Sabtu, 17 November 2018

Sayap yang tertinggal #Cerpen6


Sayap yang tertinggal


            Malam ini terasa gerah, sepertinya akan hujan. Kasur springbed dengan sprei abu-abu gelap sukses menambah kelabu ku malam ini. Tidur sendiri di ranjang selebar ini tentu bukanlah hal yang tidak biasa untukku, tapi mengapa malam ini terasa berbeda?. Aku terbangun tepat pukul 01.20 WIB, rasa gelisah menyelimuti tidurku malam ini. Kubuka smartphone disampingku memastikan bahwa benar hari ini adalah hari spesial kami. Kubuka whatsapp, mencari pesan masuk dari Mas Renal.
“Kenapa tidak ada ucapan?” lirihku kemudian mematikan layar ponsel.
             Hubungan jarak jauh dengan suami sendiri adalah hal yang banyak terjadi namun tidak mudah untuk dilewati. Hal ini yang sering membuatku berpikir mengapa semuanya terasa lebih rumit setelah pernikahan, bukankah sebelumnya kami lebih bahagia dari ini?. Sembari menunggu kantuk, kusingkirkan selimut yang sedari tadi kehilangan fungsinya. Berjalan gontai menuju dapur untuk membuat matcha latte kesukaan Mas Renal. Berharap segelas matcha ini bisa meringankan rindu yang entah kapan bisa tersalurkan. Kuhirup aromanya, setiap celah rasa pada matcha ini seakan membawaku pada ingatan bertahun-tahun lalu.
            Mas Renal adalah seorang pria yang kukenal diakhir masa kuliahku dulu. Seorang pria yang sering kusebut “Ganal dari Malang”. Apa itu ganal? Ganal dalam bahasa daerahku bisa disebut besar, sesuai dengan perawakan Mas Renal yang cukup berisi dan menghangatkan. Tawanya renyah, suara seraknya indah jika melantunkan lagu payung teduh favoritku, hanya saja banyaknya perbedaan kadang membuat kami sering berargumen. Dia sangat mencintai musik bahkan kulihat setengah dari nafasnya adalah musik, dan aku sangat suka menulis terlebih saat ditemani petikan gitarnya. Mas Renal satu tahun lebih muda dariku tapi tingkat kedewasaannya jauh diatasku. Tiga tahun setelah perkenalan, kami memutuskan menikah dan hari ini tepat satu tahun umur pernikahan kami.
            Musim gugur diakhir 2014 itu menjadi titik awal perkenalan kami. Malang yang sendu dan bersahabat selalu menawarkan kedamaian disetiap akhir tahunnya. Udara sejuk, bunga berguguran, dan hujan yang sering ragu untuk turun sudah jadi momen paling ditunggu-tunggu bagi sebagian besar mahasiswa di kota ini, malang syahdu kami menyebutnya. Konser urban jazz kala itu sukses membuatku sadar bahwa Tuhan tidak pernah main-main akan rencanaNya.
“Kenapa aku bisa sepercaya ini sama kamu yang baru kukenal?” ucapku tanpa pikir panjang, sambil sesekali melihatnya dari kaca spion motor matik itu.
“Mungkin Tuhan punya skenario?” Jawabnya asal dengan senyum simpul tidak ikhlas dari wajah sangarnya.
            Perjalanan kami tidak pernah mudah, banyak peralihan-peralihan yang terjadi seiring berjalannya waktu. Seperti musim gugur, dia adalah fase peralihan dari musim panas menuju musim dingin. Musim yang paling ditunggu-tunggu oleh orang banyak, walaupun kadang datangnya membuat banyak orang bertanya-tanya, pergi atau menetap kah? bertahan atau meninggalkan kah? dan berganti atau bersama kah? musim gugur selalu membawa banyak tanda tanya.
