Selasa, 03 November 2020

Santri Pemegang Amanah

 

Santri Pemegang Amanah

By: Rwp

 

Aku terbangun, detak jantungku berdegup cepat tidak seperti biasanya. Kuraba seluruh kasurku dalam kegelapan, mencoba mencari titik terang. Kupencet tombol home, jam menunjukkan pukul setengah 4 pagi. Mataku terbuka lebar, kulihat ada sosok disampingku. Dia tersenyum padahal sedang tidur, senyumnya tampak karena kilat dilangit sendu subuh ini masuk menyelinap lewat tirai jendela kamarku. Aku mengambil nafas sebentar, tanpa sadar lamunanku mebawa pada ingatan satu tahun silam.

Pukul 2 dini hari. Kubuka laptop putih yang sudah setengah pakai ini, mencoba melanjutkan skripsi yang sejak beberapa bulan terakhir menjadi kudapanku sehari-hari. Hari ini adalah hari penentuan atas hasil kerja kerasku selama 3,6 tahun ini, seminar hasil. Kantuk ku tidak tertahan, konser tulus tadi sukses membuatku tergoda untuk menonton konser lagi, bahkan disaat-saat genting begini. Kuaduk milo panas yang berbau sangat nikmat, demi menjaga mata agar tetap terbuka. Kata demi kata kurangkai pada part ucapan terimakasih, “Terimakasih pada Allah swt, terimakasih kepada mama dan papa…” Terimakasih? Tanyaku dalam hati.

Menjadi anak rantau diusia 17 tahun, dengan segunung mimpi dan cita-cita duniawi yang sudah kubangun sejak remaja membuatku sangat antusias untuk berpetualang. Menjajaki setiap pahit getir suka duka kehidupan, tentunya ditanah orang, tanah jawa yang kaya akan ilmu dan adab. Memilih merantau apalagi untuk kuliah bukanlah hal yang main-main, karena aku adalah anak perempuan satu-satunya, dijaga bak mutiara dalam cangkang nya, disayang, dilindungi, bak permaisuri di istananya, tapi aku memilih untuk keluar dan mencari jalanku sendiri. Berbekal ingatan kata-kata motivasi yang pernah disampaikan ustadzah saat aku masih menjadi calon santriwati gontor kala itu. “Anak panah tak akan pernah sampai sasaran jika tak melesat dari busur panahnya, singa tak akan dapat mangsa jika tetap berada dikandangnya, air yang mengalir akan jernih daripada terdiam dan keruh menggenang”. “Tinggalkan kampung halamanmu, carilah pengganti kerabat dan kawan”. Itulah mantra yang kupegang, bahwa merantau ini tidak boleh sia-sia , akan kucicipi semua bentuk kehidupan, mencari titik akhir dari pencapaian.

Banyak kemudahan dan suka cita yang Allah berikan selama merantau, ditambah lagi fasilitas yg mumpuni dari kedua orangtua. Uang bulanan yang cukup, kos yang nyaman full facility, serta kendaraan pribadi yang bisa dibawa kapanpun. Masya Allah, kehidupanku sebagai anak rantau dari Kalimantan yang hidup di tanah Jawa terbilang cukup. Cukup untuk jalan-jalan, dan bersuka cita kapanpun aku mau. Walaupun tradisi makan indomie akhir bulan juga selalu kurasakan apalagi kalau terlalu hedon jalan-jalan.

