Santri Pemegang
Amanah
By: Rwp
Aku terbangun,
detak jantungku berdegup cepat tidak seperti biasanya. Kuraba seluruh kasurku
dalam kegelapan, mencoba mencari titik terang. Kupencet tombol home, jam menunjukkan pukul setengah 4
pagi. Mataku terbuka lebar, kulihat ada sosok disampingku. Dia tersenyum
padahal sedang tidur, senyumnya tampak karena kilat dilangit sendu subuh ini
masuk menyelinap lewat tirai jendela kamarku. Aku mengambil nafas sebentar,
tanpa sadar lamunanku mebawa pada ingatan satu tahun silam.
Pukul 2 dini
hari. Kubuka laptop putih yang sudah setengah pakai ini, mencoba melanjutkan
skripsi yang sejak beberapa bulan terakhir menjadi kudapanku sehari-hari. Hari
ini adalah hari penentuan atas hasil kerja kerasku selama 3,6 tahun ini,
seminar hasil. Kantuk ku tidak tertahan, konser tulus tadi sukses membuatku
tergoda untuk menonton konser lagi, bahkan disaat-saat genting begini. Kuaduk
milo panas yang berbau sangat nikmat, demi menjaga mata agar tetap terbuka.
Kata demi kata kurangkai pada part ucapan
terimakasih, “Terimakasih pada Allah swt, terimakasih kepada mama dan papa…”
Terimakasih? Tanyaku dalam hati.
Menjadi anak
rantau diusia 17 tahun, dengan segunung mimpi dan cita-cita duniawi yang sudah
kubangun sejak remaja membuatku sangat antusias untuk berpetualang. Menjajaki
setiap pahit getir suka duka kehidupan, tentunya ditanah orang, tanah jawa yang
kaya akan ilmu dan adab. Memilih merantau apalagi untuk kuliah bukanlah hal
yang main-main, karena aku adalah anak perempuan satu-satunya, dijaga bak
mutiara dalam cangkang nya, disayang, dilindungi, bak permaisuri di istananya,
tapi aku memilih untuk keluar dan mencari jalanku sendiri. Berbekal ingatan
kata-kata motivasi yang pernah disampaikan ustadzah saat aku masih menjadi
calon santriwati gontor kala itu. “Anak panah tak akan pernah sampai sasaran
jika tak melesat dari busur panahnya, singa tak akan dapat mangsa jika tetap
berada dikandangnya, air yang mengalir akan jernih daripada terdiam dan keruh
menggenang”. “Tinggalkan kampung halamanmu, carilah pengganti kerabat dan
kawan”. Itulah mantra yang kupegang, bahwa merantau ini tidak boleh sia-sia ,
akan kucicipi semua bentuk kehidupan, mencari titik akhir dari pencapaian.
Banyak
kemudahan dan suka cita yang Allah berikan selama merantau, ditambah lagi
fasilitas yg mumpuni dari kedua orangtua. Uang bulanan yang cukup, kos yang
nyaman full facility, serta kendaraan
pribadi yang bisa dibawa kapanpun. Masya Allah, kehidupanku sebagai anak rantau
dari Kalimantan yang hidup di tanah Jawa terbilang cukup. Cukup untuk
jalan-jalan, dan bersuka cita kapanpun aku mau. Walaupun tradisi makan indomie
akhir bulan juga selalu kurasakan apalagi kalau terlalu hedon jalan-jalan.