            Tanpa sadar secangkir matcha yang dari tadi menemaniku bernostalgia ternyata sudah sampai didasarnya. Lantunan azan subuh menyadarkanku bahwa Mas Renal benar-benar lupa akan hari kami, padahal sebelum menikah dia selalu jadi yang paling ingat dan tepat waktu untuk memberi ucapan. Kuambil air wudhu demi menenangkan jiwa yang terlalu perasa ini. Gerakan sholat yang kukira sederhana ternyata mampu membunuh segala rasa gundah. Allah memang maha hebat memberikan penawar dari segala rasa, dengan cara sesederhana sholat, dengan gerakan menghamba yang paling istimewa dari segala bentuk ibadah dimuka bumi ini.
            Air Tuhan turun, kurapalkan doa-doa panjang setelah sholat. Pernah kubaca bahwa hujan adalah saat yang paling baik untuk berdoa, karena milyaran butiran air itu akan mengantarkan doa kita lebih cepat pada sang pencipta.
“Assalamualaikum mas, sudah sholat subuh?” Tanyaku pada Mas Renal lewat ujung telfon.
“Waalaikumsalam, sudah sayang.” Jawab Mas Renal seadanya.
“Suaranya lemes banget, belum ada tidur?”
“Iya, kerjaan banyak banget. Ini mau siap-siap ke bandara, doanya ya”
            Belum sempat kujawab pintanya, telfon terputus. Beginilah resiko memiliki suami yang bekerja dipedalaman, sulit sinyal sudah jadi hal yang biasa. Aku semakin murung pagi ini, Mas Renal tidak biasanya sedingin itu. Tidak biasanya sedatar itu. Tidak biasanya lupa menyapa jabang bayi yang ada dikandunganku, anak pertama kami. Aku mencoba terus berpikir positif, mungkin karena hari ini adalah jadwal pulangnya, toh kami juga akan bertemu sebentar lagi.
            Jendela yang sejak tadi kering mendadak basah oleh hujan yang memang sudah diperkirakan turun pagi ini, pertanda musim gugur akan segera berakhir. Sambil menyiapkan sarapan kesukaan Mas Renal, nasi goreng pete. Kuhidupkan tivi dan menikmati beberapa berita yang memang selalu kutunggu-tunggu. Beberapa menit kemudian, masuk pesan whatsapp dari pria yang paling kusayangi ini.
“Mas berangkat. Jarak kita memang jauh, tapi sejauh apapun jarak doa pasti sampai, hanya doa bisa mendekatkan yang jauh. Ini tiket mas, nanti jemput ya J” Isi pesan Mas Renal yang masuk pukul 06.12 WIB disertai foto tiketnya pagi ini.
Setelah pesan itu masuk aku memilih langsung menelepon mas dan ternyata nomor sudah tidak aktif, pertanda mas sudah take off.
            Aku masih sibuk menyiapkan nasi goreng pete yang aromanya mengisi seluruh ruang dirumah yang terbilang luas ini. Rumah yang kami perjuangkan bersama sejak belum menikah, yang sayangnya lebih sering kutempati sendiri. Seandainya dulu aku lebih mengerti apa yang sebenarnya kukejar, apa yang sebenarnya menjadi impianku. Memilih ego untuk terus menggapai karir dikota ini ternyata tidak pernah menemui ujungnya, hingga aku terpaksa harus berjarak dengan suamiku sendiri. Hanya bertemu sebulan sekali diawal bulan, itupun kalau Mas Renal tidak sibuk dengan pekerjaannya di Kalimantan. Mungkin ini yang disebut ambisi tak berujung.
“Assalamualaikum Ibu, ada apa ibu?” Jawabku mengangkat telfon dari Ibu Mas Renal.
“Waalaikumsalam nduk, Masmu sudah berangkat? Naik pesawat apa nduk?” Tanya Ibu tanpa basa-basi seperti biasanya.
“Kayaknya Lion bu, tapi gak tau detailnya. Kenapa yo bu? Eh ada Mas Renal kirimin tiket barusan. Sek yo bu.” Jawabku sambil membuka chat whatsapp dari Mas Renal beberapa menit yang lalu.
“Liatin nduk
“Lion Air JT 267 bu. Kenapa bu?”
“Allahu akbar, ya Allah lemes awakku. Lemes.” Ucap ibu sambil terbata-bata dan telfon terputus.
