lahir dari duka ibunya. Kuberi nama Tegar agar dia kuat menghadapi hidup ini bagaimanapun sulitnya, walau hidup kadang tidak sesuai dengan keinginan, walau hidup tak selalu seperti musim gugur yang membawa ketenangan, walau hidup diterjang ombak tinggi tak berkesudahan, sejatinya hidup harus terus berjalan. Karena kehidupan dunia tak lain hanyalah sementara, senda gurau belaka, jadi untuk apa terlalu menikmatinya?.
            Kehidupanku perlahan kembali normal semenjak kelahiran Tegar, anak yang menjadi harapan baruku, sumber segala bahagia yang kutahu inipun bersifat sementara. Walaupun rasa sedih masih terus menyelimuti, aku selalu mencoba bersyukur atas segala ketetapan Allah. Banyak sekali pelajaran hidup yang Mas Renal berikan selama kami bersama, perlahan kubangun rasa ikhlas itu dan percaya bahwa kami pun akan bertemu di Jannah nya nanti. Tugasku adalah merawat dan membesarkan amanah terbesar dari Mas Renal, yaitu Tegar buah hati kami. Sejatinya segala yang sudah menjadi ketentuan Allah akan tetap terjadi, bagaimana kita sebagai manusia ikhlas menerima segala ketetapannya. Hanya Allah yang tak akan mengecewakan, yang mudah-mudahan menyelamatkan kita semua di dunia dan di akhirat. Satu pesan Mas Renal yang akan selalu kuingat,aku tidak akan pernah bisa terbang dengan satu sayapku yang tertinggal”. Aku percaya suatu hari sayap kami akan kembali utuh, terbang tinggi menggapai pencapaian tertinggi bagi manusia, surgaNya.
           





GLOSARIUM
a) Nduk = Panggilan untuk anak perempuan dalam bahasa jawa
b) Awakku= diriku dalam bahasa jawa          
c) Sek yo = ‘Sebentar ya’ dalam bahasa jawa

Note: Cerpen diatas meraih juara 1 pada perlombaan Cerpen Autumn's Day FIKES UMM 2018
           








Senin, 10 September 2018

KKN (Kuliah Kerja Ngawur)

Kalau boleh sedikit bercerita, bagaimana memulai kisah bersama 34 orang yang gak pernah kenal sebelumnya dan 'dipaksa' menyatu demi terwujudnya cita-cita 'dari UMM untuk bangsa'
Dimulai dari ngurusin arca, taman, krpl, ngajar dokter kecil di sd, jagoan bunda di TK, bikin majalah desa, sosialisasi kerupuk lele dan pengemasan kopi, ngajar ngaji di TPQ, ngajar bimbel hampir setiap hari, latihan pbb buat persiapan 17-an, bantu ngecor bapak bapak desa, detektif rumah horor pak wo, nobar horor setiap hari, bantu imunisasi, posyandu, dan....
antri mandi.

Tinggal dirumah yang terbilang cukup 'sempit' untuk ditempati 19 orang wanita beserta aroma rumah yang khas banget karna nyatu sama kandang sapi, sukses buat aku rindu setiap menulis kalimat ini

temen-temen yang berasal dari jurusan, fakultas serta daerah yang beda-beda buat kita dituntut untuk mencoba saling memahami satu sama lain, memaklumi setiap sikap yang kadang tak enak dihati, mencoba mengerti bahwa tak setiap orang akan menjadi sesuai keinginan kita. iya! semuanya memang butuh pembiasaan

ada yang mandinya lama banget bikin yang antri kadang pengen mati, ada yang bajunya berserakan dimana-mana karna emang gak terbiasa rapi, ada yang ribut banget dikala kita-kita udah pada cape karna proker seharian, ada yang gak pernah sadar sama jadwal piket beli galon sampe kita hampir skarat karna dehidrasi. macem-macem deh.

but seriously, sebulan sama mereka buat aku belajar banyak. gimana sih ikhlas yang sebenernya, gimana sih agar kita gak mudah ngejudge orang lain sebelum tau cerita dibalik sikapnya, gimana kita sadar kalau ternyata pembelajaran itu bisa diambil dari apa aja, dari hal sekecil apapun.

34 orang yang aku yakin semuanya adalah orang baik, sukses bikin aku punya cerita sama masing-masing dari mereka.
rezita panutanqu, emma partner konserku, deva wanita 1000 problem, ummu tukang ketawa, dyar teman tidurku, dana si dandut, bunda asha yg istriable dan ibuable banget, ratu rully dan kopinya yg manthul, gendaga si laba-laba, masita yg sok kalem, bara bu dokter, novinda calon guru unch, ade ketua geng kamar samping, ayu ayototan, vidi yg jago konsep, anes yg hobi sendirian, dena yg ceriaaa, kordes aris yg amat jago masak, eng si peserta terbaik, danis kadivku yg paling perhatian, wildan tukang bully yg muntungnya kada beapik, pak abdi yg selalu ada ditiap momen, pikri teman sekelasku, Nanda killer iyakah, elfan loundry, adib tenda, ujang arca, sultan krpl, daus yg ga pernah aku dengar suaranya, bli fadel, ilham MUA hitz malang, putra dan dea yg selalu bersama,  daaan kalian semua yg bikin aku rindu terus. Terimakasih rek, cerita tulungrejo kita gak bakal bisa dilupain.

Rumah pak wo, rumah bu ami, poskamling tempat kita rapat (kesehatan), sd yg rame, tk yang seru, indomaret tempat paling asik buat nyembuhin pikiran, nasi goreng jawa, mie ayam kecamatan, mie ayam wonogiri, waduk selorejo, pasar dan segala penjualnya termasuk bule getas :((((, bule susu bantal, pale pukis, tak lupa juga bakso lembu yg paling fenomenal, sosis 500-an, sapi-sapi bu ami yg selalu menemaniku, balai desa yg wifi nya kenceng, dan ter terimakasih untuk kursi ruang tengah pak wo yg mengantarkan ku pada jutaan air mata kala berbagi kisah dengan teman-teman luarbiasa. Sore hari dan senja jadi tak sama lagi.

kudengar hari ini hujan lebat tanpa tanda henti,
gemuruh angin ikut serta,
apa itu..?
kukira benar, ini rindu....