Aku mengikuti banyak sekali kegiatan kampus, internal maupun eksternal. Tidak bisa juga dibilang aktivis, tapi cukuplah disebut kura-kura (kuliah rapat – kuliah rapat). Aku sering menjadi volunteer berbagai kegiatan, dari dalam kampus maupun diluar kampus. Menjadi pengurus Badan Ekesekutif Mahasiswa Fakultas ku selama dua tahun. Mengikuti berbagai lomba kepenulisan, dan sempat mengelola bisnis kecil-kecilan untuk tambahan uang saku. Ditengah kesibukanku yang padat, sebagai mahasiswa aku tetap punya waktu untuk menyalurkan jiwa muda kala itu. Ngopi sampai tengah malam, berkedok membahas masa depan organisasi, padahal laki-laki dan perempuan bercampur baur tanpa batasan. Berlibur ke berbagai tempat hiburan dikota Batu, dari yang berupa taman hingga museum, bergabung beramai-ramai dengan teman-teman kampus dan organisasi. Pergi ke mall, taman, ke cafĂ© dan tongkrongan terbaru. Ke semua bioskop yang ada di kota ini, menonton berbagai film yang bahkan sedikit peminatnya. Keluar kota sudah jadi hal yang biasa, hanya untuk sekedar mencicipi kulinernya dan foto-foto di spot terkenal. Surabaya, Yogyakarta, Bali, Kediri, dll adalah kota yang pernah kukunjungi kalau ada libur yang sedikit panjang. Nonton konser adalah aktivitas favoritku, dari Tulus, fourtwenty, payung teduh, Raisa, Mocca, Kahitna, semuanya kutonton, mahal atau murahnya tiket tidak pernah jadi masalah selagi itu konser. Kegiatan alam juga favoritku, ke berbagai jenis pantai di dataran Jawa Timur yang medan nya sungguh menantang, ke gunung, snorkeling di laut daerah Banyuwangi. Apapun kulakukan untuk membeli kebahagiaan, untuk melewati masa muda, yang ternyata fana.

Disaat semua kesenangan duniawi sudah kucicipi, disaat aku sudah berada diakhir-akhir masa pencarian, aku mulai berpikir.

“Apa yang sebenarnya kucari?”

“Apa aku benar-benar bahagia selama ini?”

“Apa gemerlap kota sudah bisa membeli kebahagiaan untukku?”

“Apakah aku sudah bertemu titik yang selama ini jadi tujuanku? Titik ketenangan itu?”

                Belum. Aku belum benar-benar menemukannya. Aku bahagia tapi hampa. Segala upaya yang kulakukan, menabung, bisnis kecil-kecilan, ikut lomba dan hadiahnya cukup lumayan, semua itu habis hanya untuk kepuasan pribadiku, kenikmatan foya-foya yang sementara, yang entah kemana muaranya. Aku belum pernah sampai pada titik yang kucari, padahal jalan ini sudah hampir sampai pada ujungnya, sebentar lagi aku akan wisuda dan mendapat gelar sarjana. Gelar yang banyak dikejar manusia, tapi tak kunjung kutemukan maknanya. Tepat 3 tahun 6 bulan, aku lulus dan mendapat gelar itu. Dengan IPK 3,51 yang berarti aku lulus dengan predikat cumlaude. Mimpi yang kutuliskan sejak pertama aku masuk kuliah.Tercapainya mimpi itu membuatku sangat bersyukur, tapi tetap tidak membuatku menemukan titik tenang yang kucari.

                Pencarianku belum usai, aku melanjutkan pendidikan profesi tapi dengan kematangan pemikiran yang lebih dalam dari sebelumnya. Kali ini tidak ada kata main-main, aku akan serius dan mencoba maksimal untuk apa yang kutempuh. Enam bulan profesi di berbagai rumah sakit di Jawa Timur, buat aku banyak belajar tentang apapun. Bertemu dengan pasien yang beragam dengan latar belakang yang berbeda-beda, didaerah yang punya kebiasaan yang beda-beda pula, membuatku belajar tentang kehidupan dan bagaimana memaknainya. Sampai di bulan maret 2020, wabah covid19 masuk ke Indonesia. Dengan berat hati kampus memulangkan kami kerumah masing-masing karena keadaan sudah sangat tidak memungkinkan untuk melanjutkan dinas di rumah sakit bagi mahasiswa seperti kami. Kepulanganku hari itu benar-benar tanpa persiapan, kupikir wabah ini hanya sebentar, tidak lebih dari dua minggu. Aku hanya membawa dua pasang baju, dua lembar jilbab, makeup seadanya, bahkan laptop putih yang isinya lebih penting dari apapun itu, kutinggal begitu saja diatas meja belajar, “Ah Cuma dua minggu” pikirku cuek. Kata “Cuma” tadi terus berlanjut hingga hari ini.

