Sayap yang tertinggal
Malam ini terasa gerah, sepertinya
akan hujan. Kasur springbed dengan
sprei abu-abu gelap sukses menambah kelabu ku malam ini. Tidur sendiri di
ranjang selebar ini tentu bukanlah hal yang tidak biasa untukku, tapi mengapa
malam ini terasa berbeda?. Aku terbangun tepat pukul 01.20 WIB, rasa gelisah
menyelimuti tidurku malam ini. Kubuka smartphone disampingku memastikan bahwa
benar hari ini adalah hari spesial kami. Kubuka whatsapp, mencari pesan masuk dari Mas Renal.
“Kenapa
tidak ada ucapan?” lirihku kemudian mematikan layar ponsel.
Hubungan jarak jauh dengan suami sendiri
adalah hal yang banyak terjadi namun tidak mudah untuk dilewati. Hal ini yang
sering membuatku berpikir mengapa semuanya terasa lebih rumit setelah
pernikahan, bukankah sebelumnya kami lebih bahagia dari ini?. Sembari menunggu
kantuk, kusingkirkan selimut yang sedari tadi kehilangan fungsinya. Berjalan
gontai menuju dapur untuk membuat matcha latte
kesukaan Mas Renal. Berharap segelas matcha ini bisa meringankan rindu yang
entah kapan bisa tersalurkan. Kuhirup aromanya, setiap celah rasa pada matcha
ini seakan membawaku pada ingatan bertahun-tahun lalu.
Mas Renal adalah seorang pria yang
kukenal diakhir masa kuliahku dulu. Seorang pria yang sering kusebut “Ganal
dari Malang”. Apa itu ganal? Ganal dalam bahasa daerahku bisa disebut besar,
sesuai dengan perawakan Mas Renal yang cukup berisi dan menghangatkan. Tawanya
renyah, suara seraknya indah jika melantunkan lagu payung teduh favoritku,
hanya saja banyaknya perbedaan kadang membuat kami sering berargumen. Dia
sangat mencintai musik bahkan kulihat setengah dari nafasnya adalah musik, dan
aku sangat suka menulis terlebih saat ditemani petikan gitarnya. Mas Renal satu
tahun lebih muda dariku tapi tingkat kedewasaannya jauh diatasku. Tiga tahun
setelah perkenalan, kami memutuskan menikah dan hari ini tepat satu tahun umur
pernikahan kami.
Musim gugur diakhir 2014 itu menjadi
titik awal perkenalan kami. Malang yang sendu dan bersahabat selalu menawarkan
kedamaian disetiap akhir tahunnya. Udara sejuk, bunga berguguran, dan hujan
yang sering ragu untuk turun sudah jadi momen paling ditunggu-tunggu bagi
sebagian besar mahasiswa di kota ini, malang syahdu kami menyebutnya. Konser
urban jazz kala itu sukses membuatku sadar bahwa Tuhan tidak pernah main-main
akan rencanaNya.
“Kenapa
aku bisa sepercaya ini sama kamu yang baru kukenal?” ucapku tanpa pikir
panjang, sambil sesekali melihatnya dari kaca spion motor matik itu.
“Mungkin
Tuhan punya skenario?” Jawabnya asal dengan senyum simpul tidak ikhlas dari
wajah sangarnya.
Perjalanan kami tidak pernah mudah,
banyak peralihan-peralihan yang terjadi seiring berjalannya waktu. Seperti
musim gugur, dia adalah fase peralihan dari musim panas menuju musim dingin.
Musim yang paling ditunggu-tunggu oleh orang banyak, walaupun kadang datangnya
membuat banyak orang bertanya-tanya, pergi atau menetap kah? bertahan atau
meninggalkan kah? dan berganti atau bersama kah? musim gugur selalu membawa
banyak tanda tanya.
Tanpa sadar secangkir matcha yang
dari tadi menemaniku bernostalgia ternyata sudah sampai didasarnya. Lantunan
azan subuh menyadarkanku bahwa Mas Renal benar-benar lupa akan hari kami,
padahal sebelum menikah dia selalu jadi yang paling ingat dan tepat waktu untuk
memberi ucapan. Kuambil air wudhu demi menenangkan jiwa yang terlalu perasa
ini. Gerakan sholat yang kukira sederhana ternyata mampu membunuh segala rasa
gundah. Allah memang maha hebat memberikan penawar dari segala rasa, dengan
cara sesederhana sholat, dengan gerakan menghamba yang paling istimewa dari
segala bentuk ibadah dimuka bumi ini.