14-Agustus-2018
5 hari setelah pisah,
kukira rindu tidak seberat ini

Minggu, 13 Mei 2018

Pindah pun butuh proses ... #CoffeeBreak15

Berpindah dari satu tempat ke tempat yg lain adalah perihal yang tidak mudah. Mungkin jika hanya sekedar berpindah dari malang ke surabaya memang adalah hal yang mudah, tapi tidak dengan berpindah dari tempat yang buruk menuju tempat yang lebih baik. Hijrah dalam bahasa adalah kebalikan dari menyambungkan, yaitu memutus. Memutus hal-hal yang buruk, meninggalkan hal-hal yang Allah larang. Syarat hijrah adalah dengan hati nurani, dengan niat yang syiddiq (jujur), jika niatnya untuk dunia maka hanya dunia lah yang didapatkannya, jika niatnya karena Allah dan Rasul maka akhirat lah yang didapatkannya.
Hijrah membutuhkan pengorbanan, tentu. Mengorbankan hartanya, pekerjaannya, keluarganya, bahkan segala kenikmatan dunianya. Hijrah membutuhkan proses, tentu.
Berbicara tentang hijrah, banyak muslimah-muslimah yang makin hari semakin menyempurnakan pakaiannya. Menyempurnakan akhlaknya, ibadahnya, dan segala hal yang mendukung proses hijrahnya. Banyak... sangat banyak.
Tapi banyak juga yang sempurna niat hijrahnya, sempurna pakaian menutup auratnya, tapi belum mampu sempurna dalam menjaga hawa nafsunya terhadap godaan duniawi, pacaran misalnya. Hal ini manusiawi karena hijrah pun butuh proses, tolong jangan salahkan jilbab syar'i nya, jangan salahkan niat hijrahnya.
sering bahkan hampir selalu setiap berkumpul dengan kawan dimana saja, ada saja cibiran demi cibiran dilontarkan pada teman-teman yang berlabel hijrah tapi masih pacaran. Miris. saya lontarkan argumen untuk menjelaskan bahwa 'aurat' dan 'pacaran' adalah dua hal yang nyata berbeda. Masih banyak diluar sana orang-orang yang hijrah dan menyempurnakan hijrah seutuhnya. Tapi selalu saja hal kecil menjadi pandangan menyeluruh, seperti nila setitik rusak susu sebelanga, kaum hijrah bagai dipandang sebelah mata.
Pandangan orang lain adalah hak pribadinya, argumen saya adalah kewajiban saya untuk menjelaskan dan akhlak para muslimah adalah kewajiban mereka untuk memperbaiki dan menyempurnakan dengan sebaik-baiknya.
Saya belum menjadi sebaik-baiknya muslimah dan saya memang tak setuju dengan teman-teman yang hobi dakwah tapi masih melakukan maksiat tapi setidaknya jangan men-judge seseorang yang sudah berupaya memperbaiki diri tapi belum mampu sempurna dalam hijrahnya. Setidaknya mereka sudah berniat, mengupayakan, dan menyempurnakan hal-hal yang memang Allah wajibkan. Jangan merasa diri kita sudah lebih baik, karena manusia terbaik seperti Rasulullah pun pernah melakukan salah.

Jumat, 04 Mei 2018

Berkepribadian ganda? #CoffeeBreak14

Semakin kita tumbuh dan mendewasa, banyak hal yang kita pikir sepele ternyata sangat penting untuk dimengerti. Jenis kepribadian misalnya? sebelum ngobrol agak jauh, lets talk about our self.

Introvert atau Introversion adalah kepribadian manusia yang lebih berkaitan dengan dunia dalam pikiran manusia itu sendiri. Jadi manusia yang memiliki sifat introvert ini lebih cenderung menutup diri dari kehidupan luar. Mereka adalah manusia yang lebih banyak berpikir dan lebih sedikit beraktifitas. Mereka juga orang-orang yang lebih senang berada dalam kesunyian atau kondisi yang tenang, daripada di tempat yang terlalu banyak orang.

Ambievert atau Ambiversion adalah kepribadian manusia yang memiliki 2 kepribadian, yaitu Introvert dan Extrovert. Manusia dengan kepribadian ambievert dapat berubah-ubah dari introvert menjadi extrovert, atau sebaliknya. 

Extrovert atau Extraversion merupakan kebalikan dari Introvert. Manusia dengan kepribadian extrovert lebih berkaitan dengan dunia di luar manusia tersebut. Jadi manusia yang memiliki sifat extrovert ini lebih cenderung membuka diri dengan kehidupan luar. 

