Tanganku terasa
kaku, mataku tertuju pada jam dinding disudut café ini. Sudah pukul 8 malam,
apa malam ini hanya akan menjadi pertemuanku sendiri?. Segelas vanilla latte yang daritadi kuaduk,
akhirnya kehilangan uapnya, kini hanya tersisa rasa dingin dan semakin enggan
untuk diminum. Mataku terfokus pada pintu masuk café ini, berharap tubuh tegap
dan berwibawa itu tidak lupa dimana kami biasa duduk.
Empat tahun
bukan waktu yang singkat untuk berevolusi. Ingatan-ingatan masa lalu kukira
tinggal manisnya saja, ternyata aku salah. Pahit itu masih pekat terasa, bahkan
kekentalannya tak pernah berubah.
“Dulu kamu selalu menyisihkan
nasimu yang masih hangat ke piringku, takut mubazir katamu”
“Dulu kamu selalu minta diambilkan
4 biji kerupuk ditoples bu ratih”
“Dulu kamu selalu bawa tumbler
kuningmu kemanapun, katamu biar sehat minum air putih”
“Dulu kamu selalu pesan es jeruk,
apapun yang terjadi, di hokben sekalipun :’)”
Kita
yang hari ini masih saja bergelut dengan kata ‘dulu’ sampai lupa sedang berdiri
dimana saat ini. Perawakannya tidak banyak berubah, hanya sisiran rambut yang
semakin rapi dan baju yang sekarang terlihat lebih formal dari biasanya.
“kamu gak pernah punya mimpi pakai baju kaya
gini tiap hari seingatku lan” sahutku sambal tertawa grumpy kearah Alan.
“Hahaha bener rev, tapi dunia
udah ga ngasih celah lagi buat orang yg terlalu idealis kaya aku empat tahun
lalu”
“Bukannya kamu selalu punya
prinsip?”
“Idealis dan punya prinsip
bedanya tipis Rev, bukannya semua itu yang buat aku kehilangan kamu?”
Keheningan
datang lagi. Alan yang terlalu berani untuk menyinggung masa-masa pahit itu,
membuat aku kehabisan kosa kata untuk mencairkan suasana. Alan. Dia masih
Alan-ku satu, dua, tiga, bahkan empat tahun lalu. Keras, berprinsip, tegas dan
sulit terkalahkan, sikapnya tidak banyak berubah.
Malang
masih dingin, selalu dingin. Musim maba kukira akan berubah menjadi lebih
hangat, ternyata sama saja. Malang tetap ramah, bahkan bagiku yang sudah
menjadi asing untuk tempat ini. Empat tahun tidak menginjak tempat ini ternyata
tak begitu banyak membawa perubahan. Masakan Bu Ratih tetap enak, bahkan enak
sekali, hanya dia yang semakin renta kulihat. Lalapan burung dara dipinggir
jalan itu juga masih beraroma mengaduk perut. Bapak penjual bakso dengan aroma
nikmat tak terkalahkan juga masih setia dengan gerobak birunya. Ternyata definisi
tak banyak berubah hanya kulihat dari tempat makan langganan semasa kuliah.
“Kerjaan aman?” celetuk Alan saat
aku asik mengunyah bakso pak sabar.
“aman kok aman, pasien makin
rame, akunya makin gak ngurus diri sendiri hahaha”
“bukannya kamu selalu begitu? Lebih
mementingkan orang lain, dirinya sendiri dilupain”
“Ya gak juga lan, kamu gimana? bisnis
rentalan bareng Alif gimana?”
“gak pasti rev, lama-lama cape
juga. Mending kerja kantoran dulu sampe modalnya agak banyak ntar aku buka
sendiri aja”
“Aamiin, Alan yang aku kenal
selalu punya mimpi. Dan gak pernah pengen punya bos, iya kan?”
“Kamu selalu ingat rev”
Masih
banyak yang belum sempat aku sampaikan padamu. Sepenggal lirik lagu Kunto Aji
mungkin jadi lirik paling pas untukku, untuk Alan. Aku tidak tau, datangnya aku
ke Malang ini sebagai obat ataukah sebagai racun paling ampuh untuk membuatku
semakin tenggelam dalam pilu yang dulu.
“Vania apa kabar? Masih dia sama
Reno?”
“Vania, bukannya kamu follow dia
juga ya”
“kamu lupa aku sempat vakum
sosmed setahun kan? Terus bikin akun baru juga waktu itu”
“Ah iya, Alan waktu itu ngilang
dari muka bumi. Aku sampe gak tau harus nyari kemana. Vania nikah setahun lalu
sama Reno, setelah berjuta drama mereka”
“Sumpah? Alhamdulillah ya. Ga nyangka
juga, dulu sering aku katain bucin itu Reno. Jadi juga dia”
“bucin positif ya baek lah, emang
kamu apa-apa salah terus hahaha”
“Kapan-kapan ayo ngopi berempat
lagi sama mereka, kangen juga sama pasangan itu”
“Kapan kapan banget aja ya lan,
waktuku singkat banget disini”
Jalanan
Malang yang semakin lengang, membuat Alan memperlambat laju mobil yang
dikendarainya.
“Ingat bapak penjual mainan?”
Alan memecah lamunanku.
“penjual mainan? Ah iya, yang
dulu jualan dibundaran pesawat terus pindah ke dekatnya Sabilillah itukan?”
“yaps bener. Masih disimpen mainan
pesawatnya?”
“Masih kok, dirumah. Kenapa?”
“bulan agustus kemaren bapak itu
meninggal, aku datang kerumah duka nya beliau.”
Bersambung~