Air Tuhan turun, kurapalkan doa-doa
panjang setelah sholat. Pernah kubaca bahwa hujan adalah saat yang paling baik
untuk berdoa, karena milyaran butiran air itu akan mengantarkan doa kita lebih
cepat pada sang pencipta.
“Assalamualaikum
mas, sudah sholat subuh?” Tanyaku pada Mas Renal lewat ujung telfon.
“Waalaikumsalam,
sudah sayang.” Jawab Mas Renal seadanya.
“Suaranya
lemes banget, belum ada tidur?”
“Iya,
kerjaan banyak banget. Ini mau siap-siap ke bandara, doanya ya”
Belum sempat kujawab pintanya,
telfon terputus. Beginilah resiko memiliki suami yang bekerja dipedalaman,
sulit sinyal sudah jadi hal yang biasa. Aku semakin murung pagi ini, Mas Renal
tidak biasanya sedingin itu. Tidak biasanya sedatar itu. Tidak biasanya lupa
menyapa jabang bayi yang ada dikandunganku, anak pertama kami. Aku mencoba
terus berpikir positif, mungkin karena hari ini adalah jadwal pulangnya, toh
kami juga akan bertemu sebentar lagi.
Jendela yang sejak tadi kering
mendadak basah oleh hujan yang memang sudah diperkirakan turun pagi ini,
pertanda musim gugur akan segera berakhir. Sambil menyiapkan sarapan kesukaan
Mas Renal, nasi goreng pete. Kuhidupkan tivi dan menikmati beberapa berita yang
memang selalu kutunggu-tunggu. Beberapa menit kemudian, masuk pesan whatsapp dari pria yang paling kusayangi
ini.
“Mas
berangkat. Jarak kita memang jauh, tapi sejauh apapun jarak doa pasti sampai,
hanya doa bisa mendekatkan yang jauh. Ini tiket mas, nanti jemput ya J”
Isi pesan Mas Renal yang masuk pukul 06.12 WIB disertai foto tiketnya pagi ini.
Setelah
pesan itu masuk aku memilih langsung menelepon mas dan ternyata nomor sudah
tidak aktif, pertanda mas sudah take off.
Aku masih sibuk menyiapkan nasi
goreng pete yang aromanya mengisi seluruh ruang dirumah yang terbilang luas ini.
Rumah yang kami perjuangkan bersama sejak belum menikah, yang sayangnya lebih
sering kutempati sendiri. Seandainya dulu aku lebih mengerti apa yang
sebenarnya kukejar, apa yang sebenarnya menjadi impianku. Memilih ego untuk
terus menggapai karir dikota ini ternyata tidak pernah menemui ujungnya, hingga
aku terpaksa harus berjarak dengan suamiku sendiri. Hanya bertemu sebulan
sekali diawal bulan, itupun kalau Mas Renal tidak sibuk dengan pekerjaannya di
Kalimantan. Mungkin ini yang disebut ambisi tak berujung.
“Assalamualaikum
Ibu, ada apa ibu?” Jawabku mengangkat telfon dari Ibu Mas Renal.
“Waalaikumsalam
nduk, Masmu sudah berangkat? Naik
pesawat apa nduk?” Tanya Ibu tanpa
basa-basi seperti biasanya.
“Kayaknya
Lion bu, tapi gak tau detailnya. Kenapa yo bu? Eh ada Mas Renal kirimin tiket
barusan. Sek yo bu.” Jawabku sambil
membuka chat whatsapp dari Mas Renal
beberapa menit yang lalu.
“Liatin
nduk”
“Lion
Air JT 267 bu. Kenapa bu?”
“Allahu
akbar, ya Allah lemes awakku. Lemes.”
Ucap ibu sambil terbata-bata dan telfon terputus.