Jujur, berada ditengah keramaian adalah hal yang paling kubenci. seperti ngopi-ngopi tanpa arah, rapat besar yang melibatkan banyak orang, dan diskusi basi yang topiknya pun tak menarik perhatian.
Sulit menerima orang baru, sulit mengungkapkan pendapat didepan orang baru, dan segala hal yang memerlukan adaptasi lebih. Tidak mudah terbuka dan percaya pada orang lain, bahkan untuk berbincang lebih saja tidak ada keinginan. Kadang hal ini membawa banyak kesulitan, walaupun aku tahu diriku ini tidak sepenuhnya introvert.
Setelah lama beradaptasi, memahami karakter dan sikap orang tersebut, aku bisa lebih ekstrovert dibanding para ekstrovert lainnya. Tapi dengan catatan, ketika aku sudah mengenalnya dengan baik.
tidak jarang banyak orang diluar sana yang menilai para introvert adalah orang yang aneh. Aku benci ke mall, jika tidak ada tujuan yan jelas. aku tidak begitu tertarik ke tempat rekreasi jika bukan dengan keluarga tercinta, dan aku benci orang baru.
Selalu ada ketakutan dan rasa tidak percaya diri setiap diharuskan bertemu dengan orang baru. Eits jangan salah, walaupun takut aku selalu mencoba keluar dari zona nyaman yang kubuat sendiri. Dari SD hingga kuliah aku selalu mencoba mengikuti banyak kegiatan dan serius didalamnya. Walaupun banyak juga yang kutinggalkan begitu saja heeee.
Dari SD aku sudah dibiasakan mama untuk tampil didepan orang banyak, walau tidak sepenuhnya kunikmati. Mengikuti berbagai lomba mulai dari lomba nyanyi hingga story telling. Mulai dari olimpiade sains hingga jadi MC setiap acara sekolah. Semuanya sudah kucicipi.
Di SMP aku tidak begitu tertarik dengan ekskul yang ada, selain karena memang tidak ada yang menarik kecuali PMR, aku juga kehabisan waktu untuk belajar mati-matian dan bersaing dikelas unggulan yang mengerikan itu. Setidaknya 10 besar paralel adalah hal yang membanggakan waktu itu.
Dan puncaknya adalah di SMA. Seperti ada dendam tersendiri karena saat SMP gak pernah punya waktu buat ekskul, aku bertekad untuk serius ekskul di SMA ini hehe. Mulai dari ikut Marching Band dan sempat tampil diberbagai acara besar tingkat kota, walaupun cuma satu semester. Menjadi pengurus OSIS juga sangat amat kunikmati, seperti memiliki keluarga kedua yang hangatnya masih terasa sampai hari ini. Pengurus OSIS 2012-2014 adalah orang-orang luarbiasa yang mengajarkanku bahwa tak selamanya orang baru itu mengerikan, dan tak selamanya sendiri itu menenangkan. Intinya bersyukur banget bisa kenal dengan mereka ini. selanjutnya adalah menjadi paskibraka tingkat provinsi, prestasi lucu yang gak sengaja ter-impikan karena sesuatu ehhh wkwk. Masuk dalam lingkungan yang benar-benar baru dan asing, adalah pencapaian yang waw untukku sendiri. btw, walaupun mengikuti segudang kegiatan aku tetap konsisten 5 besar setiap semseternya, Alhamdulillah.

Overall, itulah sekian banyak kegiatan yang pernah kucicipi selama sekolah dulu. waktu kuliah? oiya kalau kuliah sekarang aku cuma ikut BEM dan gak serius ngejalaninnya, bukan karena gak suka tapi belum nemuin point dimana aku cinta sama perkumpulan ini he-he. Selain BEM aku juga suka nulis-nulis kaya gini nih, cerpen / coffee break  atau isu-isu yang lagi marak gitu. Aku juga lagi nyoba buat usaha stuff-stuff lucu yang kadang membuatku gagal untuk menjualnya karena lebih milih buat dipake sendiri -__-

Dari kegiatan-kegiatan yang kuceritakan diatas apa kalian bisa mengambil kesimpulan? Sebenarnya aku ini introvert / ambivert / ekstrovert?

Aku pun tak mengerti~~

Yang pasti, aku selalu merasa nyaman dan aman ketika berdiskusi dengan pikiranku sendiri. ketika menulis dan menuangkan apa yang membuatku resah. ketika ngeteh diruang keluarga bersama orangtua dan saudara-saudaraku. ketika senja dan mengendarai motor sendiri disepanjang jalan bandung (malang) dan disepanjang jalan menuju bandara (tarakan). ketika berbelanja apapun yang sudah kulist dari jauh-jauh hari dan sendirian, tanpa menunggu ataupun ditunggu. ketika melakukan aktivitas sesuai jadwal yang sudah kutentukan. dan ketika tulisan ini dipahami oleh seseorang disana yang kesulitan memahamiku secara langsung eitssss.

Ada seikit pesan yang kuambil dari satu buku yang keren, lets read!

Dalam hidup kamu akan bertemu dengan banyak orang yang memiliki tipe dan karakter beragam. Ada yang seindah bunga mawar, ada yang seperti amukan ombak, ada yang sekokoh gunung, ada yang secerah langit biru, dan ada pula yang misterius seperti hujan.  Mungkin kamu juga akan menemukan seseorang berkarakter 'kejam' seperti topan ganas yang menyapu semua halangan didepannya. Mungkin kamu pun akan bertemu dengan mereka yang mengejutkan seperti petir, mereka dengan karakter sedingin es, atau mereka yang menghangatkan seperti api unggun.
Mereka dengan berbagai karakter mungkin akan mensuplay sinar matahari, menurunkan hujan, membawamu ke taman bunga yang indah, atau membawamu ke padang gurun yang kering. mereka dapat memberikanmu cahaya atau justru meredupkan cahaya yang kamu miliki. mereka akan menawarkanmu obat atau justru memberikanmu racun.
Jangan takut untuk "menjelajahi" mereka. jangan takut untuk bertemu setiap orang yang berbeda. jangan menutup dirimu untuk merasakan 'sentuhan' dari tiap-tiap orang yang berbeda.selalu ada sesuatu yang berbeda di genggaman dari tiap-tiap orang yang kau temui. mereka semua memiliki materi pelajaran yang berbeda yang akan mengajarimu tentang hidup. Pelajaran yang akan kamu pakai untuk mencapai kualitas hidup yang lebih tinggi. Untuk jadi dirimu yang terbaik.