Aku mengikuti
banyak sekali kegiatan kampus, internal maupun eksternal. Tidak bisa juga dibilang
aktivis, tapi cukuplah disebut kura-kura (kuliah rapat – kuliah rapat). Aku
sering menjadi volunteer berbagai
kegiatan, dari dalam kampus maupun diluar kampus. Menjadi pengurus Badan
Ekesekutif Mahasiswa Fakultas ku selama dua tahun. Mengikuti berbagai lomba
kepenulisan, dan sempat mengelola bisnis kecil-kecilan untuk tambahan uang
saku. Ditengah kesibukanku yang padat, sebagai mahasiswa aku tetap punya waktu
untuk menyalurkan jiwa muda kala itu. Ngopi sampai tengah malam, berkedok
membahas masa depan organisasi, padahal laki-laki dan perempuan bercampur baur
tanpa batasan. Berlibur ke berbagai tempat hiburan dikota Batu, dari yang
berupa taman hingga museum, bergabung beramai-ramai dengan teman-teman kampus
dan organisasi. Pergi ke mall, taman, ke café dan tongkrongan terbaru. Ke semua
bioskop yang ada di kota ini, menonton berbagai film yang bahkan sedikit
peminatnya. Keluar kota sudah jadi hal yang biasa, hanya untuk sekedar
mencicipi kulinernya dan foto-foto di spot
terkenal. Surabaya, Yogyakarta, Bali, Kediri, dll adalah kota yang pernah kukunjungi
kalau ada libur yang sedikit panjang. Nonton konser adalah aktivitas favoritku,
dari Tulus, fourtwenty, payung teduh, Raisa, Mocca, Kahitna, semuanya kutonton,
mahal atau murahnya tiket tidak pernah jadi masalah selagi itu konser. Kegiatan
alam juga favoritku, ke berbagai jenis pantai di dataran Jawa Timur yang medan
nya sungguh menantang, ke gunung, snorkeling di laut daerah Banyuwangi. Apapun
kulakukan untuk membeli kebahagiaan, untuk melewati masa muda, yang ternyata
fana.
Disaat semua
kesenangan duniawi sudah kucicipi, disaat aku sudah berada diakhir-akhir masa
pencarian, aku mulai berpikir.
“Apa yang sebenarnya kucari?”
“Apa aku benar-benar bahagia
selama ini?”
“Apa gemerlap kota sudah bisa
membeli kebahagiaan untukku?”
“Apakah aku sudah bertemu titik
yang selama ini jadi tujuanku? Titik ketenangan itu?”
Belum.
Aku belum benar-benar menemukannya. Aku bahagia tapi hampa. Segala upaya yang
kulakukan, menabung, bisnis kecil-kecilan, ikut lomba dan hadiahnya cukup
lumayan, semua itu habis hanya untuk kepuasan pribadiku, kenikmatan foya-foya
yang sementara, yang entah kemana muaranya. Aku belum pernah sampai pada titik
yang kucari, padahal jalan ini sudah hampir sampai pada ujungnya, sebentar lagi
aku akan wisuda dan mendapat gelar sarjana. Gelar yang banyak dikejar manusia,
tapi tak kunjung kutemukan maknanya. Tepat 3 tahun 6 bulan, aku lulus dan
mendapat gelar itu. Dengan IPK 3,51 yang berarti aku lulus dengan predikat cumlaude. Mimpi yang kutuliskan sejak
pertama aku masuk kuliah.Tercapainya mimpi itu membuatku sangat bersyukur, tapi
tetap tidak membuatku menemukan titik tenang yang kucari.
Pencarianku
belum usai, aku melanjutkan pendidikan profesi tapi dengan kematangan pemikiran
yang lebih dalam dari sebelumnya. Kali ini tidak ada kata main-main, aku akan
serius dan mencoba maksimal untuk apa yang kutempuh. Enam bulan profesi di
berbagai rumah sakit di Jawa Timur, buat aku banyak belajar tentang apapun. Bertemu
dengan pasien yang beragam dengan latar belakang yang berbeda-beda, didaerah
yang punya kebiasaan yang beda-beda pula, membuatku belajar tentang kehidupan
dan bagaimana memaknainya. Sampai di bulan maret 2020, wabah covid19 masuk ke Indonesia. Dengan berat
hati kampus memulangkan kami kerumah masing-masing karena keadaan sudah sangat
tidak memungkinkan untuk melanjutkan dinas di rumah sakit bagi mahasiswa
seperti kami. Kepulanganku hari itu benar-benar tanpa persiapan, kupikir wabah
ini hanya sebentar, tidak lebih dari dua minggu. Aku hanya membawa dua pasang
baju, dua lembar jilbab, makeup seadanya, bahkan laptop putih yang isinya lebih
penting dari apapun itu, kutinggal begitu saja diatas meja belajar, “Ah Cuma
dua minggu” pikirku cuek. Kata “Cuma” tadi terus berlanjut hingga hari ini.