                Berbulan-bulan di kampung halaman tanpa melakukan sesuatu yang berarti buat aku overstress. Alhamdulillah di bulan April saat bulan puasa, aku membangun bisnis bersama kakak dan temanku. Laukfita, yang Alhamdulillah bisa berkontribusi untuk masjid. Bisnis ini masih benar-benar kami rintis, berharap terus berkembang dan meluaskan kebermanfaatannya. Selama pandemic dan hanya berada dikampung halaman buat aku kembali menemukan apa yang selama ini hilang. Kesempatanku untuk berbakti pada orangtua, pada nenek, dan kembali hidup normal seperti Rizka yang sebenarnya. Tidak hobi nongkrong, lebih banyak menghabiskan waktu dirumah, melakukan kegiatan produktif saja. Sesaat sebelum aku pulang ke Tarakan, aku sudah sangat yakin bahwa wabah ini, kepulangan ini akan membawa hikmah besar diakhir nanti, hikmah yang akan sangat kusyukuri, walaupun aku belum ada gambaran untuk hal ini, tapi aku yakin pada apa yang aku rasakan saat dipesawat sebelum lepas landas tanggal 18 Maret itu.

                Terus mencari, memohon dan meminta jalan agar Allah kasih ketenangan yang selama ini kucari. Terus minta hidayah dari Allah agar dibukakan pintu hati untuk melakukan hal-hal yang Allah ridhoi. Alhamdulillah kakak menawarkan untuk ikut bergabung di Paskas (Pasukan Amal Soleh) sejak bulan April, tapi Allah buka pintu hati untuk benar-benar ikut baru di bulan Juni. Bahkan sempat terbersit dipikiran “Aku mau masuk paskas kalau benar-benar direkrut seperti yang lainnya, bukan karna kaka ku ketuanya”. Qodarullah, dua minggu setelah berpikiran begitu, Allah kabulkan keinginanku. Diadakan seminar “Jalan Hijrahku” di Bulan Juli, yang juga sekaligus recruitment anggota baru, Masya Allah.

                Sejak saat itu aku benar-benar yakin, bahwa Allah lah tempat pulang sesungguhnya, Dialah sang pendengar segala doa, Dialah sang maha cinta, yang bahkan belum sempat kita pinta pun, sudah diberikannya sesuai kadar kesanggupan kita, Masya Allah. Seminar Jalan Hijrahku ini menjadi awal bertemunya aku dengan orang-orang baik yang mengajarkan banyak hal-hal luarbiasa, yang belum pernah kutemukan disisi hidup manapun.

                Kak Ria, admin paskas yang sangat ramah. Menyambut dengan segala kebaikannya, membuka pintu lebar-lebar untukku yang masih ragu untuk melangkah ke paskas. Diberikannya kenyamanan yang buat aku semakin yakin untuk berada di paskas. Kak Fitri, yang segala ucapan dan tindakannya adalah motivasi dan pembelajaran buatku, peran paling besar dalam keberadaanku di paskas. Dek Firah, adek yang sejak pertama kali ketemu sudah seperti kenal bertahun-tahun lamanya, wanita kuat yang punya prinsip, membanggakan, menjadi inspirasi untukku yang baru hijrah ini. Ka Erni, Ka Cici, Ka Ida, Ka Leny, para emak-emak yang buat aku benar-benar merasa pulang kerumah setiap ke paskas, penyambutan yang hangat, pelayanan penuh kasih sayang, mengajarkan aku bagaimana menjadi sebenar-benarnya ibu bahkan kepada orang yang baru dikenalnya, Masya Allah. Bunda Hariati dengan segala kecerdasan intelektual dan mimpi-mimpi besarnya, gambaran sempurna untuk seorang wonder woman. Pak Saha yang serba bisa, menyediakan apapun yang ia bisa untuk kami semua, jadi teknisi untuk segala hal. Bang Neo, Bang Egra, Bang Faiz, Bang Faisal para bapak-bapak cerdas yang sangat berperan dalam berjalannya program paskas. Kak Dinda, Kak Icha, Kak Ragil, Kak Santi, Kak Kiki, Kak desy para kakak – kakak ku yang menjadi pengayom selama dipaskas, membuat aku merasa punya banyak sekali saudara perempuan, belajar bagaimana cara menghargai dan menyayangi, dengan segala kesabaran dan keramahan mereka menyambutku, anak baru yang masih perlu banyak sekali belajar. Bang Bayu, Bang Melji, Bang Hendra, Bang Ahmad, Bang Azlan, Bang Wahyu, Bang Fandi, Bang Ilham, Bang Agung semua kawan-kawan dan adek-adeku ini juga menjadi inspirasi bagaimana laki-laki yang sebenarnya, bagaimana kerja keras mereka untuk masjid, mengorbankan sebagian besar waktunya untuk masjid. Kaka ku sendiri Pak presiden beserta istrinya, yang menjadi motivasi terbesar untuk bergabung dipaskas, dengan segala kebaikan mereka mau membimbing dan memberikan jalan untuk benar-benar mencari ridho Allah.