Sabtu, 07 April 2018

Melawan arus #Cerpen5




            Kubuka mata seperti biasanya, kutarik nafas panjang tanpa jeda, ternyata hari ini masih sama. Matahari masuk dari sela-sela jendela seukuran tubuhku sendiri, suara berbagai macam binatang khas desa ini sudah menjadi senandung yang indah untukku. Dengan mata yang masih sembab karena begadang semalam, kuambil handuk putih yang tergantung dibelakang pintu, dengan malas-malasan melangkahkan kaki menuju kamar mandi umum yang jaraknya amat jauh bagi pemuda yang memiliki rasa malas melebihi apapun sepertiku.
            Setelah 30 menit bersiap kukenakan baju waskat cokelat yang membuatku terjebak di desa ini, kuturuni tangga yang terbuat dari batang yang dibelah, hampir saja aku terpeleset karna membenci rutinitasku sendiri. Bangun pagi, bernafas, mengambil handuk, mandi, dan pergi kerja. Rutinitas yang membosankan, padahal baru dua bulan melalui rutinitas kerja di pedalaman,  bertemankan tekad untuk segera lepas dari tanggung jawab PNS junior sepertiku. Tak banyak cita-citaku, hanya berharap bisa kembali hidup dan berkarya dikota besar bukan didesa tak berkehidupan seperti ini.
            Narai kabar pak guru?” Sapa ma’ Tuwo yang berhasil menyadarkanku dari lamunan keresahan pagi ini.
            Selamat hanjeww ma’Tuwo, bahalap ih” Balasku sekenanya, berbekal kemampuan bahasa dayak seadanya, hasil belajar mati-matian selama dua bulan ini.
            Perjalanan menuju sekolah yang jaraknya sekitar 20 menit dengan jalan kaki, biasanya  akan kuhadapi dengan berbagai macam cobaan hidup. Lumpur didekat pohon besar disimpang jalan desa Boh yang membuatku harus melepas fantopel mengkilap dikakiku, kandang babi Pak Kulo yang baunya semerbak juga menjadi tantangan terberat yang tak jauh dari genangan lumpur tak berkesudahan tadi, dan yang terakhir senandung sappe atau alat musik khas daerah ini yang walaupun terdengar indah tapi sukses membuatku merinding karena suara itu bak muncul tak bertuan, entah berasal darimana.
            Selamat hanjeww pak guru” Sapa bu Asih, guru setengah tua yang menemaniku di sekolah selama ini.
            hanjeww bu Asih” dengan nada datar kujawab sapanya, berharap tidak ada basa-basi lagi setelah ini.
           