Berbulan-bulan
di kampung halaman tanpa melakukan sesuatu yang berarti buat aku overstress. Alhamdulillah di bulan April
saat bulan puasa, aku membangun bisnis bersama kakak dan temanku. Laukfita,
yang Alhamdulillah bisa berkontribusi untuk masjid. Bisnis ini masih
benar-benar kami rintis, berharap terus berkembang dan meluaskan
kebermanfaatannya. Selama pandemic dan hanya berada dikampung halaman buat aku
kembali menemukan apa yang selama ini hilang. Kesempatanku untuk berbakti pada
orangtua, pada nenek, dan kembali hidup normal seperti Rizka yang sebenarnya.
Tidak hobi nongkrong, lebih banyak menghabiskan waktu dirumah, melakukan
kegiatan produktif saja. Sesaat sebelum aku pulang ke Tarakan, aku sudah sangat
yakin bahwa wabah ini, kepulangan ini akan membawa hikmah besar diakhir nanti,
hikmah yang akan sangat kusyukuri, walaupun aku belum ada gambaran untuk hal
ini, tapi aku yakin pada apa yang aku rasakan saat dipesawat sebelum lepas
landas tanggal 18 Maret itu.
Terus
mencari, memohon dan meminta jalan agar Allah kasih ketenangan yang selama ini
kucari. Terus minta hidayah dari Allah agar dibukakan pintu hati untuk
melakukan hal-hal yang Allah ridhoi. Alhamdulillah kakak menawarkan untuk ikut
bergabung di Paskas (Pasukan Amal Soleh) sejak bulan April, tapi Allah buka
pintu hati untuk benar-benar ikut baru di bulan Juni. Bahkan sempat terbersit
dipikiran “Aku mau masuk paskas kalau benar-benar direkrut seperti yang
lainnya, bukan karna kaka ku ketuanya”. Qodarullah,
dua minggu setelah berpikiran begitu, Allah kabulkan keinginanku. Diadakan
seminar “Jalan Hijrahku” di Bulan Juli, yang juga sekaligus recruitment anggota baru, Masya Allah.
Sejak
saat itu aku benar-benar yakin, bahwa Allah lah tempat pulang sesungguhnya,
Dialah sang pendengar segala doa, Dialah sang maha cinta, yang bahkan belum
sempat kita pinta pun, sudah diberikannya sesuai kadar kesanggupan kita, Masya
Allah. Seminar Jalan Hijrahku ini menjadi awal bertemunya aku dengan
orang-orang baik yang mengajarkan banyak hal-hal luarbiasa, yang belum pernah
kutemukan disisi hidup manapun.
Kak
Ria, admin paskas yang sangat ramah. Menyambut dengan segala kebaikannya,
membuka pintu lebar-lebar untukku yang masih ragu untuk melangkah ke paskas.
Diberikannya kenyamanan yang buat aku semakin yakin untuk berada di paskas. Kak
Fitri, yang segala ucapan dan tindakannya adalah motivasi dan pembelajaran
buatku, peran paling besar dalam keberadaanku di paskas. Dek Firah, adek yang
sejak pertama kali ketemu sudah seperti kenal bertahun-tahun lamanya, wanita
kuat yang punya prinsip, membanggakan, menjadi inspirasi untukku yang baru
hijrah ini. Ka Erni, Ka Cici, Ka Ida, Ka Leny, para emak-emak yang buat aku
benar-benar merasa pulang kerumah setiap ke paskas, penyambutan yang hangat,
pelayanan penuh kasih sayang, mengajarkan aku bagaimana menjadi
sebenar-benarnya ibu bahkan kepada orang yang baru dikenalnya, Masya Allah.
Bunda Hariati dengan segala kecerdasan intelektual dan mimpi-mimpi besarnya,
gambaran sempurna untuk seorang wonder
woman. Pak Saha yang serba bisa, menyediakan apapun yang ia bisa untuk kami
semua, jadi teknisi untuk segala hal. Bang Neo, Bang Egra, Bang Faiz, Bang
Faisal para bapak-bapak cerdas yang sangat berperan dalam berjalannya program
paskas. Kak Dinda, Kak Icha, Kak Ragil, Kak Santi, Kak Kiki, Kak desy para
kakak – kakak ku yang menjadi pengayom selama dipaskas, membuat aku merasa
punya banyak sekali saudara perempuan, belajar bagaimana cara menghargai dan
menyayangi, dengan segala kesabaran dan keramahan mereka menyambutku, anak baru
yang masih perlu banyak sekali belajar. Bang Bayu, Bang Melji, Bang Hendra,
Bang Ahmad, Bang Azlan, Bang Wahyu, Bang Fandi, Bang Ilham, Bang Agung semua
kawan-kawan dan adek-adeku ini juga menjadi inspirasi bagaimana laki-laki yang
sebenarnya, bagaimana kerja keras mereka untuk masjid, mengorbankan sebagian
besar waktunya untuk masjid. Kaka ku sendiri Pak presiden beserta istrinya,
yang menjadi motivasi terbesar untuk bergabung dipaskas, dengan segala kebaikan
mereka mau membimbing dan memberikan jalan untuk benar-benar mencari ridho
Allah.