            Aku panik tapi tidak tahu harus berbuat apa. Kubaca istighfar berulang kali, yakin bahwa hanya istighfar yang mampu memudahkan segala yang sulit, melapangkan segala yang sempit, menyehatkan segala yang sakit, dan menenangkan segala yang rumit. Ku cari channel di tivi yang menayangkan berita live, dan benar kabar buruk itu menimpaku pagi ini. Pesawat yang ditumpangi Mas Renal dikabarkan hilang kontak pukul 06.28 WIB pagi tadi, tepat 16 menit setelah pesan terakhirnya masuk di whatsapp ku.
            Kumatikan televisi tidak ingin mendengarkan berita itu lebih lanjut. Kuambil air wudhu, memilih mengadu pada satu-satunya peraduan yang kupunya, Allah Shubhanallah wa taala. Aku menangis sejadi-jadinya, takut kehilangan, takut menerima kenyataan, takut untuk tahu apa yang terjadi dengan masku. Aku tahu Allah selalu punya rencana terbaik dibalik segala skenarionya, tapi mengapa skenario seperti ini yang harus kuhadapi? Akankah jabang bayi ini menjadi yatim sebelum ia lahir kedunia? Tidak sanggup aku membayangkannya.
            Ibu menelefon lagi mengabarkan bahwa pesawat Mas Renal tidak dapat dideteksi jatuh di daerah mana, dan kemungkinan selamat sangatlah kecil. Tidak banyak yang kulakukan selain berdoa dan memohon, beberapa teman terdekat dikantor datang menjengukku sekedar memberi semangat dan berbela sungkawa. Walaupun aku tidak akan pernah menerima ucapan duka itu, aku tetap yakin Mas Renal ada disuatu tempat dan akan pulang kerumah kami menanti bayi ini.
            Tidak tahu harus berbuat apa membuatku terus melamun dan terjebak dalam ingatan-ingatan masa lalu. Dulu, aku selalu menulis setiap hari tentang apapun yang terjadi antara aku dan Mas Renal disebuah buku catatan berwarna hitam yang didalamnya berisi tulisanku dan tulisannya. Sayangnya sejak menikah aku tidak lagi melakukan rutinitas itu, hanya Mas Renal yang kulihat sesekali masih menyentuh buku itu entah menulis apa. Ku ambil lagi buku itu dari raknya, sedikit berdebu dan tampak usang dimakan waktu.
Malang, 28 Oktober 2017
            “Bulan depan aku menikah, dengan wanita yang mengajarkanku bahwa tak selamanya musim panas meresahkan, musim dingin menakutkan, dan musim gugur dinantikan. Bagiku segala musim menjadi lebih indah saat dia selalu ada untukku, disaat aku memenangkan egoku dan dia dengan segala kelembutan hati membuatku sadar apa yang sebenarnya aku inginkan. Beruntungnya aku dimiliki kamu.”
            Tidak sanggup kuteruskan membaca tulisan Mas Renal. Tulisan yang sudah ditulis setahun lalu tapi baru kusadari sekarang. Kenapa baru hari ini aku lebih peduli padanya? Kenapa aku baru sadar kalau dia sangat berharga buatku? Suami yang Insya Allah menuntunku hingga jannah, yang kini tidak pernah kutahu dimana keberadaannya. Kulanjutkan membaca halaman berikutnya.
Malang, 3 Januari 2018
            “Boleh aku bertanya? Bagaimana caranya menggapai bintang sedangkan sebelah sayapmu tertinggal? Bagaimana mampu terbang jika separuh energimu tak berdaya? Bagaimana melaju pesat sedang kau berlari tanpa kaki? Bagaimana melalui musim-musim yang kita nantikan tanpa saling disisi? Istriku... begitu besar ambisimu, apakah lupa pada apa yang sebenarnya jadi tujuan kita dulu? Apakah lupa bahwa akulah bintang yang ingin kau gapai itu?. Bermimpi tidak pernah salah sayang, hidup memang tidak melulu soal cinta, aku tahu impianmu besar dikota ini. Tapi sanggupkah kita berjalan dengan sayap yang tidak utuh? Seandainya kamu lebih mengerti, aku tidak akan pernah bisa terbang dengan satu sayapku yang tertinggal.”