            Kabupaten Pontianak, Desa Saham, kecamatan Embaloh Hulu. Daerah yang akan menjadi tempat mengabdiku selama dua tahun ini, murid disini tak banyak hanya 15 orang. Karena sekolah tempatku bekerja ini berada jauh dari kecamatan, memakan waktu 2 jam untuk masuk kedaerahku mengajar. Maklumlah keadaan desa ini masih jauh dari jangkauan pendidikan, banyak anak-anak yang harusnya mengenyam pendidikan tapi terpaksa harus mencari uang dengan berburu dihutan dan berkebun. Berkali-kali kuadakan sosialisasi tentang betapa pentingnya pendidikan pada orangtua mereka, tak heran hanyalah penolakan dan terkadang makian yang kudapat.
            Melihat keadaan sekolah yang masih sepi, kusempatkan membuka buku milik wanita yang tak pernah kutemui ini, yang beberapa hari lalu kutemukan terselip di antara tumpukan buku murid-murid.
“Intan?” Lirihku melihat nama yang tertera disudut buku bersampul cokelat yang pudar termakan usia.
            Buku itu terlihat tak menarik dari luarnya, setelah kubuka dan mencoba memahami kata demi kata yang hampir terhapus karena usang akhirnya kusimpulkan bahwa benar ini adalah catatan harian seseorang, atau umum disebut diary. Kubaca perlahan, membuatku seolah-olah berada didalam cerita itu.
            Senin, 14 September 2015. Hari ini genap dua bulan aku menjadi seorang guru, rasa bangga tentu terasa walau muridku tampaknya sangat sedikit dibanding sekolah dikota sana. Aku bangga menjadi guru seni budaya disekolah pedalaman seperti ini, yang walaupun kemampuanku tampaknya tak sepadan dengan kemampuan muridku. Hahaha, jujur saja aku kesepian tapi akan kucoba untuk melalui ini sampai tuntas, lihat saja nanti.
            Lores, nama murid kebanggaanku. Tubuhnya tinggi tapi agak kurus untuk anak seusianya. Lores terlihat garang tapi amatlah penyayang, pernah kulihat ia memeluk kucing yang sedang terluka dipinggir jalan. Meyla, murid kesayanganku. Tubuhnya putih khas suku dayak, wajahnya cantik tak bernoda ditambah lesung pipi manis disudut bibirnya. Ada sepuluh anak lain yang juga muridku, tapi mereka berdualah yang paling membekas.
            “Pak Anton, anak-anak sudah hadir semua. Takan Pak” Panggilan bu Asih menyadarkanku dari lamunan didepan buku ini.
            “Ah iya bu, sebentar saya masuk kelas” Segera kututup diary Intan, dengan rasa penasaran yang semakin menggebu untuk menyelesaikannya.
            Mengajarkan matematika, bahasa Indonesia, dan beberapa sejarah tentang Indonesia kuakhiri pengajaran hari ini lebih cepat dari biasanya.
            Selamat bentuk andau anak-anak, jangan lupa pr nya dikerjakan ya. Hati-hati dijalan.” Kalimat penutup sederhana tanpa makna yang selalu kulontarkan setiap kali mengantar mereka ke gerbang sekolah.
            Kubuat kopi hitam disudut meja kantorku, sebagai peneman melanjutkan diary Intan yang membuatku bergairah untuk mengetahui lebih jauh. Kopi ini tanpa gula, tapi kurasa selalu lebih manis dari hidupku, kuseruput perlahan dan membuatku tenggelam dalam tulisan-tulisan penuh makna milik wanita tanpa wujud ini.
            Senin, 20 Januari 2016. Genap setengah tahun aku mengabdi didesa ini. Tadi pagi  kusempatkan bercermin di kamar ma’Tuwo, tak menyangka diri ini sudah semakin kurus, tirus, dan tak terurus. Hahaha akhirnya aku berhasil kurus walaupun perlu patah hati dulu. Lets read, selama enam bulan ini aku sudah lama tak menyempatkan menulis diary lagi. Bukan lupa padamu diaryku, hanya saja waktuku yang tak ada. Dua bulan lalu aku melatih anak-anak untuk ikut festival budaya di Jakarta. Keren kan? Aku gak nyangka mereka bisa mewakili kecamatan, kabupaten, hingga provinsi untuk bertanding di ibukota. Walaupun tak mudah mematahkan prinsip ketua adat agar memperbolehkan mereka keluar dari daerah ini untuk mengikuti lomba.
            Banyak pengalaman pahit dan manis tentunya, kamu tau Dion? Iya pacarku itu, sampai tega memutusiku hanya karena beralasan aku tidak ada waktu untuknya lagi. Aku kesepian, jujur saja. Dia lupa siapa yang selalu ada untuknya saat kuliah dulu. Jadi ngelantur nih hehehe, lanjut ke cerita festival tadi ya. Lores dan Meyla yang jadi tokoh utama dalam teatherku, kau tau darimana inspirasi itu? saat aku menonton salah satu teather disudut Kota Bandung bersama Dion beberapa tahun lalu.
            Stop! Jangan bahas Dion lagi. Aku bangga terlahir menjadi anak Indonesia, menjadi seorang guru, apalagi seorang guru seni seperti sekarang ini. Indonesia memiliki ribuan pulau, ribuan suku, dan jutaan manusia. Bukankah hanya di Indonesia kau bisa menemukan apa itu damai dalam keberagaman? Apa itu mencintai budaya sendiri? Indonesiaku sederhana dan apa adanya. Mengabdi di pedalaman desa embaloh hulu, mengajari murid-murid yang luar biasa, dan membantu mereka mengenal negaranya sendiri bahkan dunia. Menyadarkan mereka bahwa dunia bukan hanya sekedar hutan dan kebun, bahwa hidup bukan hanya sekedar makan apa kita hari ini?, tapi hidup adalah tentang mimpi, tentang luasnya Indonesia ini, betapa indahnya berbagai budaya yang ada didalamnya. Ahh aku sendiri baper menuliskan ini, belum sempat kuceritakan tentang festival tapi obor penerang rumah kami sudah harus dimatikan pertanda waktu tidur malam ini. Akan kulanjutkan besok yaa? Selamat tidur diaryku.
            “Pak Anton tidak pulang? Sudah jam makan siang pak, mari makan dengan saya diwarung ma’tuwo” Lagi-lagi sapa bu Asih menyadarkanku dari buku diary ini.
            “Oh iya bu, silahkan duluan saja bu. Saya makan di rumah betang pak Uno saja bu.” Alasan penolakanku karena sedang malas untuk berbincang lebih jauh.
            “Wah enaknya Pak Anton punya orangtua asuh seperti pan Uno ya, baik hati. Saya duluan ya pak”
            Pak Uno memang baik hati karena mengizinkan guru bujangan sepertiku untuk tinggal disalah satu kamarnya. Rumah betang pak Uno adalah satu dari tiga rumah betang yang terhitung paling besar di desa ini. Rumah yang merupakan pusat kebudayaan dan aktivitas masyarakat dayak. Yang mana merupakan simbol kebersamaan, kesetaraan, dan hidup gotong royong. Tidak ada kesenjangan hidup bagi masyarakat, semua berhak memiliki hidup yang lebih baik. Rumah ini adalah tempat dimana segala cinta dan kehangatan bermuara, walaupun aku sendiri belum merasakannya.
            Dengan air yang masih menetes dari rambutku sisa mandi sore ini, kuambil baju kaos putih dan celana bola warna biru yang menjadi andalanku. Kutekadkan niat hari ini untuk menyelesaikan buku diary tanpa pemilik ini.
“Pokoknya harus selesai malam ini juga, harus, kudu, mesti.” Ucapku bermonolog pada diri sendiri.
            Kubuat kopi hitam tanpa gula untuk menemani senja menuju malamku bersama diary lusuh ini. Senandung sappe bertalun-talun menambah senja ini semakin mencekam, tidak indah sama sekali pikirku. Senja didesa ini selalu diiringi dengan alunan sappe yang merupakan alat musik khas dayak, tidak ada azan maghrib yang biasa kudengar dirumah, maklumlah daerah ini umat muslim sangatlah minoritas.
            Kuambil posisi ternyaman disudut kamar, ditemani pencahayaan seadanya dari lampu minyak tanah, kubuka diary lusuh yang tidak begitu tebal. Karena bertekad menyelesaikannya malam ini juga, aku memilih untuk membukanya dari tengah buku. Tak peduli bagaimana kelanjutan kisah tadi.
             “Kenapa selalu menulis di hari senin?” tanyaku dalam hati setelah membuka halaman ini.
            Senin, 24 Juli 2016. Genap setahun aku disini. Jujur aku takut, aku takut masa kerjaku didesa ini habis. Lores dan Meylan sudah semakin luar biasa dalam memainkan peran, Candra dan Vivi semakin lincah memainkan jari mereka diatas kanvas, dan suara merdua Piter sukses membuatku menangis haru mendengarnya menyanyi. Awalnya aku tidak menyangka anak-anak dipedalaman seperti ini memiliki kemampuan yang luar biasa, aku takut meninggalkan mereka.
            Aku menceritakan bagaimana sebenarnya dunia diluar sana, mata mereka tampak berbinar mendengarkanku bercerita. Aku bercerita tentang apa itu internet, bagaimana internet mampu membuat dunia terasa bagai dalam genggaman. Bagaimana internet mampu membeli waktu, bahkan memberimu uang tanpa perlu repot berburu dan berkebun,  hanya perlu bercerita dan tertawa didepan kamera dan mengunggahnya di youtube. Mereka terkagum-kagum sampai kesulitan bernafas karena tak hentinya bertanya padaku.