Aku panik tapi tidak tahu harus
berbuat apa. Kubaca istighfar berulang kali, yakin bahwa hanya istighfar yang
mampu memudahkan segala yang sulit, melapangkan segala yang sempit, menyehatkan
segala yang sakit, dan menenangkan segala yang rumit. Ku cari channel di tivi yang menayangkan berita live, dan benar kabar buruk itu
menimpaku pagi ini. Pesawat yang ditumpangi Mas Renal dikabarkan hilang kontak
pukul 06.28 WIB pagi tadi, tepat 16 menit setelah pesan terakhirnya masuk di whatsapp ku.
Kumatikan televisi tidak ingin
mendengarkan berita itu lebih lanjut. Kuambil air wudhu, memilih mengadu pada
satu-satunya peraduan yang kupunya, Allah Shubhanallah
wa taala. Aku menangis sejadi-jadinya, takut kehilangan, takut menerima
kenyataan, takut untuk tahu apa yang terjadi dengan masku. Aku tahu Allah
selalu punya rencana terbaik dibalik segala skenarionya, tapi mengapa skenario
seperti ini yang harus kuhadapi? Akankah jabang bayi ini menjadi yatim sebelum
ia lahir kedunia? Tidak sanggup aku membayangkannya.
Ibu
menelefon lagi mengabarkan bahwa pesawat Mas Renal tidak dapat dideteksi jatuh
di daerah mana, dan kemungkinan selamat sangatlah kecil. Tidak banyak yang kulakukan
selain berdoa dan memohon, beberapa teman terdekat dikantor datang menjengukku
sekedar memberi semangat dan berbela sungkawa. Walaupun aku tidak akan pernah
menerima ucapan duka itu, aku tetap yakin Mas Renal ada disuatu tempat dan akan
pulang kerumah kami menanti bayi ini.
Tidak tahu
harus berbuat apa membuatku terus melamun dan terjebak dalam ingatan-ingatan
masa lalu. Dulu, aku selalu menulis setiap hari tentang apapun yang terjadi
antara aku dan Mas Renal disebuah buku catatan berwarna hitam yang didalamnya
berisi tulisanku dan tulisannya. Sayangnya sejak menikah aku tidak lagi
melakukan rutinitas itu, hanya Mas Renal yang kulihat sesekali masih menyentuh
buku itu entah menulis apa. Ku ambil lagi buku itu dari raknya, sedikit berdebu
dan tampak usang dimakan waktu.
Malang, 28 Oktober 2017
“Bulan depan
aku menikah, dengan wanita yang mengajarkanku bahwa tak selamanya musim panas
meresahkan, musim dingin menakutkan, dan musim gugur dinantikan. Bagiku segala
musim menjadi lebih indah saat dia selalu ada untukku, disaat aku memenangkan
egoku dan dia dengan segala kelembutan hati membuatku sadar apa yang sebenarnya
aku inginkan. Beruntungnya aku dimiliki kamu.”
Tidak
sanggup kuteruskan membaca tulisan Mas Renal. Tulisan yang sudah ditulis setahun
lalu tapi baru kusadari sekarang. Kenapa baru hari ini aku lebih peduli
padanya? Kenapa aku baru sadar kalau dia sangat berharga buatku? Suami yang
Insya Allah menuntunku hingga jannah, yang kini tidak pernah kutahu dimana
keberadaannya. Kulanjutkan membaca halaman berikutnya.
Malang, 3 Januari 2018
“Boleh aku
bertanya? Bagaimana caranya menggapai bintang sedangkan sebelah sayapmu
tertinggal? Bagaimana mampu terbang jika separuh energimu tak berdaya?
Bagaimana melaju pesat sedang kau berlari tanpa kaki? Bagaimana melalui
musim-musim yang kita nantikan tanpa saling disisi? Istriku... begitu besar
ambisimu, apakah lupa pada apa yang sebenarnya jadi tujuan kita dulu? Apakah
lupa bahwa akulah bintang yang ingin kau gapai itu?. Bermimpi tidak pernah
salah sayang, hidup memang tidak melulu soal cinta, aku tahu impianmu besar
dikota ini. Tapi sanggupkah kita berjalan dengan sayap yang tidak utuh?