            Pecah tangisanku membaca lembar terakhir yang Mas Renal tulis dibuku ini. Tidak pernah kusangka jarak kami selama ini ternyata menyiksanya. Dia tidak pernah mengeluh padaku, sikapnya tetap manis, dia selalu mendukung jalan apapun yang kupilih. Dibalik wajah tegas dan berwibawa, ternyata dia serapuh itu tanpaku disana. Aku merasa menjadi wanita terbodoh yang menyia-nyiakan ladang pahala didepan mata demi memenangkan ambisiku, egoku untuk berkarir yang sebenarnya tidak begitu kuperlukan selain untuk kepuasan batin semata. Bahkan aku lupa kapan terakhir kali menyetrikakan bajunya, menyiapkannya makan tiga kali sehari, nonton bioskop midnight seperti saat kuliah dulu, kapan terakhir mendengarkannya menyanyi, menanyakan perkembangan lirik-lirik lagunya, aku terlalu sibuk dengan duniaku.
            Sebulan setelah kejadian itu, rasa sedih tidak kunjung berkurang walaupun kini aku ditemani ibu, kakak, serta ibu mertua dirumah, mengingat sebulan lagi persalinan berlangsung. Rasa sedih itu semakin menjadi-jadi tiap kuingat segala kesalahan dan kenangan bersama Mas Renal dulu. Walaupun kejadian ini sudah sebulan yang lalu aku tidak pernah berpikir Mas Renal meninggal dunia, aku yakin dia selamat dan sedang berada di suatu tempat. Seperti pesan terakhir dari Mas Renal di whatsapp ku sebelum kejadian itu, “Jarak kita memang jauh, tapi sejauh apapun jarak doa pasti sampai, hanya doa bisa mendekatkan yang jauh.” Jadi selama aku tidak pernah berhenti berdoa, Allah akan selalu punya cara untuk mendekatkan kami.
            Tegar Gautama, nama yang kuberikan untuk anak laki-laki kuat yang lahir dari duka ibunya. Kuberi nama Tegar agar dia kuat menghadapi hidup ini bagaimanapun sulitnya, walau hidup kadang tidak sesuai dengan keinginan, walau hidup tak selalu seperti musim gugur yang membawa ketenangan, walau hidup diterjang ombak tinggi tak berkesudahan, sejatinya hidup harus terus berjalan. Karena kehidupan dunia tak lain hanyalah sementara, senda gurau belaka, jadi untuk apa terlalu menikmatinya?.
            Kehidupanku perlahan kembali normal semenjak kelahiran Tegar, anak yang menjadi harapan baruku, sumber segala bahagia yang kutahu inipun bersifat sementara. Walaupun rasa sedih masih terus menyelimuti, aku selalu mencoba bersyukur atas segala ketetapan Allah. Banyak sekali pelajaran hidup yang Mas Renal berikan selama kami bersama, perlahan kubangun rasa ikhlas itu dan percaya bahwa kami pun akan bertemu di Jannah nya nanti. Tugasku adalah merawat dan membesarkan amanah terbesar dari Mas Renal, yaitu Tegar buah hati kami. Sejatinya segala yang sudah menjadi ketentuan Allah akan tetap terjadi, bagaimana kita sebagai manusia ikhlas menerima segala ketetapannya. Hanya Allah yang tak akan mengecewakan, yang mudah-mudahan menyelamatkan kita semua di dunia dan di akhirat. Satu pesan Mas Renal yang akan selalu kuingat,aku tidak akan pernah bisa terbang dengan satu sayapku yang tertinggal”. Aku percaya suatu hari sayap kami akan kembali utuh, terbang tinggi menggapai pencapaian tertinggi bagi manusia, surgaNya.
           





GLOSARIUM
a) Nduk = Panggilan untuk anak perempuan dalam bahasa jawa
b) Awakku= diriku dalam bahasa jawa          
c) Sek yo = ‘Sebentar ya’ dalam bahasa jawa

Note: Cerpen diatas meraih juara 1 pada perlombaan Cerpen Autumn's Day FIKES UMM 2018
           








Coffee Break diujung usia Quarter Life Crisis (25)

 Alhamdulillah... menghitung hari akan memasuki usia 26. Rasanya tahun ini sangat berbeda dari tahun sebelumnya, matahari sepertinya sudah j...