            Aku menceritakan bagaimana pesawat dan kereta api mampu mengantarkanmu ketempat terjauh sekalipun didunia ini. Dengan segala rupa dan sifat manusia, dengan segala macam musim, dan adat istiadat yang berbeda. Mengajarkan pada mereka bahwa dunia ini luas, tak hanya alat musik sappe yang ada, tak hanya rumah betang yang bisa mereka lihat, dan tak hanya menjadi pemburu serta petani kebun yang bisa mereka lakukan.
            “Tapi ketua adat tidak membolehkan kami keluar dari daerah ini bu, budaya disini harus dipertahankan kan?” sanggah Lores memutuskan cerita panjangku.
            Desa ini indah namun menyedihkan, aku berusaha keras membuat anak-anak ini bermimpi. Sekolah setinggi-tingginya dan melakukan perubahan pada desa mereka. Menjadi insinyur, dokter, guru dan apapun yang mereka impikan. Tapi larangan adat didesa ini sukses membuatku tak tau harus melakukan apa dan hanya bisa memberikan keyakinan-keyakinan yang entah akan mereka terima atau tidak.
            Kubuka halaman jauh dibelakang untuk melihat cerita apa yang terjadi selanjutnya pada guru luarbiasa ini.
            Senin, 20 Januari 2017. Lores sudah satu bulan ini tidak pernah lagi pergi kesekolah, Meylan kehilangan partner theater nya. Aku kecewa, jujur saja. Ayah Lores melarangnya melanjutkan sekolah karena tau aku mengajari mereka untuk terus bermimpi, jangan hanya mau menjadi pemburu dihutan, tapi harus membuat perubahan pada desa dan sekolah keluar dari desa ini, sejauh-jauhnya. Walaupun aku tau hal ini bertentangan dengan adat-istiadat yang ada disini.
            Beberapa kali kucoba mendatangi rumah betang Lores, membujuk orangtuanya agar memberikan kesempatan pada anak mereka setidaknya untuk menamatkan SD. Lagi-lagi penolakan yang kuterima, Lores diharuskan membantu orangtuanya dikebun karena dia anak laki-laki pertama dalam keluarga.
            Setelah perginya Lores, semangatku untuk mengajar hampir pudar. Ditambah lagi anak-anak yang lain juga ikut-ikutan sering bolos sekolah demi membantu orang tua mereka. Aku memang tidak berhak melarang mereka, tapi untuk kecewa aku berhak bukan? Apa salah jika aku bermimpi anak-anak dipedalaman seperti mereka harus bercita-cita tinggi? Apa salah jika aku bermimpi anak-anak seperti mereka harus mencintai budaya mereka sendiri tanpa dibatasi oleh ketentuan adat-istiadat yang tak jelas asal-muasalnya. Maaf mungkin terkesan kasar, tapi aku benci aturan ini. Apa salahnya sekolah setinggi-tingginya? Dikota besar, di kota yang memberikan banyak pelajaran bahkan di negara lain? Apa salahnya?. Aku ingin mereka mendapatkan hak yang sama dengan anak-anak dikota, mengenyam pendidikan tinggi dan bebas berkarya dimanapun. Bagaimana bisa maju jika tetap dikampung halaman, air yang mengalir jernih tak akan keruh menggenang kan? Singa pun tak akan dapat mangsa jika tetap didalam kandang. Bukankah anak panah tak akan sampai pada sasaran jika tetap pada busur nya?.
            “Ahh kok mati sih? Dikit lagi loh ini” makiku kesal pada lampu atau apalah ini. Membuatku berhenti membaca diary Intan.
            Lampu didekatku tiba-tiba mati. Kuperiksa dengan saksama, ternyata minyak tanahnya habis. Kubuka laci meja disudut kamarku, terlihat senter hitam peninggalan bapak yang diselipkan ditasku saat pergi kedesa ini. Ternyata barang tua ini berguna juga, pikirku.            Segera kunyalakan senter dan kulanjutkan membaca diary Intan yang semakin membuat penasaran.
            Senin, 5 Juli 2017. Alhamdulillah, genap sudah masa dinasku dua tahun didesa ini. Tak banyak kata yang kuucapkan kali ini. Terimakasih desa indah penuh cerita, selamat tinggal murid-murid kebanggaanku yang mimpinya terenggut oleh adat-istiadat tak bertuan. Kutinggalkan diary ini dengan berharap ada seseorang disana yang akan membacanya dan membantuku mengubah semua ini.
            Setelah ini aku akan pergi jauh, mungkin mengajar mungkin juga hanya menjadi ibu rumah tangga dan mengurus anak-anakku dirumah. Dion minggu lalu melamarku, ternyata kami tidak bisa hidup berjauhan. Cinta itu masih ada. See you diary ku.
            “akhir apa ini? Gak jelas banget endingnya” ada yang lain dihatiku saat membaca ternyata Intan memilih pergi dari desa ini bukan hanya karena masa dinasnya habis, tapi karena pernikahan dengan Dion mantan pacarnya itu.
            Lama aku merenung sambil merebahkan diri dikasur tipis pemberian pak Uno, sambil menatap langit-langit kamar yang tidak kunjung berubah. Gelap, suram dan berdebu. Kutarik kesimpulan bahwa Intan adalah guru yang luar biasa, yang bukan hanya mengajar pelajaran sepertiku tapi juga mengajarkan arti hidup pada murid-muridnya, hal yang belum kumiliki hingga saat ini. Kubulatkan tekad, berjanji pada diri sendiri serta negara ini bahwa aku akan membantu Intan mewujudkan mimpinya terhadap anak-anak pedalaman ini, aku akan membuktikan bahwa adat-istiadat yang membatasi anak-anak ini menggapai mimpinya akan segera kuhilangkan, budaya lama yang memang dicintai orang-orang didesa ini tapi perlahan juga akan mematikan kemajuan bagi mereka. Aku akan memperbaikinya.
            Malam ini adalah malam terbaik sepanjang hidupku, akhirnya kutemukan tujuanku didesa ini. Bukan sekedar mengajar tapi memberikan perubahan pada daerah yang tak tersentuh oleh kemajuan ini. Setelah sekian lama tak meminta pertolongan, akhirnya terucap juga.
            “Ya Allah.. mudahkan hambamu untuk bermanfaat bagi orang banyak. Bantu aku menjadi hambamu yang taat ya Allah”
            Doa singkat tadi seperti bahan bakar yang membakar semangatku untuk hidup lebih baik, merindukan mesjid dan segala aktivitas didalamnya tentu kurasakan. Jujur saja selama aku ditugaskan didesa ini, belum sekalipun aku bersujud pada Tuhanku sendiri. Alasannya sederhana, aku merasa Tuhan tak mendengar doaku dengan mengasingkanku didesa tak berkehidupan seperti ini. Selama ini aku melihat tapi tidur dari kebenaran, aku menatap tapi buta dari kebaikan, lalai demi lalai kulakukan tapi berharap surga sebagai balasannya. Bukankah Tuhan maha pemaaf? Ya aku percaya itu.
            Pagi ini aku tidak mengajar digantikan oleh Bu Asih, demi pergi kerumah ketua adat dan membicarakan masa depan desa ini.
Selamat hanjeww pak Alu” Sapaku dari depan pintu rumah betangnya yang berukiran sarat makna.
“Hei pak guru kita, hanjeww hanjeww” Balas pak Alu dari dalam rumahnya. Pak Alu adalah orang yang bersemangat dan antusias, terlihat dari wajahnya yang tidak tua termakan usia.
            Tanpa basa-basi kuajak pak Alu membicarakan tentang maksudku kerumahnya. Membicarakan tentang perkembangan anak-anak murid disekolah. Kuceritakan tentang mimpi anak-anak berdasarkan cerita dibuku Intan, walaupun aku tak pernah mendengar langsung dari anak-anak itu sendiri. Awalnya pak Alu sangat antusias, lama-kelamaan mimik wajahnya menjadi menyeramkan dan tak hangat seperti tadi. Aku memilih menyudahi perbincangan ini dan mencari cara lain untuk meruntuhkan prinsip pak Alu.
            Kulalui hari-hari berikutnya dengan semangat yang sama. Belajar dari buku Intan, kuberikan anak-anak pedalaman ini semangat motivasi yang lebih berapi-api, yang tak hanya membuat mereka kesulitan bernafas karena antusias bertanya tapi juga membuat mereka tak berkedip ketika aku menggambarkan bagaimana mempesona nya budaya diluarsana. Bagaimana tari bebilin dari Kalimantan Utara yang berasal dari cerita rakyat mengerikan, bagaimana lagu suwe ora jamu yang sarat akan makna, dan bagaimana budaya-budaya lain yang juga mempesona bukan hanya untuk diketahui tapi dirasakan langsung.
            Akhirnya Lores kembali ke sekolah setelah kuberikan pilihan pada orangtuanya. Aku menawarkan bibit unggul yang tidak sedikit untuk perkebunan mereka, yang kuambil dari teman dikota. Dengan imbalan Lores harus kembali kesekolah. Tak lain dan tak bukan, orangtuanya melepaskan Lores dengan setulus hati.
           