Seandainya kamu lebih mengerti, aku tidak akan pernah bisa terbang dengan satu
sayapku yang tertinggal.”
Pecah tangisanku
membaca lembar terakhir yang Mas Renal tulis dibuku ini. Tidak pernah kusangka
jarak kami selama ini ternyata menyiksanya. Dia tidak pernah mengeluh padaku,
sikapnya tetap manis, dia selalu mendukung jalan apapun yang kupilih. Dibalik
wajah tegas dan berwibawa, ternyata dia serapuh itu tanpaku disana. Aku merasa
menjadi wanita terbodoh yang menyia-nyiakan ladang pahala didepan mata demi
memenangkan ambisiku, egoku untuk berkarir yang sebenarnya tidak begitu
kuperlukan selain untuk kepuasan batin semata. Bahkan aku lupa kapan terakhir
kali menyetrikakan bajunya, menyiapkannya makan tiga kali sehari, nonton
bioskop midnight seperti saat kuliah
dulu, kapan terakhir mendengarkannya menyanyi, menanyakan perkembangan
lirik-lirik lagunya, aku terlalu sibuk dengan duniaku.
Sebulan
setelah kejadian itu, rasa sedih tidak kunjung berkurang walaupun kini aku
ditemani ibu, kakak, serta ibu mertua dirumah, mengingat sebulan lagi
persalinan berlangsung. Rasa sedih itu semakin menjadi-jadi tiap kuingat segala
kesalahan dan kenangan bersama Mas Renal dulu. Walaupun kejadian ini sudah
sebulan yang lalu aku tidak pernah berpikir Mas Renal meninggal dunia, aku
yakin dia selamat dan sedang berada di suatu tempat. Seperti pesan terakhir
dari Mas Renal di whatsapp ku sebelum
kejadian itu, “Jarak kita memang jauh, tapi sejauh
apapun jarak doa pasti sampai, hanya doa bisa mendekatkan yang jauh.” Jadi
selama aku tidak pernah berhenti berdoa, Allah akan selalu punya cara untuk
mendekatkan kami.
Tegar Gautama, nama yang kuberikan
untuk anak laki-laki kuat yang lahir dari duka ibunya. Kuberi nama Tegar agar
dia kuat menghadapi hidup ini bagaimanapun sulitnya, walau hidup kadang tidak
sesuai dengan keinginan, walau hidup tak selalu seperti musim gugur yang
membawa ketenangan, walau hidup diterjang ombak tinggi tak berkesudahan,
sejatinya hidup harus terus berjalan. Karena kehidupan dunia tak lain hanyalah
sementara, senda gurau belaka, jadi untuk apa terlalu menikmatinya?.
Kehidupanku perlahan kembali normal
semenjak kelahiran Tegar, anak yang menjadi harapan baruku, sumber segala
bahagia yang kutahu inipun bersifat sementara. Walaupun rasa sedih masih terus
menyelimuti, aku selalu mencoba bersyukur atas segala ketetapan Allah. Banyak
sekali pelajaran hidup yang Mas Renal berikan selama kami bersama, perlahan
kubangun rasa ikhlas itu dan percaya bahwa kami pun akan bertemu di Jannah nya
nanti. Tugasku adalah merawat dan membesarkan amanah terbesar dari Mas Renal,
yaitu Tegar buah hati kami. Sejatinya segala
yang sudah menjadi ketentuan Allah akan tetap terjadi, bagaimana kita sebagai
manusia ikhlas menerima segala ketetapannya. Hanya Allah yang tak akan
mengecewakan, yang mudah-mudahan menyelamatkan kita semua di dunia dan di
akhirat. Satu pesan Mas Renal yang akan selalu kuingat, “aku tidak akan pernah bisa terbang dengan satu sayapku
yang tertinggal”. Aku percaya suatu hari sayap kami akan kembali utuh, terbang
tinggi menggapai pencapaian tertinggi bagi manusia, surgaNya.
GLOSARIUM
a) Nduk = Panggilan
untuk anak perempuan dalam bahasa jawa
b) Awakku= diriku
dalam bahasa jawa
c) Sek yo = ‘Sebentar
ya’ dalam bahasa jawa