 

                Dan yang terakhir, untuk sosok yang Insya Allah akan menjadi imamku, Bang Ahmad Nur. Seorang yang sederhana, jauh dari gemerlap kota yang biasa kuhadapi, apa adanya dan senyumnya syahdu memecahkan segala gundah. Kesederhanaan yang membuatku siap untuk membangun cinta bersama. Insya Allah, engkaulah salah satu hikmah itu, hikmah pandemi dan kepulanganku yang tidak tepat pada waktunya, kepulangan yang awalnya kusesali tapi kini menjadi kesyukuran tertinggi. Pintaku pada Allah agar diberikan jalan menuju ridhoNya, Insya Allah engkaulah jawaban itu. Terimakasih sudah hadir dan memintaku pada orangtuaku. Sejak pertama bertemu denganmu, ada rasa tenang dan keyakinan yang hadir dalam diriku. Aku percaya bahwa jalan kita kedepan akan melewati banyak tantangan, tapi denganmu aku yakin, ridho Allah bisa kita gapai bersama. Semoga kebersamaan kita nantinya bisa menjadi jalan untuk meluaskan kebermanfaatan diri kita,membahagiakan ummat, menjadi sebaik-baiknya pejuang islam, melahirkan peradaban mulia. Aamiin Allahumma Aamiin.

                Aku sangat bersyukur, Allah beri kesempatan untuk berada dibarisan ini, menjadi keluarga besar Santri Pemegang Amanah, bergabung bersama saudara seiman, yang mempunyai misi mulia yaitu menjadi sebaik-baiknya pelayan ummat. Rizka hari ini adalah rizka yang terus belajar, terus memperbaiki diri, agar Allah pakai terus tenaganya untuk mengasuh ummat, agar Allah jaga raganya untuk terus berada dibarisan ini. Terimakasih abang kakak SPA, sudah hadir disaat akhir masa pencarian ini, disaat raga sudah meronta, menangis meminta ampun, menyerah dalam menanggung kerasnya ujian dunia yang sesaat, ujian kesenangan duniawi, Allah hadirkan abang-kakak sebagai saudara tak sedarah dengan misi yang sama. Yang menjadikan dunia benar-benar hanya sebagai tempat singgah, yang memberikan arti kebahagiaan dalam kompleksnya kesulitan hidup yang dialami ummat disekitar kita, yang mengajarkan bahwa berbagi adalah titik ketenangan dan kebahagiaan paling tinggi jauh diatas kepentingan diri sendiri.

                Semoga Allah berikan kesehatan terus untuk abang kakak, keluasan rezeki seluas-luasnya, kemudahan dalam menggapai hajat-hajatnya, diberikan pasangan yang soleh solehah, Allah mudahkan dalam menyempurnakan separuh agama, diberikan keturunan yang soleh solehah beradab berilmu bermanfaat bagi ummat, keluarganya dilimpahkan keberkahan, diberikan keselamatan dunia akhirat, dimatikan dalam keadaan Husnul Khotimah, dan kita jumpe lagi di surgaNya Allah. Rizka sayang abang kakak SPA karena Allah.

                Terimakasih sudah hadir menjadi titik ketenangan itu, kerinduan universal yang tidak pernah berbentuk wujudnya tapi nyata dirasakan. Ini semua titipan sekaligus ujian, kita semua hanya pemegang amanah yang Allah titipkan, semoga amanah ini bisa kita jaga sebaik-baiknya sampai raga terpisah dari jiwanya. Sampai jumpa di Baitullah abang kakak, sampai jumpa di surganya Allah.

 

Coffee Break diujung usia Quarter Life Crisis (25)

 Alhamdulillah... menghitung hari akan memasuki usia 26. Rasanya tahun ini sangat berbeda dari tahun sebelumnya, matahari sepertinya sudah j...