            Setelah melakukan pendekatan dengan Pak Alu karena sering membantunya berburu diakhir pekan, berbagi cerita dan pengalaman dengannya. Membuat Pak Alu sedikit demi sedikit luluh padaku. Ia mulai antusias jika kubahas tentang betapa majunya Indonesia sekarang ini, betapa dunia menjanjikan perubahan yang luar biasa pada kehidupan manusia, bagaimana kita tidak perlu susah-susah mencari bibit unggul sendiri karena dikota sudah banyak teknik pertanian yang maju, bagaimana kita tak perlu susah payah berburu hanya dengan senjata tradisional, dan bagaimana indahnya budaya diluar sana selain alat musik sappe yang biasa dimainkan Pak Alu. Melihat perkembangan ini, aku yakin kemajuan desa ini sudah didepan mata.
            “Pak guru bara kueh? Besok dipanggil Pak Alu kerumah betang.” Sapa ma’Tuwo saat aku baru pulang dari rumah Lores mengantarkan bibit yang kujanjikan.
            “Dari rumah Lores ma’. Terimakasih ma’ sudah disampaikan.” Apakah ini pertanda baik, pikirku dalam hati.
            Sampai dirumah pak Alu dengan rasa hati yang tak karuan, kuambil posisi duduk disudut ruang tamu yang cukup luas itu. Entah akan siap dengan keputusan pak Alu atau tidak.
            “Ada apa bapak memanggil saya kesini?” Tanyaku dengan jantung yang hampir berhenti karena lelah berdetak kencang dari tadi.
            “Saya sudah memikirkan saran pak guru selama ini, saya sudah berpikir panjang dan diskusi dengan semua tokoh adat. Dengarkan saya bercerita sedikit, saya lahir dari ibu dan bapak asli suku pedalaman disini, saya dibesarkan dengan ayah yang keras tanpa ampun. Berburu dan berkebun adalah satu-satunya pekerjaan untuk kami. Ayah saya juga ketua adat disini sebelum akhirnya ia meninggal karena obat yang didapat dari kota. Kau tau kan obat apa yang membuat manusia gila dan melupakan tuhannya? Obat yang kejam, merenggut nyawa, serta harapan setiap orang yang memakannya. Masa remajaku diisi dengan melihat ayah yang sakaw disudut rumah karena kehabisan obat, ibu yang pergi kesana-kemari mencari uang demi membelikan barang haram itu hanya agar ayah tidak kesakitan. Kami bodoh, kami tak tau obat itu adalah cara paling cepat memanggil malaikat maut.” Pak Alu menceritakan dengan mata berkaca-kaca.
            “saya pernah punya cita-cita, saya ingin sekolah tinggi tapi desa kami belum tersentuh pendidikan saat itu. Saya pernah punya cita-cita menjadi dokter yang bisa menyembuhkan orang banyak termasuk sakit ayah yang saya kira adalah penyakit. Melihat betapa kejamnya pengaruh narkoba yang membunuh ayah. Hal itu membuat saya sebagai penerusnya yang kala itu beranjak dewasa, memutuskan untuk menghentikan segala aktivitas yang berhubungan dengan dunia luar, dunia selain desa kami. Saya benci kota, tak ada satupun anak yang boleh sekolah keluar desa kami, kalaupun itu terjadi ia tak akan boleh lagi menginjak desa ini selama-lamanya, meninggalkan semua keluarga dan rumahnya.” Cerita pak Alu seakan tanpa jeda, disertai mimik kecewa sedih dan marah yang menjadi satu.
            “Tapi kota tidak semua berpengaruh jahat pak, segala kebaikan juga bisa kita temukan disana.”
            “Diam. Saya belum selesai. Setelah saya berpikir dan mengenal guru sepertimu dan Intan. Pikiran saya terbuka agar anak-anak didesa ini bisa menggapai mimpinya. Saya tau tidak selamanya diluar sana bisa berdampak buruk untuk desa ini, karena desa juga tak selamanya berdampak baik pada mereka. Segenap hati saya serahkan mimpi anak-anak itu dipundakmu, bantulah mereka menggapainya, kenalkan mereka pada dunia yang luas ini pada budaya yang beraneka ragam di Indonesia, ajarkan mereka untuk mencintai budayanya tanpa harus dibatasi oleh keterbatasan. Bantu dia pak guru” Pak Alu mengakhiri cerita panjangnya dengan senyum tipis disudut bibirnya, sambil menepuk pundakku yang dari tadi terdiam tanpa sanggup berkata-kata.
            Hari-hariku didesa ini semakin menyenangkan, kami dihadapi dengan berbagai kompetisi dikota. Kompetisi budaya maupun pengetahuan. Tidak lama lagi untuk kedua kalinya Lores dan Meyla akan pergi ke Jakarta menghapi festival budaya. Hari ini, besok, dan seterusnya akan kutanamkan pada mereka bahwa mereka semua sama dengan anak lainnya. Tak peduli berasal darimana, bersuku apa, berkududukan apa, mereka semua sama. Anak Indonesia yang berhak untuk menggapai mimpinya.
            Kepergian ke Jakarta kuniatkan memang untuk membimbing Lores dan Meyla di festival, tapi disamping itu terselip tanda tanya kecil dihatiku, dimana Intan?. Mendengar kabar dari ma’ Tuwo bahwa Intan sekarang mengajar seni disalah satu sekolah dasar di Jakarta, membuatku semakin semangat untuk membawa Lores dan Meyla kesana. Berharap bertemu dengan wanita yang kukagumi dari tulisan-tulisan singkatnya.
           