Dan
yang terakhir, untuk sosok yang Insya Allah akan menjadi imamku, Bang Ahmad
Nur. Seorang yang sederhana, jauh dari gemerlap kota yang biasa kuhadapi, apa
adanya dan senyumnya syahdu memecahkan segala gundah. Kesederhanaan yang
membuatku siap untuk membangun cinta bersama. Insya Allah, engkaulah salah satu
hikmah itu, hikmah pandemi dan kepulanganku yang tidak tepat pada waktunya, kepulangan
yang awalnya kusesali tapi kini menjadi kesyukuran tertinggi. Pintaku pada
Allah agar diberikan jalan menuju ridhoNya, Insya Allah engkaulah jawaban itu.
Terimakasih sudah hadir dan memintaku pada orangtuaku. Sejak pertama bertemu
denganmu, ada rasa tenang dan keyakinan yang hadir dalam diriku. Aku percaya
bahwa jalan kita kedepan akan melewati banyak tantangan, tapi denganmu aku
yakin, ridho Allah bisa kita gapai bersama. Semoga kebersamaan kita nantinya
bisa menjadi jalan untuk meluaskan kebermanfaatan diri kita,membahagiakan
ummat, menjadi sebaik-baiknya pejuang islam, melahirkan peradaban mulia. Aamiin
Allahumma Aamiin.
Aku
sangat bersyukur, Allah beri kesempatan untuk berada dibarisan ini, menjadi
keluarga besar Santri Pemegang Amanah, bergabung bersama saudara seiman, yang
mempunyai misi mulia yaitu menjadi sebaik-baiknya pelayan ummat. Rizka hari ini
adalah rizka yang terus belajar, terus memperbaiki diri, agar Allah pakai terus
tenaganya untuk mengasuh ummat, agar Allah jaga raganya untuk terus berada
dibarisan ini. Terimakasih abang kakak SPA, sudah hadir disaat akhir masa
pencarian ini, disaat raga sudah meronta, menangis meminta ampun, menyerah
dalam menanggung kerasnya ujian dunia yang sesaat, ujian kesenangan duniawi,
Allah hadirkan abang-kakak sebagai saudara tak sedarah dengan misi yang sama.
Yang menjadikan dunia benar-benar hanya sebagai tempat singgah, yang memberikan
arti kebahagiaan dalam kompleksnya kesulitan hidup yang dialami ummat disekitar
kita, yang mengajarkan bahwa berbagi adalah titik ketenangan dan kebahagiaan
paling tinggi jauh diatas kepentingan diri sendiri.
Semoga
Allah berikan kesehatan terus untuk abang kakak, keluasan rezeki
seluas-luasnya, kemudahan dalam menggapai hajat-hajatnya, diberikan pasangan
yang soleh solehah, Allah mudahkan dalam menyempurnakan separuh agama,
diberikan keturunan yang soleh solehah beradab berilmu bermanfaat bagi ummat,
keluarganya dilimpahkan keberkahan, diberikan keselamatan dunia akhirat,
dimatikan dalam keadaan Husnul Khotimah, dan kita jumpe lagi di surgaNya Allah.
Rizka sayang abang kakak SPA karena Allah.
Terimakasih
sudah hadir menjadi titik ketenangan itu, kerinduan universal yang tidak pernah
berbentuk wujudnya tapi nyata dirasakan. Ini semua titipan sekaligus ujian,
kita semua hanya pemegang amanah yang Allah titipkan, semoga amanah ini bisa
kita jaga sebaik-baiknya sampai raga terpisah dari jiwanya. Sampai jumpa di
Baitullah abang kakak, sampai jumpa di surganya Allah.