            Penampilan Lores dan Meylan luar biasa, diluar ekspektasiku. Mereka tampil bak pemeran profesional yang berpengalaman.
“Bapak ketemu panitia dulu ya, kalian tunggu disini sambil tunggu pengumumannya. Oke?”
“Iya pak” jawab Meyla dan Lores berbarengan.
            Setelah sepuluh menit kutinggalkan mereka diantara kursi penonton, kulihat dari jauh Lores dan Meyla tampak asik berbincang dengan seorang wanita yang berkali-kali menepuk pundak mereka. Tampak punggung mereka bergoyang-goyang karena gelak tawa tanpa henti seperti orang yang lama sekali tak berjumpa.
“Akrab sekali?” lirihku sambil menghampiri mereka.
“Pak Anton, ini guru kami. Bu Intan, cantikkan pak?” Ucap Lores yang sadar aku daritadi memperhatikan mereka.
“Oh ini Pak Anton, selamat ya pak sudah berhasil bawa anak-anak kesini. Gak nyangka bisa ketemu mereka disini, bagaimana bukunya Pak?” Bu Intan menatap Anton dengan tatapan penuh rasa kagum.
“bukunya ada kok bu, ada.” Jawab Anton singkat disertai jantung yang berdetak kencang seperti orang yang tlah lama kehilangan sesuatu lalu menemukannya lagi.
            Perbincangan kami terus berlanjut, menceritakan betapa lucunya kebiasaan ma’Tuwo, betapa menyedihkannya masa lalu Pak Alu, dan bagaimana anak-anak kini bisa menggambarkan mimpi mereka masing-masing. Dan tentunya bagaimana kisah dibalik perjuanganku menyelesaikan diary Intan.
“Dion apakabar bu?” Pertanyaan singkatku terlontar begitu saja.
“Oh dia, sudah tidak ada kabarnya pak. Diary saya belum sempat terselesaikan, malah sudah ditemukan orang lain”
“Boleh saya yang menyelesaikannya?” Pertanyaan bodoh macam apa ini, tiba-tiba saja terlontar, saat aku memastikan tidak ada satu cincin pun yang tersemat dijari Intan.
“Kita selesaikan sama-sama”
            Beberapa bulan kemudian Intan pindah tugas kembali ke desa embaloh hulu bersama Anton. Merajut rumah tangga dan mewujudkan mimpi mereka untuk membangun sekolah disana lebih maju dan menjadikan anak-anak menjadi pioneer perubahan untuk desa hingga negara mereka. Anton semakin percaya bahwa takdir tuhan tidak pernah salah dan keberadaannya didesa pun pasti punya maksud, menemukan belahan jiwanya misalnya. Walaupun Anton dan Intan berasal dari tanah jawa, mereka tetap bertekad memajukan sekolah di pedalaman kalimantan ini. Karena tak peduli apa sukunya, darimana ia berasal, bagaimana kebudayaannya. Kita tetap satu, Indonesia.


TAMAT


GLOSARIUM
Diary                           = buku harian dalam bahasa inggris
Narai kabar                  = Apa kabar, dalam bahasa dayak.
Bahalap ih                   = Baik, dalam bahasa dayak
Selamat hanjeww        = Selamat pagi, dalam bahasa dayak
Selamat bentuk andeu = Selamat siang, dalam bahasa dayak
Sappe                          = Alat musik khas suku dayak
Takan                          = silahkan, dalam bahasa dayak
Bara kueh                    = darimana, dalam bahasa dayak
Rumah betang        = Rumah khas suku dayak, memanjang kebelakang dengan kolong                                      rumah yang tinggi. Berukuran sangat luas yang diisi oleh satu keluarga                                besar. Pusat segala aktivitas masyarakat. Sekarang keberadaannya mulai jarang dikalimantan itu sendiri.


Note: Cerpen diatas meraih juara 1 pada babak final "Kepenulisan sastra" Rektor Cup UMM 2018, dengan tema "Cinta budaya"

Coffee Break diujung usia Quarter Life Crisis (25)

 Alhamdulillah... menghitung hari akan memasuki usia 26. Rasanya tahun ini sangat berbeda dari tahun sebelumnya, matahari sepertinya sudah j...